Pada malam sunyi itu, teror taman kota merayap di antara dedaunan dan bangku sepi. Lampu jalan berkedip perlahan, membiaskan bayangan panjang yang menari-nari di trotoar retak. Angin berdesir membawa bisikan—seolah memanggil nama-nama rahasia yang terlupakan.
Senja yang Berubah
Senja memudar, menyisakan rona jingga pudar di ujung cakrawala. Sementara itu, tikar daun gugur menumpuk di sudut jalan setapak. Tiap langkah kaki di atas kerikil menimbulkan denting pelan, bergaung di antara barisan pohon meranggas. Ketika jam menunjukkan pukul sembilan, hanya suara burung malam yang bertahan, hingga tiba-tiba…
Bisikan di Bangku Tua
Lalu, di tengah lapangan terbuka, berdiri satu bangku besi lapuk. Seseorang—atau sesuatu—telah duduk di sana. Senter redup menyorot wajah pucat, tanpa ekspresi, menanti. Bisikan lirih memecah keheningan: “Tolong…” Serentak, bulu kuduk meremang.
Jejak Kaki yang Hilang
Tak ingin berpaling, kaki terseret mendekat. Jejak langkah tersisa—tapi anehnya, berkelok tanpa jejak sepatu. Semakin dalam ke taman, semakin tebal kabut. Sekali lagi, lampu jalan berkedip, dan sosok itu lenyap.
Detak Jantung di Lembah Kabut
Gue merasakan detak jantung sedahsyat genderang perang. Napas tersengal, pandangan kabur. Saat kaki hampir tersandung akar pohon, suara tawa kecil menggema—menusuk hingga ke tulang.
Pertemuan di Jembatan Kayu
Di ujung taman, ada jembatan kayu lapuk membentang di atas kolam becek. Sosok itu muncul lagi, berdiri di tengah jembatan. Tubuhnya memantul samar di permukaan air.
“Kau ikut bermain…?” suara serak terbawa angin.
Gue terdiam, suara hilang entah ke mana.
Pilihan yang Menghantui
Air kolam bergelombang, menampakkan refleksi wajah gue—tapi di belakangnya ada sosok kedua. Panic menyeruak, gue menoleh—tapi tak ada siapa-siapa.
Lari ke arah gerbang: tapi bayangan selalu mendahului.
Berdiri di tempat: memanggil keberanian terakhir.
Klimaks di Gerbang Tua
Ketika tangan hampir menyentuh gagang gerbang berkarat, makhluk itu menyentuh pundak. Sentuhan dingin seolah meremukkan tulang. Gue terjerit—gemetaran.
Akhir yang Menggantung
Gerbang terbuka sendiri. Sosok itu menghilang ke kegelapan. Hanya tertinggal suara angin merintih di antara ranting. Saat gue menoleh, di tanah tergeletak selembar foto usang bertuliskan satu kalimat:
“Jangan kembali…”
Meski napas masih terengah, mata terus mencari bayangan terakhir. Taman kota kini kembali sunyi—tapi teror taman kota akan selalu menunggu di balik bangku sepi.
Gaya Hidup : 5 Kebiasaan Pagi Orang Sukses yang Bisa Kamu Tiru