Kedatangan di Rumah Tua Tak Bertuan
Ketika aku pertama kali melangkah melewati gerbang rumah tua milik omku di pinggir kota, suasana seketika menjadi dingin—padahal mentari sore masih bersinar. Bahkan pintu kayu berderit mengisyaratkan keengganan untuk menyambut tamu. Konon, sejak omku meninggal enam bulan lalu, tak seorang pun berani menempati rumah itu. Mendengar desas-desus tentang gambar di dinding yang selalu berubah, aku merasa penasaran namun tetap cemas. Saat memasuki ruang tamu, lampu gantung antik bergoyang perlahan, seakan ada tangan tak kasat mata yang mengusiknya.
Sorot mataku tertuju pada kanvas besar di dinding utama. Gambar bergaya potret keluarga itu tampak tak berapak—sebuah pemandangan pastor dan empat pemuka keluarga. Namun, jika kulihat lebih dekat, sosok di ujung kanan tampak kabur, dan bibirnya seakan bergerak pelan. Sementara kedap suara lampu remang, aku mendengar detak jam tua di sudut ruangan yang berdentum lebih cepat dari ritme normal, menandakan ketegangan yang kian memburu.
Seremoni Pembukaan Kusen Malam Pertama
Lebih jauh, malam pertama di rumah itu tidak kunjung berlalu dengan damai. Sekitar pukul dua belas malam, aku terbangun oleh suara benda terjatuh—seakan seseorang menendang pigura kosong di pojok ruangan. Begitu menyalakan lampu, kulihat gambar di dinding yang selalu berubah telah menampilkan wajah baru: seorang gadis kecil berwajah pucat, bibir terkatup rapat dengan tatapan kosong. Padahal, sosok ini tak pernah ada di lukisan semalam. Denyut adrenalin memuncak, membuat rambut kuduk berdiri.
Selanjutnya, pikiran terasa kabur ketika sosok itu mencondongkan tubuh seakan hendak melangkah keluar dari kanvas. Tubuhku kaku, tak bisa bergerak. Pada saat itu, aku nyaris menjerit, namun suaraku tertahan di tenggorokan. Bayangan gadis itu bahkan mengulurkan tangan kecil—seakan meraih jemariku—lalu menghilang begitu cepat. Suasana pun kembali hening, kecuali detak jantung yang kian menggema di ruang sempit.
Bisikan di Lorong Sepi
Pada pagi berikutnya, kuamati kondisi lukisan di dinding—namun sosok gadis itu sudah terhapus, berganti dengan potret dua orang pemuda berpakaian kuno. Padahal kemarin aku memastikan satu wajah tak berubah, namun kini tak satupun terlihat familier. Fokus keyphrase “gambar di dinding yang selalu berubah” terus bergema di benakku, seolah mengundang ketakutan baru. Dengan hati-hati, aku menyisir setiap sudut ruangan, mencari tanda ambruknya pigura atau bekas noda cat, tetapi semua tampak utuh.
Namun, saat berlalu di lorong, kulihat tumpukan majalah tua terbuka di lantai—foto wajah seorang bayi yang menatapku dengan mata hitam. Sekonyong-konyong, aku mendengar bisikan lembut: “Ayo, lihat aku…” Dengan rutinitas kecemasan, aku merasakan sensasi ada yang mengintip di punggung. Lampu lorong berkelip, menciptakan bayangan siluet yang bergerak di dinding. Napasku memburu, aku berlari ke kamar, menutup pintu rapat, dan menyalakan lampu meja sambil menunggu pagi.
Saudara Tua Datang Membantu
Tidak lama setelah itu, saudara sepupuku, Sari, datang mengunjungiku. Ia mendengar kabar soal rumah berhantu ini dan bermaksud membantu. Namun, saat aku menunjukkan ruangan dengan lukisan yang berubah, sorot matanya memucat. “Kamu harus lihat sendiri,” kataku, mencoba menenangkan diri. Saat Sari menyinari lukisan, sosok ibu mereka—nenek buyut—tampak berdiri di antara bayangan, memegang lilin yang menyala redup. Sesaat, wajahnya memudar sebelum menghilang.
Lebih lanjut, Sari berseru bahwa ia pernah mendengar cerita om ku melakukan ritual kuno agar arwah leluhur menetap di rumah ini demi melindungi keluarga. Akan tetapi, dengan matanya tajam, ia menambahkan, ritual itu salah dan malah memancing roh-roh lain. Dengan demikian, setiap malam, “gambar di dinding yang selalu berubah” tampak sebagai cerminan arwah-arwah yang terperangkap—mereka terus menuntut perhatian, mencari cara keluar.
Malam Pengintai Pertama
Kemudian, pada malam berikutnya, aku dan Sari menyusun strategi: menjaga lampu menyala sepanjang malam dan merekam segala aktivitas menggunakan ponsel. Namun, saat jam berdentum pukul satu dini hari, lampu tiba-tiba padam. Aku terpedih saat mata adaptasi kegelapan, lalu kulihat lukisan besar berpendar remang—lalu sosok berkubah muncul, menatap lurus ke arah kami dengan mata menyala merah. Suara gemerisik tumpukan buku di rak pun terdengar, seakan ada makhluk lain mendekati.
Sesaat kemudian, Sari menyalakan senter, menerangi lukisan. Sosok berkubah itu bergeser ke sisi lain kanvas—kini menampilkan potret seorang pria bertubuh kurus, tangannya memegang sebilah kapak. Darah seperti mengalir dari bibir kapak tersebut, menetes ke lantai. Tanpa aba-aba, suara tawa mengejek bergema di langit-langit, membuat napas kami terhenti. Ketika menoleh, Sari sudah pingsan, sementara aku terperangkap dalam kengerian mencekam.
Hari Kedua: Pengungkapan Arsip Keluarga
Padahal, Sari baru sadar keesokan paginya di ruang tamu. Kulihat lukisan itu sudah kembali ke potret semula—keluarga berfoto bersama. Aku menjelaskan kejadian semalam, namun Sari hanya mengangguk lesu. Lalu, kami memutuskan untuk menelusuri arsip lama om ku di loteng. Di sana, terdapat buku harian berdebu, memperlihatkan catatan harian om ku tentang setidaknya lima wajah yang muncul setiap malam—leluhur, tetangga yang meninggal, bahkan pemberontak desa era penjajahan.
Lebih jauh, terdapat pedoman ritual untuk menenangkan arwah:
- Letakkan sehelai kain putih di depan lukisan setiap malam
- Bacakan nama arwah yang muncul setiap kali lukisan berubah
- Panaskan air dengan bara lilin, lalu siramkan pada pigura sebelum fajar
Dengan harapan ritual ini membantu, malam itu kami mempersiapkan semuanya. Namun, catatan itu juga mencatat dua kegagalan fatal, menyebabkan korban jiwa jika ritual tidak dilafalkan dengan sempurna.
Versi Arwah yang Lebih Kejam
Selanjutnya, malam ritual tiba. Setelah menuliskan daftar nama arwah, kami melangkah perlahan ke ruang tamu. Suasana hening, hanya suara detik jam sebagai temaram. Saat kuarahkan lilin ke pigura, seluruh gambar bergetar hebat, seolah menolak disentuh. Ketika aku melafalkan nama pertama, sosok nenek buyut muncul dalam lukisan, tangannya meraih kain putih yang kupasang. Namun, saat giliran nama kedua—tetangga yang bunuh diri—lukisan langsung berubah ke wajahnya dengan mata sembab darah.
Tiba-tiba, kap lampu di sudut ruangan pecah, serpihan kaca menebar di lantai. Sosok itu mengangkat kaki dari kanvas dan menjejak ke dunia nyata—sesosok diri perempuan pucat berkuku panjang dan mata hitam menggeliat. Suara tawa gila menggerus tulang belulang. Kami terdesak, tetapi wajib melanjutkan lafal nama ketiga—ayah kami, yang telah tewas dalam kecelakaan misterius. Ketika nama ayah terucap, gambar langsung berganti ke wajahnya, menatap kosong seakan menanti balas dari kami.
Klimaks: Pecahnya Realita
Padahal, setelah nama kelima—seorang pembunuh bayaran era kolonial—ucapan terakhir terucap, teror memuncak. Ruang tamu berputar, semua objek di sekeliling berayun menari liar. Sosok di kanvas melompat maju, membentuk kabut hitam pekat. Sementara itu, lukisan di semua dinding berubah bergantian, menampilkan wajah yang berganti setiap detik, seolah menemukan korban baru.
Dalam sekejap, kain putih terurai dan terbakar menjadi abu. Lalu, angin dingin yang tidak wajar menerpa tubuh kami, menusuk tulang. Lantunan melodi misterius terdengar—seakan suara paduan arwah yang menagih balas. Pada titik itu, aku merasa terhisap ke dalam lukisan, sementara Sari menjerit putus asa. Namun, entah kekuatan apa yang mencegah, aku merasakan tarikan mundur, lalu terseret kembali ke dunia nyata. Ruangan hening, namun aroma kematian masih kental.
Pembebasan yang Penuh Luka
Setelah fajar menyingsing, kami terkapar di lantai, tubuh lemas tak berdaya. Lukisan yang tadi bergejolak kini muram, menampilkan wajah keluarga yang tertawa—kering, tanpa emosi. Meski serangkaian nama telah dilantunkan, masih ada wajah yang tak tersebut—pemberontak desa yang murka. Seolah tak puas, ia muncul sesaat melintas di pojok ruangan, lalu menghilang ke balik dinding.
Dalam keheningan yang mencekam, kami sadar: upaya menenangkan arwah masih belum lengkap. Dua wajah tersisa menuntut nama, namun kami tak memiliki catatan lagi. Pada titik ini, Sari dan aku terikat janji, bahwa kami akan meninggalkan rumah ini—menghindar sebelum keheningan menjadi sumpah maut. Namun, ketika melangkah keluar, pintu depan mendadak menutup sendiri dengan dentuman keras, membuat nyali kami terperangkap.
Epilog: Warisan Ketakutan Abadi
Akhirnya, dengan sisa tenaga, kami menerobos pintu samping yang tak terkunci. Segera menuruni tangga, kami menyaksikan fajar pagi memutihkan langit. Namun, bayangan gambar di dinding yang selalu berubah masih menghantui retina: wajah pucat, mata hitam, bibir retak menebar jeritan. Entah siapa yang akan mengisi ritual selanjutnya atau apakah ada yang cukup berani untuk melanjutkan.
Kini, rumah tua itu terasa seperti benda mati yang menolak diabaikan. Setiap orang yang singgah pasti mendengar rumor—bahwa kamar kosong di lantai atas masih menyimpan wajah yang menghantui siapa pun yang melihatnya. Meskipun kami melarikan diri, aku tetap menyimpan kenangan pilu akan malam-malam kelam yang dihiasi wajah-wajah nai poli—sebuah warisan ketakutan yang sulit dilupakan
Alam & Lingkungan : Ironi Mikroplastik di Sumber Air yang berasal dari Alam