Tangisan dari Ruang Isolasi yang Sudah Kosong Malam Itu

Tangisan dari Ruang Isolasi yang Sudah Kosong Malam Itu post thumbnail image

Prolog: Jeritan di Balik Pintu Besi

Parara pintu besi berderit perlahan, ketika pertama kali terdengar tangisan ruang isolasi di lorong rumah sakit tua itu. Bau antiseptik yang menusuk, ditutup oleh aroma lembab dan lumut, seolah menyembunyikan kisah kelam yang menunggu untuk diungkap.

Bagian I: Bayangan Tanpa Wajah

Pada malam yang kelam, suster muda bernama Aulia bertugas sendirian. Lampu merah di ujung lorong berkedip, menandakan kamera pengintai mati, dan keheningan berganti dengung mesin yang terputus-putus. Tiba-tiba, dari ujung koridor, terdengar isak pelan:

“…ah… ah…”

Itu bukan suara alat medis. Itu tangisan ruang isolasi—lirih, namun menusuk syaraf.

Dengan senter di tangan gemetar, Aulia melangkah hati-hati. Setiap detak langkahnya bergaung di lorong panjang. Di balik pintu kaca, dia melihat kursi roda kosong, botol infus tumpah, dan noda merah yang mengering di lantai semen. Dia tahu tak ada pasien di ruang isolasi itu selama berminggu-minggu.

Bagian II: Jejak Darah dan Bisikan

Karena penasaran, Aulia mendekati pintu itu. Pintu terbuka setengah; ketika ditarik, ia menjerit. Jejak darah membentuk jejak kasar menuju sudut ruangan, tempat sebuah keranjang pakaian terkulai lemas. Terdengar suara:

“Tolong…”

Suara itu bergema, bukan dari tubuh manusia, melainkan menembus tembok. Suara yang sama terdengar nyaring di kepala Aulia, membuatnya terperangah. Tangisan ruang isolasi bukan sekadar legenda di antara staf. Itu nyata.

Bagian III: Sejarah Ruang Terlarang

Melalui kenangan takutnya, Aulia teringat kisah lama: seorang pasien demam berdarah parah pernah dikurung di ruang itu, tanpa pengawasan cukup. Ia dikenal merintih tanpa berhenti sampai akhirnya tewas di malam yang penuh badai. Setelah insiden, ruang itu tak pernah lagi digunakan—tapi jeritannya tak pernah benar-benar lenyap.

Kini, tangisan ruang isolasi menjadi warisan arwah yang haus didengar.

Bagian IV: Kegelapan yang Terwujud

Aulia menyalakan rekaman kamera. Layar menampilkan bayangan samar berjalan mondar-mandir. Terlihat sosok tinggi kurus dengan pakaian putih lusuh, namun wajahnya kabur, tertutup bayangan. Setiap kali lampu padam, sosok itu melompat menatap kamera, mulutnya terbuka seolah menjerit.

Tangisan itu menuntut perhatian.

Bagian V: Terowongan Duka

Dia memutuskan menelusuri pipa ventilasi untuk mencari sumber suara. Satu per satu jalur ventilasi diketuk, tapi hanya mengundang gema kosong. Begitu sampai ujung ventilasi di atas ruang isolasi, sesosok tangan dingin menyentuh bahunya. Aulia berbalik, namun hanya melihat dinding berjamur.

“Aku di sini,” bisik suara itu, langsung di telinga kanannya.

Aulia hampir pingsan. Tangisan ruang isolasi terdengar semakin dekat, merambat melalui pipa, merasuk ke tulang.

Bagian VI: Konfrontasi di Tengah Malam

Berbalik dan berlari, Aulia masuk kembali ke ruang isolasi. Di tengah kegelapan, lampu emergency menyala, menimbulkan kilatan merah yang menegangkan. Sosok itu muncul—bayangan pucat dengan mata hitam berkilat. Aulia merasa jantungnya berhenti.

“Kenapa kau melupakan aku?” suara parau menggema. Tangis dan tawa tercampur, menciptakan simfoni neraka.

Aulia teringat catatan medis: pasien itu berteriak memanggil suster, memohon air, namun tak ada yang datang. Malam itu, ia mati sendirian, suaranya tertelan kesunyian. “Aku di sini untuk diperhatikan,” bisik arwah.

Bagian VII: Pengorbanan Terakhir

Menggenggam salib kecil yang biasa dibawa, Aulia mengucap doa. Lampu emergency berkedip cepat, menyorot bayangan memanjang di dinding. Dengan gemetar, ia mendekat sambil terus mengulang, “Maafkan aku… maafkan kami semua…”

Arwah itu menatapnya, tangisnya berhenti seketika. Tubuhnya perlahan memudar, meninggalkan udara dingin yang merayap ke sumsum. Tangisan ruang isolasi berubah menjadi bisikan lirih:

“Terima kasih…”

Epilog: Lorong yang Kembali Sunyi

Keesokan harinya, ruang isolasi itu kembali bersih. Botol infus dan noda darah hilang tanpa jejak. Aulia tak pernah lagi mendengar tangisan itu—setidaknya sejauh staf baru menolak memasuki ruangan.

Namun di sudut koridor, saat lampu meredup, kadang samar terdengar:

“Aku masih di sini…”

Olahraga : Jelang Laga Panas Indonesia vs China di GBK

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Post