Wajah Sendiri dalam Foto Keluarga Orang yang Tak Dikenal

Wajah Sendiri dalam Foto Keluarga Orang yang Tak Dikenal post thumbnail image

Penemuan yang Menyayat Hati

Saat pertama kali membuka kotak kayu di loteng, aku terkejut menemukan album foto tua berdebu. Di halaman pertama, wajah sendiri dalam foto keluarga itu menatapku dengan sorot mata kosong—padahal aku tak pernah mengetahui keluarga di foto itu. Detik itu, napasku serasa terhenti, dan jantungku berdetak tak karuan karena aku merasa… sudah pernah melihat wajah itu, tapi di mana?

Rahasia di Balik Usapan Debu

Kaki tangga berderit ketika aku menurunkan album ke ruang tamu. Halaman-halaman foto dipenuhi sosok ibu, ayah, kakak, adik—semua berkumpul dalam kehangatan senyum. Namun, satu wajah asing terpajang di sudut: wajah sendiri dalam foto keluarga itu. Kulusuri setiap detail: kemeja yang aku kenakan di ulang tahun kelimaku, topi musim dingin yang tak pernah kubeli. Bagaimana bisa?

Kilas Balik Masa Kecil yang Kabur

Aku teringat mimpi-mimpi aneh tentang rumah tua, lampu gantung yang bergoyang perlahan, dan suara tawa anak kecil. Namun selama ini kusebut “mimpi buruk”—sampai aku menatap foto ini. Gambaran masa kecil yang tak pernah terjadi melekat jelas di ingatan, membuatku meragukan realitas. Apakah pernah ada masa kecil yang lain, di tempat berbeda, dengan keluarga lain?

Suara Bisikan di Sudut Gelap

Malam pertama setelah menemukan foto, teror pertama menghampiri. Tirai bergerak meski angin berhenti, dan suara bisik lembut—“Itu rumahmu”—terngiang di telingaku. Aku mengejar suara itu ke sudut ruangan, namun hanya menemui bayangan memanjang di dinding. Bayangan itu menirukan gerak tubuhku, namun kepalanya miring tajam, menatap kosong—wajah sendiri dalam foto keluarga kini menempel di dinding gelap.

Sentuhan Lembut Tanpa Tangan

Keesokan harinya, aku menemukan bekas sidik tangan basah di leher baju. Celanaku yang tergantung di kamar mandi berlendir tipis. Refleksi cermin memperlihatkan sosok samar di belakangku—anak kecil berkemeja lusuh, menatap penuh harap. Ketika aku menoleh, tak ada siapa pun. Namun pada album foto, satu jari kecil terpampang jelas di wajahku, seolah melingkari pipi—wajah sendiri dalam foto keluarga itu ingin menempel selamanya.

Jejak Kaki Menuju Jendela

Larut malam, langkah kaki pelan terdengar di lantai kayu loteng—dua tapak kecil yang menyatu dengan debu. Mereka menuju jendela, meninggalkan jejak kotor. Hatiku mencelos, aku mengikuti jejak itu hingga ke kaca jendela retak. Di luar, lampu jalan tenggelam dalam kabut, dan sosok anak kecil itu berdiri, menatapku hampa. Ia melambaikan tangan, bibirnya bergerak tanpa suara—“Datanglah.”

Malam Kedua: Album yang Membara

Panik, aku mencoba membakar album dengan korek api. Setiap lembar foto meleleh dan menghitam, namun foto keluargaku sendiri, dengan wajah sendiri dalam foto keluarga, tidak terbakar. Tinta di foto itu malah mengembang, darah palsu menetes ke halaman berikutnya. Api menyala, aroma kertas terbakar membumbung, tapi wajah di foto tetap menatap, lebih nyata, lebih marah.

Bisikan Doa dan Pasung Duka

Aku berlari ke kamar mandi, mengambil air suci dan menaburkannya pada album yang masih menyala. Suara ratapan menggema, mengiris ruh. Ruang tamu berguncang, tirai berkibar, dan air tumpah ke lantai. Tanganku gemetar saat membaca doa-doa perlindungan, berharap arwah itu tenang. Tapi yang kudengar hanyalah tawa kecil, menusuk hingga syaraf tepi—aku menampik kitab suci dan lari ke luar rumah.

Kejaran Bayangan di Lorong Gelap

Di lorong, hanya ada lampu redup. Sosok anak itu muncul di ujung koridor, menatapku dengan mata hitam tak berjiwa. wajah sendiri dalam foto keluarga itu kini menjelma hidup, melangkah pelan mendekat. Setiap langkahnya menimbulkan getar di lantai kayu, dan bayangan panjangnya mengekoriku. Kupacu langkah, jantungku meledak di dada, namun kaki rasanya melekat di lantai.

Kulihat Cermin Berdarah

Aku melompat ke depan cermin besar di ruang tidur. Refleksiku tercermin bersama sosok anak itu, darah mengalir dari sudut bibirnya. Ia menempelkan tangannya pada kaca, meninggalkan stempel darah yang membentuk wajahku sendiri. Tubuhku kaku, aku terpaku menatap mata sendiri yang penuh dendam—wajah sendiri dalam foto keluarga bukan lagi di album, tapi di diriku.

Konfrontasi Terakhir

Dengan sisa tenaga, aku meraih palu di meja rias. Palu itu berderit diseret, memecah keheningan. Saat sosok itu melompat menerjang, aku mengangkat palu setinggi kepala, berteriak memohon ampun. Dentuman palu memecah udara, dan darah palsu meletus di lantai. Bayangan itu membeku, menjerit pilu, lalu menghilang, meninggalkan hening mencekam.

Fajar yang Menyimpan Luka

Kurasap fajar merayap di balik jendela, sinarnya memecah ruang kelam. Album yang terbakar tersisa abu, cermin berceceran serpihan. Nafasku tersendat, tubuhku remuk redam. Namun satu hal membuatku menggigil: di cermin retak, terpajang wajah sendiri dalam foto keluarga, pecahan kaca membentuk senyum menyeramkan. Seolah arwah itu belum pergi, hanya menunggu pelarian berikutnya.

Jejak Masa Depan yang Suram

Meski tubuhku selamat, pikiranku terbelah. Setiap refleksi, aku takut melihat bayangan itu muncul lagi. Foto di ponselku tiba-tiba berderet gambar album yang terbakar, meski aku tak mengambilnya. Pesan tak terduga berisi lampiran foto keluargaku—serupa album tua—dengan wajahku di sudut. Aku merasakan napas panas di tengkuk, dan suara kecil berbisik: “Sekarang giliranmu.”

Penyesalan yang Abadi

Kini, aku hidup menonton bayangan masa lalu dalam setiap pantulan kaca. wajah sendiri dalam foto keluarga terus membuntuku, menuntut pertemuan berikutnya. Aku tak berani pergi jauh, takut arwah itu mencariku. Dan ketika malam tiba, jika kau mendengar suara sendu album terbuka, ingatlah: jangan pernah mengusik kenangan yang hilang, karena monsternya bukan di luar sana—ia sudah berdiri di balik lendir kaca, siap menatapmu dengan kegerian abadi.

Olahraga : Renang Artistik Indonesia Curi Perhatian ASEAN Games

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Post