Tangisan di ruang operasi kosong menggema, menembus tirai sunyi yang menjerat segala harapan. Seiring jarum jam berdetak tak beraturan, Dr. Arga melangkah masuk, kendati hatinya dipenuhi keraguan. Namun, ia tak pernah membayangkan bahwa malam itu akan menjadi awal dari mimpi buruk yang tak pernah berakhir. Meskipun lampu sorot sudah dinyalakan, rona hijau pudar di dinding menambah nuansa menakutkan. Sementara itu, sterilisasi alat masih berlanjut, dan aroma antiseptik menusuk ulu hati. Bagaimanapun, rasa dingin di udara terasa lebih menusuk daripada suhu ruang yang sebenarnya.
Bayangan di Belakang Kain Bedah
Ketika prosedur persiapan mulai, perawat Dina menutup muka pasien yang kini terbungkus kain bedah. Namun, di sudut matanya, tergambar sesosok bayangan yang bergerak perlahan di balik tirai. Selanjutnya, bayangan itu tampak semakin jelas—lengan kurus menggeliat, seolah hendak meraih tangan pasien. Perawat Dina menahan napas, lalu berbalik. Meski cahaya lampu operasi menerpa, ia hanya melihat kain steril yang berwarna hijau pudar. Setelah itu, ia memutuskan untuk memanggil Dr. Arga.
Suara yang Terabaikan
“Kau dengar itu?” tanya Dina dengan suara bergetar. Namun, Dr. Arga hanya menggeleng, mengira bahwa deru mesin dan ventilator menciptakan ilusi suara. Kendati begitu, langkah mereka semakin pelan, dan setiap detik terasa bagai ratusan detik di neraka. Walaupun sterilisasi ruang operasi seharusnya menghilangkan semua kontaminan, tak ada yang bisa mensterilkan ketakutan. Sementara itu, suara tangisan itu makin jelas, seperti erangan jiwa yang tersiksa. Dalam hati, Dr. Arga berbisik, “Ini bukan ilusi.”
Sinar Lampu Malap
Setelah lampu sorot ditekan lebih terang, tiba-tiba sinar itu redup sendiri. Lampu utama berkedip, menebar cahaya ungu kelam. Kemudian, bayangan sesosok anak kecil muncul di sudut ruangan—mati-matian menatap mereka dengan mata melotot yang menusuk. Meski udara terasa sesak, Dina memaksakan diri untuk menguatkan tangan Dr. Arga. Bagaimanapun, ia tak ingin terlihat takut. Seiring dengan lampu yang mati satu per satu, tangisan itu semakin memekakkan telinga.
Tubuh Menghilang
Pada detik berikutnya, kain bedah yang menutupi pasien bergerak sendiri, seolah ada yang mengerang di bawahnya. Setelah itu, suara retakan terdengar—tulang seakan berderak lepas. Dr. Arga mendekat, namun tubuh pasien sudah kosong; yang tertinggal hanya darah yang menetes pelan ke lantai keramik. Sementara itu, tangisan beralih menjadi tawa kecil anak di sudut ruang. Meski rasanya mustahil, tawa itu begitu nyata, seakan melekat di dinding basah. Kini, teror bukan lagi sekadar bayangan—melainkan kenyataan pahit yang menyesakkan.
Puncak Teror
Saat Dr. Arga membalikkan badan, ia melihat sosok dokter bedah pendahulu yang konon tewas karena kecelakaan. Kenangan tentang kabar kematiannya menyeruak: rahang terkatup, mata membelalak. Seketika, bayangan itu melesat ke arahnya. Dina menjerit, namun suara itu tercekik di tenggorokan. Kemudian, tangan pucat menyentuh bahunya, dingin sampai menusuk tulang. Namun, sebelum ia terjatuh, lampu operasi kembali menyala penuh—membiaskan kilau darah yang membeku di lantai.
Akhirnya, polisi dan tim forensik bergegas masuk. Mereka menemukan Dr. Arga terkapar dan Dina pucat pasi. Tangisan di ruang operasi kosong pun senyap—digantikan oleh sirine yang meraung. Kendati malam itu resmi ditutup, cerita tentang ruangan yang “kosong” namun menghuni jiwa setiap orang tetap hidup—dan semakin menakutkan seiring waktu bergulir.
Alam dan Lingkungan : Pintu Emas Masjid Nabawi: Keajaiban Arsitektur Islam yang Abadi