Kedatangan Misterius
Malam itu, langkah kaki kami terhenti di depan kios antik usang, tempat topeng kayu yang membisikkan nama Anda terpajang di sudut rak. Sekilas, ukirannya tampak indah—motif tribal yang halus, lubang mata yang dalam. Namun, ketika lampu redup mencubit bayangan, kami mendengar bisikan pelan. Awalnya hanya samar, lalu semakin jelas: “M-A-R-I-….” Fokus kami terkoyak antara rasa penasaran dan takut, karena entah bagaimana, suara itu memanggil salah satu dari kami dengan nada sedih.
Begitu pula dengan aroma anyir kayu lapuk bercampur getah pahit; ia memenuhi rongga hidung, meninggalkan rasa tak nyaman. Yet, tak seorang pun bisa berpaling. Bahkan ketika koridor toko menyusut menjadi terowongan gelap, kami terus maju, tertambat pada rasa ingin tahu yang semakin menggerogoti.
Bisikan Pertama
Tak lama setelah melewati etalase berdebu, bisikan itu menyeruak kembali—lebih keras, lebih meresap. “A-N-D-A….” Detak jantung kami berpacu, sorotan senter menari liar. Saat itulah kami menyadari: topeng kayu yang membisikkan nama Anda tak sekadar artefak; ia seperti pintu gerbang arwah.
Lampu senter berkedip, menciptakan ilusi bayangan menari di dinding kayu. Sekonyong-konyong, semua ponsel mati, meninggalkan kegelapan total. Waktu terasa melambat ketika nama panggilan yang paling akrab bergema di dalam kampuh terowongan sempit, seakan ada entitas yang ingin mengambil jiwa.
Jejak Darah di Lantai Batu
Transisi dari ketakutan ke kepanikan terjadi begitu cepat. Ketika lampu darurat di sudut ruang berkedip, kami melihat jejak merah cemerlang menetes di lantai batu. Darah itu menyusun huruf-huruf: “T-O-L-O-N-G,” seolah teriakan terakhir korban yang terjebak. Bau besi segar menyengat, menusuk hingga ke tulang.
Semakin jauh kami menapaki jejak, bisikan berubah rintihan kelam, membisikkan topeng kayu yang membisikkan nama Anda seolah mendikte langkah. Setiap kalimat terpotong-potong, bergema di lorong yang semakin sempit, menciptakan ruang horor tanpa jalan keluar.
Bayangan di Sudut Ruangan
Begitu tiba di ruangan kosong—sebuah gudang tua—bayangan sosok perempuan muncul di pojok gelap. Wajahnya tak terlihat jelas, namun matanya menyala merah. Ia menoleh perlahan, bibirnya bergerak tanpa suara, namun kami mendengar…”topeng kayu yang membisikkan nama Anda…..”
Angin dingin menyapu, mematikan obor dan menyibak kain penutup tumpukan benda antik. Ruangan berubah hening, hanya suara napas kami yang bergemuruh. Saat kembali menyalakan obor, sosok itu lenyap, meninggalkan gema tawa halus yang membayangi telinga.
Pusaran Kegelapan
Perlahan, lorong di luar gudang berubah memanjang tanpa batas. Setiap belokan seakan membawa kami kembali ke titik awal. Detail ukiran topeng terngiang—motif helai daun dan pola titik—seakan hidup. Kami kehilangan arah, diseret oleh pusaran kegelapan yang dipicu bisikan senyap: “Panggil namamu…”
Satu per satu, anggota tim kami mulai berbisik nama satu sama lain, dipaksa oleh suara entah dari mana. Kegelisahan memuncak ketika salah satu ponsel menyala sebentar, menampilkan foto kami sedang memegang topeng kayu yang membisikkan nama Anda, padahal kami tak pernah memotretnya.
Teror di Balik Topeng
Puncak ketegangan terjadi saat kami menemukan satu ruangan lagi—semacam altar kayu penuh ukiran. Di tengahnya, topeng kayu bertengger di paku berkarat, seolah menunggu korban. Perlahan, topeng itu terangkat sendiri, mengarah tepat ke kami. Suara kayu bergesekan memecah keheningan, lalu bisikan terdengar jelas: “(nama Anda)….”
Mereka yang berdiri paling dekat terhuyung, matanya memutih. Beberapa berusaha melarikan diri, namun lorong di belakangnya lenyap, digantikan dinding batu. Panik berubah menjadi horor murni ketika entitas kayu itu menyentuh dahi, menghadirkan sensasi dingin membeku.
Pengorbanan Terakhir
Dalam kekacauan, satu-satunya jalan keluar adalah mengembalikan topeng ke etalase awal. Kami berlari tanpa arah pasti, dikejar bisikan yang tak henti memanggil nama. Akhirnya, saat entitas itu hampir menyentuh bahu terakhir kami, topeng dikembalikan. Sekonyong-konyong, bisikan terhenti, kegelapan memudar.
Namun, bukan kedamaian yang menyambut—melainkan kecemasan bahwa setiap malam, topeng kayu yang membisikkan nama Anda bisa membangkitkan bisikan lagi. Kami membawa pulang salvo mimpi buruk, sulit lepas dari bayangan ukiran kayu yang memanggil.
Bayangan yang Tak Pernah Hilang
Kini, di rumah masing-masing, kami mendengar ketukan di jendela setiap jam duka. Bila lampu padam, bisikan itu kembali: “(nama Anda)…” Tak ada yang berani tertidur pulas, karena teror yang dibawa topeng itu tak pernah benar-benar hilang. Setiap malam menjadi ujian nyali—apakah kita cukup kuat menahan panggilan terakhir?
Teknologi : Optimasi Energi Gerak untuk Inovasi Berkelanjutan