Telepon dari Lorong Gelap: Bisikan di Sela Bayangan Malam

Telepon dari Lorong Gelap: Bisikan di Sela Bayangan Malam post thumbnail image

Pembukaan Teror

Pada malam tanpa bintang, telepon dari lorong gelap tiba-tiba berdering di studio radio tua milik Raka. Bahkan sebelum ia sempat menekan tombol “angkat”, gema dering bergema dalam ruang sempit—menggetarkan tulang telinga. Sementara hujan deras memecah genting atap, suara petir turut bergabung menambah keriuhan malam itu. Oleh karena itu, Raka menahan napas sejenak, lalu melangkah gontai ke meja kayu lapuk tempat telepon terletak. Selanjutnya, lampu pijar berkedip—seolah menolak untuk mengungkap rahasia di balik panggilan fatal tersebut.

Denting Telepon Pertama

Tak lama setelah itu, Raka mengangkat gagang telepon; akan tetapi, yang terdengar hanya desisan statis. Bahkan ketika ia mencoba berbicara, suaranya tertahan, teredam oleh desiran misterius. Kemudian, barulah terdengar bisikan lembut: “Jangan… tinggalkan aku…” Sementara darah berdesir di telinga, Raka mematung, terkunci antara rasa penasaran dan ketakutan. Setelah itu, lampu vintage di sudut studio padam, meninggalkan kegelapan pekat. Oleh karena itu, ia segera menyalakan korek api dan menoleh—hanya melihat bayangan panjang menjulur ke dinding.

Jejak Suara yang Membeku

Lebih jauh, telinga Raka menangkap suara napas terengah-engah dari ujung lorong sempit di belakang studio. Bahkan tiap hembusan nafas menimbulkan getar di dinding bata tua. Selanjutnya, ia meletakkan gagang telepon dan merunduk, mencoba mendekati sumber suara. Meski kaki gemetar, ia menyalakan senter, menerobos kegelapan. Namun begitu cahaya menyingkap lorong, ia melihat jejak darah yang membeku membentuk pola abstrak—seolah mengejek logika. Oleh karena itu, detak jantungnya melonjak, sementara suara telepon kembali menjerit melalui statis: “Aku… di sini…”

Lorong Tanpa Ujung

Lalu, Raka melangkah ke lorong panjang yang pintunya berderet, menutup selamanya. Bahkan tiap derit langkahnya bergema, seakan menciptakan simfoni penderitaan. Selanjutnya, dinding koridor dipenuhi grafiti samar—tulisan tangan yang bertuliskan “JANGAN MASUK” dengan tinta yang memudar. Meskipun ngeri, Raka terus menelusuri lorong, mengikuti panggilan telepon dari lorong gelap. Sementara itu, suhu menurun drastis, membuat embun membeku di ujung lidahnya. Oleh karena itu, ia kian yakin bahwa panggilan ini bukan lelucon—melainkan permohonan teror hidup yang membeku.

Bisikan Melintas Malam

Kemudian, suara telepon kembali terdengar, jauh lebih dekat: “Raka… tolong…” Bahkan suara itu bergema di atas kepala, seakan melayang dari celah plafon. Selanjutnya, ia memandang ke atas dan melihat retakan besar di lantai dasar—awan tipis memancarkan cahaya pucat. Setelah itu, bisikan berganti histeris, terdengar tawa seram yang menusuk ingatan. Sementara detak jantungnya memuncak, Raka berusaha menahan air mata karena rasa bersalah: telepon dari lorong gelap telah memanggil namanya secara personal. Oleh karena itu, ia mengambil nafas panjang dan berdoa agar keberaniannya tak runtuh.

Kilatan Cahaya Ponsel

Kemudian, ponsel Raka berdering di saku—nada panggilan yang sama dengan telepon tua. Bahkan layar ponsel menampilkan nomor tak terdaftar: “Lorong Gelap”. Selanjutnya, dengan tangan gemetar ia mengangkat panggilan, namun ponsel hanya memancarkan getaran dingin. Setelah itu, di kejauhan, terdengar langkah kaki bergeser onggokan kerikil. Sementara itu, telepon tua di meja studio kembali menyala begitu saja. Oleh karena itu, Raka sadar bahwa lorong gelap itu kini merasuk ke dalam realitasnya—membentang dari dinding tua hingga layar digital.

Bayangan Sosok Menganga

Lebih jauh, kilatan senter menyingkap siluet sosok tinggi menjorok di ujung lorong. Bahkan meski kaburnya bayangan, ia tampak mengenakan jas hitam lusuh dengan wajah tertutup kerudung kelam. Selanjutnya, Raka merasa tangan dingin menyentuh pundaknya; akan tetapi ketika ia menoleh, tak ada siapa-siapa. Setelah itu, sosok di ujung lorong membuka mulut yang tampak tanpa rahang, mengeluarkan suara telepon berdering terus-menerus. Sementara darah menetes perlahan dari sambungan telepon tua di telapak tangannya, Raka terperangah—seolah panggilan itu memiliki nyawa sendiri.

Pertarungan Kesadaran

Kemudian, suara telepon beradu di ruang kepala Raka, benturan statisnya menjungkirbalikkan pikirannya. Bahkan tiap kata “Tolong…” berubah menjadi jeritan amarah. Selanjutnya, ia menggenggam kepala, mencoba menutup telinga; namun setiap sudut hatinya dipenuhi gema dering mematikan. Setelah itu, ia terjatuh terkapar, merasakan tangan kekar menariknya ke dalam lorong. Sementara itu, dinding di sekitarnya berubah menjadi permukaan ponsel yang retak, memantulkan mata takutnya. Oleh karena itu, Raka berteriak, berusaha memutus rantai panggilan terkutuk itu.

Pengorbanan Akhir

Lalu, dalam keputusasaan, Raka melempar gagang telepon tua ke sudut lorong. Bahkan begitu gagang mendarat, gema dering berhenti seketika. Selanjutnya, sosok kerudung itu merunduk, melepaskan cengkeraman di tubuh Raka. Setelah itu, ia menoleh: lorong gelap menjadi lorong kosong biasa, seakan tak pernah ada makhluk gaib di sana. Sementara itu, ponsel di tangannya sudah hangus, layarnya retak menyerupai jala halus. Oleh karena itu, ia merangkak keluar studio, menutup pintu besi berderit rapat, dan menancapkan palu besar di engselnya—berharap panggilan kegelapan tak pernah datang lagi.

Epilog Menyisakan Luka

Akhirnya, Raka terbangun pagi hari di koridor rumahnya, basah oleh keringat dingin. Bahkan suara telepon berdering sekali lagi, namun berasal dari balik dinding kamar. Selanjutnya, ia menekan telinga ke tembok; yang terdengar hanya keheningan. Setelah itu, hatinya remuk, sebab telepon dari lorong gelap telah memberikan pelajaran pahit: terkadang, panggilan teror abadi datang tanpa permisi, dan satu jawaban saja bisa mengantarkan jiwa ke dalam lorong tanpa ujung. Walaupun hidup telah terselamatkan, luka batin Raka akan terus berdenting, menunggu dering selanjutnya…

Kuliner : Menjelajah Rasa di Baubau: Kuliner Lokal yang Menggoda Selera

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Post