Awal Teror di Hutan Kalimantan
Hujan deras mengguyur hutan Kalimantan malam itu. Di antara rimba lebat yang dipenuhi pohon ulin dan rotan liar, lima peneliti muda dari universitas di Jawa tiba dengan misi sederhana: meneliti spesies burung endemik yang disebut hampir punah. Namun mereka tak tahu bahwa langkah mereka telah melewati batas tanah terlarang, tempat di mana siluman bergentayangan.
Pemimpin tim, Nayla, seorang mahasiswi biologi berani, memegang peta sambil berkata,
“Kita hanya perlu dua malam di sini. Setelah itu, kita keluar sebelum badai datang.”
Mereka tertawa ringan. Namun di balik tenda, suara samar terdengar seperti rintihan panjang—diiringi desir angin yang tidak berasal dari arah mana pun. Seorang warga lokal yang mereka sewa sebagai pemandu, Pak Gantar, menatap gelapnya pepohonan dan berbisik,
“Kita tak seharusnya kemah di sini. Ini jalur para penunggu.”
Namun rasa ingin tahu manusia selalu lebih besar daripada rasa takutnya.
Jejak Hewan yang Tak Dikenal
Pagi pertama mereka di hutan itu terasa lembap dan menekan. Kabut tebal menggantung rendah di antara batang-batang pohon besar. Saat Nayla dan timnya memeriksa jebakan burung, mereka menemukan sesuatu yang tak sesuai dengan tujuan penelitian mereka: bekas cakar raksasa di tanah berlumpur, panjangnya hampir setengah meter, dan di sekitarnya ada bulu hitam pekat yang terasa panas saat disentuh.
“Ini bukan hewan biasa,” gumam Dimas, anggota tim yang ahli zoologi.
Pak Gantar menatapnya serius.
“Itu bukan hewan, Nak. Itu milik siluman hutan. Ia penunggu yang marah bila tanahnya diinjak manusia.”
Mereka menertawakan cerita itu, menyebutnya takhayul. Tapi ketika malam turun lagi, suara lolongan panjang terdengar dari kejauhan—terlalu berat untuk serigala, terlalu panjang untuk manusia. Suara itu bergema di antara pepohonan dan membuat bulu kuduk berdiri.
Malam Pertama: Cahaya di Balik Kabut
Sekitar tengah malam, Dimas terbangun karena merasa ada yang bernafas di luar tendanya. Ia membuka resleting perlahan. Dari balik kabut, tampak dua mata merah menyala di kejauhan, sejajar dengan matanya.
Saat ia mencoba menyorot dengan senter, sosok itu mundur ke dalam kabut. Namun sekelebat terlihat: tubuh tinggi, berbulu gelap, dengan rahang panjang seperti manusia yang telah berubah bentuk.
Siluman bergentayangan itu memandangi Dimas sebelum menghilang begitu saja.
Keesokan harinya, Dimas ditemukan duduk diam di luar tenda, tubuhnya kaku. Ia masih hidup, tapi tatapannya kosong, pupilnya membesar, dan bibirnya bergetar pelan, mengulang kalimat yang sama:
“Dia datang… siluman bergentayangan itu mencium darah manusia.”
Ritual Terlarang dari Masa Lalu
Pak Gantar akhirnya mengaku bahwa hutan itu bukan hutan biasa. Di masa lampau, sebelum datangnya agama dan pemerintahan modern, suku Dayak setempat memiliki penjaga spiritual yang disebut Penunggu Huma Lanting—siluman yang menjaga keseimbangan antara manusia dan roh alam.
Namun setelah kolonialisme datang, banyak ritual pengorbanan dihentikan, dan penunggu itu kehilangan penghormatan yang selama berabad-abad menjaga kedamaian hutan.
Legenda mengatakan bahwa bila manusia modern masuk tanpa izin leluhur, Penunggu itu akan bangkit, menuntut darah baru sebagai pengganti ritual yang dilupakan.
“Mungkin kalian sudah memanggilnya tanpa sadar,” kata Pak Gantar dengan suara serak.
Nayla, yang berusaha berpikir rasional, menolak untuk mempercayainya. Tapi hati kecilnya mulai goyah. Sejak pagi, aroma busuk seperti bangkai selalu tercium di sekitar tenda. Bahkan jejak kaki mereka yang kemarin tertutup lumpur kini tampak seperti dicakar dari bawah tanah.
Pengorbanan Pertama
Malam kedua menjadi titik awal teror sebenarnya. Saat hujan turun deras, lampu tenda mereka padam mendadak. Dimas yang masih trauma menjerit keras dari arah sungai. Ketika Nayla dan dua anggota lain berlari ke sana dengan senter, mereka melihat sesuatu yang membuat darah membeku.
Dimas tergantung di dahan rendah pohon ulin, tubuhnya terbalik, lehernya terkoyak seperti dicabik cakar besar. Matanya terbuka lebar menatap langit gelap. Di bawahnya, air sungai berubah kemerahan.
Dan di balik pepohonan, mata merah itu muncul lagi—lebih banyak kali ini.
Empat pasang. Delapan. Sepuluh.
Sosok-sosok tinggi, hitam, bulunya meneteskan cairan hitam kental. Mereka bergerak perlahan, mengelilingi tubuh Dimas seolah melaksanakan ritual kuno.
Pak Gantar hanya berbisik lirih, “Roh hutan menagih janji. Darah telah jatuh, mereka akan menari malam ini.”
Melarikan Diri dari Neraka Hijau
Keesokan paginya, mereka memutuskan untuk keluar secepat mungkin. Namun setiap arah yang mereka tempuh berujung pada jalur yang sama. Kompas berputar tak tentu arah. Peta tak lagi berguna. Seolah hutan itu berubah bentuk mengikuti langkah mereka.
Saat siang berubah senja, suara gamelan samar terdengar di antara desir hujan. Tapi di Kalimantan, tak ada gamelan.
Nayla sadar mereka sudah masuk alam siluman bergentayangan, dunia yang menumpuk di atas dunia manusia.
Pak Gantar jatuh tersungkur, darah keluar dari telinganya. Ia berteriak,
“Dia sudah di sini! Jangan menatap matanya!”
Namun terlambat. Salah satu anggota bernama Santi menatap sosok besar yang muncul dari balik pohon. Tubuhnya seperti hibrida manusia dan binatang, wajahnya separuh manusia dengan taring panjang, dan kulitnya menghitam seperti arang. Ia berjalan dengan langkah berat, setiap injakan membuat tanah bergetar.
Begitu tatapan mereka bertemu, Santi menjerit dan terbakar dari dalam—matanya meleleh, kulitnya merekah seperti retakan batu panas.
Tanda Darah dan Mantra
Nayla yang tersisa berusaha menyeret tubuh Pak Gantar menuju dataran tinggi. Di sana, di antara batu-batu besar, ia menemukan ukiran kuno—lingkaran dengan simbol Dayak kuno yang mirip dengan totem.
Pak Gantar dengan sisa napasnya berkata,
“Di sinilah dulu manusia memohon izin kepada penjaga. Kau harus bacakan mantra itu… dengan darahmu.”
Nayla menatap pisau kecil di tangannya, menggigit bibir, lalu menggores telapak tangannya sendiri. Ia meneteskan darah ke simbol itu dan membaca tulisan dengan suara bergetar:
“Oh Penunggu Huma Lanting, aku mengakui kesalahan manusia. Kembalilah ke dunia roh, biarkan kami pergi.”
Untuk sesaat, hutan menjadi hening. Angin berhenti. Tapi kemudian, suara langkah kaki berat mendekat. Dari kabut muncul siluman terbesar—setinggi dua meter, matanya menyala seperti bara api. Ia menatap Nayla, lalu mengeluarkan suara berat seperti dengungan bumi.
“Kalian menodai tanahku… dan sekarang kalian bagian darinya.”
Akhir di Hutan yang Tak Mengenal Fajar
Nayla mencoba berlari, tapi setiap langkah membuat tanah berubah menjadi lumpur hitam yang menarik tubuhnya ke bawah. Ia menjerit, mencoba meraih dahan, tapi tangan siluman itu mencengkeram bahunya.
Suara tulangnya patah terdengar jelas. Ia menatap makhluk itu untuk terakhir kalinya, dan di sana ia melihat ribuan wajah manusia lain—tertangkap di dalam tubuh makhluk itu, berteriak dalam diam.
Sebelum semuanya gelap, Nayla berbisik lirih,
“Kami hanya ingin meneliti, bukan mencuri.”
Makhluk itu menjawab tanpa suara, hanya dengan senyum tipis yang aneh, lalu menariknya ke dalam kabut.
Keesokan harinya, tim penyelamat menemukan perkemahan yang ditinggalkan. Semua peralatan bersih, tetapi tak ada jejak manusia, kecuali peta yang menempel di batang pohon dengan simbol darah di atasnya.
Penduduk desa menganggap hutan itu kembali “tertutup.” Tak ada yang berani melangkah ke dalam lagi.
Catatan Akhir Penyelamat
Beberapa bulan kemudian, seorang petugas hutan menemukan kamera rusak di dekat sungai. Di dalamnya ada satu rekaman terakhir:
Sebuah video kabur menunjukkan Nayla menatap langsung ke kamera, di belakangnya siluman besar berdiri tegak. Ia berbisik pelan,
“Jika kau menonton ini, jangan datang ke sini. Mereka masih bergentayangan.”
Video itu berakhir dengan suara tawa rendah dan langkah kaki berat menjauh.
Dan sampai hari ini, para peneliti menyebut area itu Zona Hening Kalimantan, tempat sinyal hilang dan arah kompas berputar tak tentu.
Namun bagi warga setempat, mereka hanya menyebutnya satu nama:
Huma Siluman — rumah bagi mereka yang tak pernah tidur, siluman bergentayangan.
Berita & Politik : Peta Koalisi Partai Politik Mulai Terbentuk Jelang Pemilu