Wajah Pucat Menatap Dari Sumur Dalam Desa Cisolok

Wajah Pucat Menatap Dari Sumur Dalam Desa Cisolok post thumbnail image

Desa yang Menyembunyikan Sunyi

Desa Cisolok di lereng Sukabumi dikenal dengan air panas dan ladang teh, tapi di balik hijaunya kebun, ada satu tempat yang jarang disebut — sumur dalam di ujung desa.

Airnya jernih di siang hari, tapi setiap malam, warga percaya ada wajah pucat yang menatap dari bawah permukaan.

Anak-anak dilarang mendekat selepas magrib. Katanya, sumur itu memanggil orang yang kesepian. Jika menatap terlalu lama ke dalam air, seseorang bisa melihat dirinya tenggelam tanpa benar-benar jatuh.


Kedatangan Adit

Suatu sore, Adit — mahasiswa jurnalistik dari Bandung — datang untuk membuat liputan tentang mitos di desa. Ia mendengar cerita dari warga, tapi menertawakannya.

“Wajah pucat? Mungkin pantulan lampu, atau efek bayangan,” katanya pada Ujang, penjaga kebun yang menuntunnya.

Ujang hanya menatapnya serius. “Kalau mau menulis, jangan menatap airnya langsung. Banyak yang hilang pandangan setelah itu.”

Adit menganggapnya bualan. Tapi saat malam turun dan kabut dari hutan merayap ke halaman, rasa ingin tahunya mengalahkan logika.


Di Tepi Sumur

Sumur itu terletak di antara dua pohon randu besar. Batu-batunya licin ditumbuhi lumut, dan di tepinya ada ember logam berkarat.

Adit menyalakan senter. Cahaya putihnya jatuh ke permukaan air yang hitam dan tenang. Ia menunduk, menatap ke dalam.

Awalnya, hanya pantulan wajahnya sendiri. Tapi perlahan, di balik bayangan itu, muncul wajah lain — wajah pucat, dengan mata kosong dan bibir biru. Rambutnya terurai panjang, melayang di bawah permukaan seperti akar.

Adit mundur setengah langkah. Air bergelombang sendiri, meski tak ada angin.

“Siapa di sana?” suaranya pecah.

Dari bawah sumur, terdengar suara gemericik… lalu bisikan lembut:

“Kau akhirnya datang.”


Malam yang Tak Tidur

Adit berlari kembali ke rumah warga tempat ia menginap. Tapi sepanjang malam, ia merasa ada yang menatapnya dari jendela.

Di kaca, kadang terlihat embun yang membentuk sidik jari. Saat ia menghapusnya, wajah pucat muncul sekilas — seolah menempel di balik kaca, lalu lenyap bersama kabut.

Ia tak bisa tidur. Dalam gelap, ia mendengar bunyi tetesan air di kamar, padahal kran sudah ditutup. Setiap tetesnya disertai bisikan samar, seperti suara perempuan yang menangis.


Kisah dari Masa Lalu

Pagi harinya, Adit menemui kepala desa, Pak Darsa. Lelaki tua itu diam lama sebelum akhirnya bercerita.

“Empat puluh tahun lalu,” katanya pelan, “ada gadis bernama Siti, anak penggali sumur. Suatu malam dia hilang. Hanya ditemukan selendangnya mengambang di sumur itu.”

Warga mencoba menutup sumur, tapi setiap kali batu diletakkan di atasnya, batu itu terlempar sendiri ke luar. Setelah itu, hujan tak berhenti selama tiga hari, dan air di sumur berubah bau amis.

Sejak saat itu, orang sering melihat wajah pucat muncul dari air, terutama pada malam Jumat ketika kabut turun dari bukit.


Ujian Logika

Adit menulis kisah itu untuk artikelnya, tapi hatinya tak tenang. Ia merasa belum cukup bukti. “Aku harus melihat lagi, siang hari kali ini,” katanya.

Ia kembali ke sumur bersama Ujang. Matahari terik, suara jangkrik nyaring. Sumur tampak tenang, tidak menyeramkan.

Adit menyalakan kamera, mengambil beberapa foto. Tapi ketika ia melihat hasil tangkapan di layar, di salah satu foto ada bayangan wajah samar di permukaan air.

Wajah itu tidak tersenyum. Matanya kosong, dan menatap langsung ke arah kamera.


Senja di Balik Kabut

Sore menjelang malam. Ujang pamit pulang lebih awal. “Kalau kau mau tinggal di sini, jangan di dekat sumur,” pesannya.

Adit tetap tinggal, ingin merekam fenomena kabut. Ia menyiapkan tripod dan perekam suara. Saat azan magrib terdengar dari jauh, kabut mulai turun, perlahan menyelimuti tanah.

Di layar kameranya, ia melihat gerakan di belakang sumur — siluet seseorang berdiri diam. Saat ia menyorot ke sana, tak ada siapa-siapa. Tapi di headphone, suara rekaman menangkap sesuatu: napas berat dan bisikan yang sama,

“Kau akhirnya melihatku…”


Perempuan dari Air

Kabut makin tebal. Suhu turun drastis. Adit mendekati sumur, mencoba menutup lensa kamera. Tapi air di dalamnya mulai berputar pelan, mengeluarkan suara gemericik seperti seseorang sedang mandi di bawah sana.

Lalu dari permukaan, muncul tangan putih kurus, memegang bibir sumur. Rambut basah terangkat, lalu kepala perempuan muncul — wajah pucat itu. Matanya menatap Adit, seolah menuntut sesuatu.

Tubuh Adit terpaku. Kakinya tak bisa digerakkan. Perempuan itu berbisik,

“Aku tak selesai hidupku… tolong aku keluar.”

Tangannya meraih kaki Adit. Sentuhannya dingin, tapi kuat. Adit berteriak, menendang sekuat tenaga. Tubuh perempuan itu tenggelam lagi, meninggalkan riak besar yang menampar dinding batu.


Kembali ke Rumah Kosong

Adit berlari menembus kabut menuju rumah tempat ia menginap. Tapi rumah itu kosong. Lampu padam, pintu terbuka, dan di lantai ada genangan air mengarah ke kamar tidurnya.

Di ranjang, baju dan tasnya basah kuyup. Di atas bantal, tergeletak selendang tua berwarna hijau — persis seperti yang diceritakan kepala desa. Selendang itu masih basah, dan berbau lumpur.

Dari jendela, terdengar suara ember logam berputar pelan di tepi sumur.


Penjaga yang Hilang

Keesokan paginya, warga menemukan kamera dan buku catatan Adit di dekat sumur. Tubuhnya tak ditemukan, hanya jejak kaki yang berhenti tepat di tepi batu licin itu.

Ujang menatap kamera yang rusak, lalu menghapus foto terakhir. Di sana terlihat air sumur dengan bayangan dua orang: satu Adit, dan satu perempuan berwajah pucat berdiri di belakangnya.

Kepala desa memerintahkan untuk menutup sumur dengan semen. Tapi malam itu, semen yang baru mengering retak sendiri, dan dari celahnya keluar air bercampur lumpur.


Lima Tahun Kemudian

Desa Cisolok menjadi sepi. Banyak penduduk pindah karena sering mendengar suara tangisan perempuan dari arah kebun.

Namun di malam berkabut, penduduk masih melihat sosok lelaki muda berjalan ke arah sumur, membawa kamera di tangan. Mereka yakin itu bayangan Adit — atau mungkin, seseorang yang dipanggil oleh wajah pucat dari bawah air.


Arwah yang Tak Tenang

Seorang pemuda desa pernah bermimpi. Dalam mimpinya, ia berdiri di tepi sumur yang sama, dan perempuan itu muncul lagi, menatapnya dengan mata kosong.

“Aku hanya ingin pulang,” katanya.
“Tapi tak ada yang mau menggantikan tempatku.”

Pemuda itu terbangun dengan tangan basah dan baju berbau lumpur. Pagi harinya, sumur itu mengeluarkan gelembung kecil, dan airnya kembali berwarna merah tua.


Malam Terakhir di Cisolok

Kini sumur itu sudah ditutup rapat dengan besi. Tapi setiap kali hujan turun deras, air tanah di sekitarnya mengeluarkan suara seperti seseorang mengetuk dari bawah.

Dan bila ada orang berani menatap genangan airnya terlalu lama, mereka bisa melihat bayangan seorang perempuan berambut panjang, wajahnya pucat, bibirnya biru.

Dia menatap balik, diam, menunggu.

Mungkin menunggu seseorang yang cukup berani untuk menatap lebih lama lagi.

Berita & Politik : Netralitas TNI-Polri di Tahun Politik Kembali Dipertanyakan

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Post