Tengah Malam yang Membeku
Pada pukul 02.32 dini hari, udara di dalam rumah tua terasa begitu beku. Pertama-tama, keheningan menyelimuti setiap ruang, sedangkan tiang lampu di koridor hanya menyisakan bayangan samar. Namun tiba-tiba, tangisan lelaki di lemari kosong memecah sunyi—suara parau dan panjang, seperti jeritan jiwa yang terperangkap dalam kegelapan. Seketika, jantungku berdegup tak beraturan, dan aku berusaha menyalakan lampu di ujung lorong.
Lebih jauh, suara itu terpantul di dinding, menciptakan gema menakutkan. Sementara itu, lantai kayu berderit pelan ketika aku melangkah mendekat, dipenuhi naluri ingin tahu sekaligus ketakutan tak tertahankan.
Jejak Bayangan di Koridor
Selanjutnya, aku mengarahkan sorot senter ke pintu lemari tua yang selama ini selalu terkunci rapat. Bahkan huruf “02:32” terlintas dalam pikiranku—jam tua di ruang tengah memang berhenti di angka itu. Namun, ketika aku meraih gagang pintu, terasa getaran lembut, seakan ada tangan lain yang menahan tinju pintu dari dalam.
Sementara itu, bayangan samar sesaat menari di celah pintu—sesosok lelaki kurus dengan mata merah menyala, rambut panjang menutupi separuh wajahnya. Ia menunduk, lalu menatap ke bawah, masih terisak teramat pilu.
Kilas Balik Peristiwa Tragis
Kemudian, ingatan masa lalu kembali menghantui. Lebih dari sepuluh tahun silam, penghuni lemari—seorang pemuda bernama Bram—dilaporkan hilang di malam badai. Sejak itu, bibirnya dikabarkan menangis dari balik pintu lemari jika siapa pun berani membuka kamar itu pada pukul 02.32. Bahkan serangkaian penampakan dan suara misterius pernah diabadikan tetangga terdekat.
Namun pihak berwenang tak pernah menemukan jasad Bram, hanya dinding yang penuh goresan kuku seakan berusaha melarikan diri.
Desir Angin dan Bisikan Lirik
Setelah itu, hawa dingin merambat ke tulang sumsum. Tiba-tiba, desir angin menerobos melalui jendela retak—padahal sejak malam tadi semua jendela tertutup rapat. Kemudian, terdengar bisikan lirih mengalun di telinga: “Bantu aku… lepaskan aku…” Suaranya nyaris tak terdengar, namun cukup membuat darahku membeku.
Sementara aku mencoba menenangkan diri, nada isakan Bram berganti menjadi ratapan penuh dendam, seakan menagih janji yang tak pernah ditepati.
Pintu Lemari Terbuka Pelan
Kemudian, tanpa kusadari, pintu lemari berderit perlahan membuka satu inci. Sekilas, cahaya lampu senter menyorot rak-rak kayu kosong bercat putih yang kini ditumbuhi lumut hijau. Jejak tetesan air menetes dari puncak lemari, menimbulkan noda hitam di lantai. Meskipun perutku berontak, naluri mendorongku untuk memasuki ruang itu lebih jauh.
Namun segera, petak pertama lemari memperlihatkan sesosok Bram yang menggantung—kepalanya miring tak wajar, garis leher menganga. Suara tangisnya langsung memuncak, memenuhi rongga dada.
Getaran Lantai dan Suara Langkah
Lebih jauh, lantai kayu di luar lemari bergetar. Aku mundur dua langkah, namun langkah-langkah berat mendekat dari belakang—entah Roh Bram atau entitas lain yang tersisa di rumah ini. Saat aku menoleh, tak ada siapa-siapa, hanya lorong panjang tenggelam dalam gelap. Namun suara langkah itu terus mendekat, bersamaan dengan isak tangis di dalam lemari yang kian menggila.
Sementara itu, plakat kayu berukir tanggal “10 Oktober 2009” jatuh berserak, menandai hari pertama Bram hilang.
Percobaan Menolong Bram
Kemudian, hatiku tergerak. “Tunggu, Bram…” gumamku pelan. Aku mengulurkan tangan untuk meraih sesosoknya—namun ketika jemariku menyentuh udara dingin, Bram menghilang seketika, digantikan semburat kabut kelabu yang mencekam. Meski gagal menyentuh, aku mendengar jelas suara lirih penuh harap: “Jangan pergi…”
Setelah itu, pintu lemari menutup dengan kekuatan sendiri, membiarkan lorong hening kembali.
Kepulan Awan Kabut di Ruang Tengah
Selanjutnya, aku berlari keluar kamar dan menuju ruang tengah. Ternyata, kabut tebal telah membanjiri lantai, menari di antara kursi antik dan meja kafe. Lampu gantung berderit, dan di balik kabut, sesosok lelaki lain muncul—bukan Bram, melainkan bayangan sosok iblis berkepala tanduk kecil. Ia berdiri mematung, menatapku dengan senyum penuh penghinaan.
Kemudian, terdengar lagi isakan Bram, lebih nyaring dan menyayat.
Suara Panggilan dari Jam Tua
Kemudian, di sudut ruang, jam tua yang berhenti bergetar satu kali—menandakan pergantian waktu ke 02.33. Namun suara “tangisan lelaki di lemari kosong” terdengar lagi, seolah Bram menagih waktu yang berlalu. Bahkan jam itu berdentang pelan, diiringi nyanyian mistis: “02:32… 02:32…”
Seketika, aku merasakan tekanan di dada, seakan jantungku diselimuti bobot batu besar.
Jejak Kuku dan Goresan Darah
Setelah itu, aku kembali ke lorong kamar Bram. Kali ini lantai dipenuhi jejak kuku dan noda darah kering. Goresan di dinding membentuk kata: “Bebaskan aku” dengan huruf terbalik. Meski mual, aku menelan ludah dan menggerakkan tangan untuk membersihkan sebagian goresan—namun darah itu memudar dengan sendirinya, seolah menolak dihapus.
Kemudian, tiupan napas Bram terdengar di telinga: “Cepat… sebelum tiba waktuku selanjutnya…”
Ritual Penebusan
Selanjutnya, aku menyiapkan alat sederhana: sebatang kapur putih untuk menggambar lingkaran, lilin hitam tujuh batang, dan air suci dalam mangkuk kecil. Dengan tangan gemetar, aku melukis lingkaran ritual di lantai kamar—mengikuti simbol-simbol kuno yang pernah kubaca di buku mistik. Kemudian, aku menyalakan lilin satu per satu sambil membacakan mantra pembebasan:
“Bram, jiwa terbelenggu, kuundang terang malam,
Lepaskan tangismu di dasar lemari, bebaskan langkahmu kembali ke cahaya.”
Ketika mantra terakhir terucap, bunyi dentuman keras mengguncang lemari hingga guncangan terasa ke seluruh rumah.
Konfrontasi Terakhir
Kemudian, pintu lemari terangkat, mengeluarkan letupan kabut tebal. Bram muncul, sosoknya menyala keperakan bagai arwah murni. Namun di belakangnya, bayangan tanduk mengejek mengekor. Bram menatapku, matanya lembut dan berlinang air. Suaranya, bukan lagi tangisan parau, melainkan bisikan syahdu: “Terima kasih…”
Lalu, sesaat kemudian, ia menoleh dan melangkah menjauh, meninggalkan tubuhku diliputi cahaya hangat.
Kedamaian yang Rapuh
Akhirnya, kabut menghilang, dan rumah kembali sunyi—namun suara jam berhenti di 02.32 selamanya. Meski Bram terlepas dari belenggu, aku menyadari rumah ini tak akan pernah sama. Begitu pula jiwaku; kenangan malam itu selamanya menancap, mengingatkanku bahwa ada tangisan di lemari kosong yang hanya bisa dihentikan oleh keberanian sekaligus kebaikan hati.
Bisnis & Ekonomi : Inovasi Keuangan Digital dan Transformasi Perbankan