Awal Malam yang Sunyi
Pertama-tama, wajah di cermin retak muncul tanpa peringatan—sebagai cahaya remang yang memantul di sudut kamar tidur. Selain itu, hawa malam tiba-tiba berubah dingin, meski AC tak menyala. Bahkan, detak jarum jam di dinding seakan melambat, memaksa jantungku berdetak lebih keras. Namun, keheningan justru membuatku semakin penasaran. Padahal, naluri memperingatkan bahaya; tetapi rasa ingin tahu memaksa aku melangkah mendekat.
Bisikan di Balik Kaca
Kemudian, saat aku mendekati cermin—yang retak membentuk jalan bercabang—terdengar bisikan lirih. Selain desahan lembut, nada suaranya menjerit lirih di telinga, “Aku di sini…” Sementara aku menahan napas, bayangan samar melintas di permukaan kaca. Bahkan, retakan itu berpendar merah, memancarkan kilatan seolah aliran darah. Karena itulah, aku tak mampu mengalihkan pandanganku dari wajah di cermin retak, yang terus menatap dengan mata kosong.
Bayangan Membeku
Selanjutnya, sebuah tangan pucat menekan sisi cermin, menciptakan getaran halus. Namun, saat kulirik tangan itu, kulitnya mengelupas seperti kain tua yang lapuk. Bahkan, kuku-nya panjang dan tajam, seakan siap mencabik siapa pun yang berani menatapnya terlalu lama. Meskipun merinding, aku terhipnotis—tak bisa melepaskan pandangan dari jejak kelelawar memudar di kaca. Selain itu, cermin mulai mengeluarkan tetesan cairan kental, menambah nuansa horor yang menggigilkan tulang.
Cerita Tersembunyi
Kemudian, ingatanku melayang ke legenda setempat: dulu, seorang gadis dituduh mencuri di desa dan dihukum mati di depan cermin utama rumahnya. Oleh karena itu, arwahnya terperangkap dalam lapis kaca, menunggu pembalasan. Bahkan, penduduk sempat mendengar jeritan malam kala cermin itu dipindahkan. Namun, karena dibuang ke gudang tua, cerita itu terlupakan—sampai kini. Namun pada akhirnya, aku menyadari bahwa wajah di cermin retak bukan sekadar bayangan, melainkan permohonan balas dendam yang membeku.
Ketukan di Lorong Gelap
Kemudian, terdengar ketukan bergema di belakangku—seperti palu pahat menghantam tembok. Meskipun pintu kamar terkunci, suara itu terus merayap pelan, menembus kulit. Bahkan, detak ketukan berubah cepat, menyerupai irama jantung yang terhenti. Sementara napasku memacu, aku mencoba meraih gagang pintu. Namun, tangan itu terasa berat, seakan dihisap oleh kekuatan gaib di balik cermin. Karena itulah, keringat dingin membasahi dahi; ketakutan merayap hingga tulang sumsum.
Tatapan Tanpa Wajah
Selanjutnya, cermin bergetar hebat, lalu retakan membesar, membentuk celah yang menganga. Dari celah itu, muncul sosok tanpa wajah—kulitnya kelabu, pipinya cekung, dan rambutnya kusut. Namun, yang paling menakutkan adalah sorot mata kosong yang menatapku tanpa belas kasihan. Bahkan, bayangan itu mencondong, seolah hendak merangkul dan menelan aku hidup-hidup. Meskipun tubuhku ingin berlari, kakiku melekat ke lantai, tak mampu bergerak.
Pertempuran dengan Bayangan
Kemudian, aku berusaha melawan—memukul cermin dengan lengan gemetar. Namun, pukulan itu hanya memecah lantai kayu, sementara cermin tetap utuh. Selain itu, bisikan berubah menjadi tawa mengerikan, memenuhi seluruh ruangan. Bahkan, aku merasakan tangan dingin merayap di leher, membekukan darahku. Namun pada saat yang sama, aku berusaha mengucap mantra pengusir arwah—meski suaraku bergetar. Karena hal itulah, retakan cermin memancarkan cahaya putih, seakan melawan kegelapan yang mengerumuni.
Puncak Teror
Akhirnya, ledakan cahaya menyilaukan memecah keheningan, dan bayangan tanpa wajah terjerembap ke dalam cermin. Namun, sebelum tenggelam sepenuhnya, sosok itu berbisik satu kalimat terakhir: “Kau tak akan pernah bebas…” Lantas cermin merekah total, serpihannya beterbangan, menimbulkan suara dentuman di telinga. Meski panik, aku berhasil meraih lengan dan menepuk kaca, memecah bayangan terakhir. Namun begitu sadar, aku terhempas ke lantai—dengan dinding kosong tanpa cermin di hadapanku.
Kesunyian yang Tersisa
Kemudian, aku berdiri perlahan, menatap lantai berserakan serpihan kaca. Meskipun bayangan itu pergi, ketakutan masih mengakar di sanubari. Bahkan, setiap kali malam tiba, aku terbangun karena mendengar bisikan pelan: “Aku di sini…” Karena pada akhirnya, wajah di cermin retak akan selalu menghantuiku, mengintai di balik setiap pantulan yang kusam.
Gaya Hidup : Cara Menjaga Kesehatan Jantung dengan 7 Kebiasaan Sederhana