Malam Sunyi di Tanggul Bengawan
Tangis pengantin—dua kata yang menjadi legenda paling menyeramkan di Desa Sidorejo, sebuah desa kecil di tepi Bengawan Solo. Setiap malam Jumat Kliwon, warga sering mendengar suara isak pilu dari arah tanggul, padahal tak ada siapa pun di sana.
Bagi mereka, itu bukan angin, bukan pula burung malam. Itu adalah tangis seorang pengantin yang mati mengenaskan di hari pernikahannya.
Bagi sebagian orang, kisah itu hanyalah takhayul. Namun bagi Dimas, seorang wartawan muda dari Surabaya, cerita itu adalah misteri yang harus diungkap. Ia tak percaya pada hantu, dan ia datang ke desa itu untuk membuktikan bahwa semua itu hanya mitos.
Tapi malam itu, Bengawan Solo menunjukkan wajah lain—gelap, sunyi, dan beraroma kematian.
Awal Penyelidikan: Desa yang Menyimpan Luka
Begitu tiba di desa, Dimas disambut oleh udara lembab dan bau lumpur yang kuat. Sungai Bengawan mengalir perlahan, memantulkan langit senja berwarna merah darah. Di pinggir jalan, terlihat papan kayu bertuliskan:
“Dilarang ke tanggul selepas Magrib.”
Dimas menanyakan peringatan itu kepada kepala desa, Pak Wiryo, pria sepuh dengan suara berat dan mata tajam.
“Itu untuk keselamatan, Nak. Banyak yang tidak kembali kalau nekat ke sana,” katanya.
“Kalau malam, tanggul itu bukan tempat manusia.”
Pak Wiryo kemudian bercerita tentang Raras, gadis desa yang meninggal di hari pernikahannya tiga puluh tahun lalu. Saat itu, banjir besar melanda desa dan menghanyutkan rumah calon suaminya.
Raras yang panik berlari ke tanggul untuk mencari kekasihnya, tapi tanggul itu jebol, menelannya hidup-hidup bersama gaun putihnya.
Sejak malam itu, warga sering mendengar tangis pengantin dari arah sungai—lirih, menyayat, dan seolah memanggil nama seseorang.
Jejak Pertama: Gaun di Lumpur
Malam pertama penyelidikan, Dimas membawa kamera dan perekam suara. Ia berjalan menyusuri tepian tanggul dengan senter di tangan. Angin dari arah sungai terasa dingin, menusuk tulang.
Suara jangkrik mendadak berhenti ketika ia menapaki tanah becek di puncak tanggul. Lalu, sesuatu mengilap di antara lumpur—potongan kain putih berenda.
Ketika ia memungutnya, bau anyir darah tercium samar.
Kain itu seperti bagian dari gaun pengantin.
Dimas mencoba memotretnya, tapi kameranya mati mendadak. Ia menatap sekeliling, dan untuk sesaat, ia melihat sesuatu di kejauhan:
Siluet seorang wanita bergaun putih berdiri di tepi sungai, rambut panjangnya menutupi wajah, dan tangannya menggenggam sesuatu yang memantulkan cahaya.
Ketika Dimas menyorotkan senter, sosok itu lenyap—seolah tersapu angin. Tapi dari arah sungai, terdengar suara isak lirih. Tangis pengantin.
Cerita dari Dukun Desa
Keesokan harinya, Dimas menemui Mbah Gendro, dukun tua yang dikenal bisa “melihat” dunia lain.
Mbah Gendro berkata pelan sambil menatap air dalam kendi di depannya.
“Raras tidak mati karena banjir, Nak. Ia mati karena dikhianati.”
Menurut Mbah Gendro, calon suami Raras, Sastro, sebenarnya selamat dari banjir. Tapi ia lari bersama perempuan lain pada malam yang sama. Saat Raras tahu, ia berlari ke tanggul dan mengutuk Sastro sebelum melompat ke dalam arus Bengawan yang menggila.
“Rohnya tidak pernah diterima air maupun tanah,” kata Mbah Gendro lirih.
“Ia mencari cinta yang mengingkarinya… dan siapa pun yang datang malam-malam ke tanggul, dianggap sebagai pengganti.”
Dimas menelan ludah. Meskipun hatinya tidak percaya, bulu kuduknya mulai berdiri.
Malam Kedua: Tangis dari Dalam Kabut
Malam berikutnya, Dimas kembali ke tanggul, kali ini dengan dua warga muda sebagai pendamping: Rian dan Yusuf.
Kabut tebal turun dari arah sungai, menutupi pandangan mereka.
Pukul sebelas lewat tiga puluh, udara berubah sangat dingin. Dari kejauhan terdengar suara gamelan halus—seperti musik pernikahan yang dimainkan dari dasar air.
Lalu muncul suara tangis lirih, semakin lama semakin jelas.
“Sastro… aku sudah pakai gaun putihku…”
Rian menyalakan senter ke arah suara, dan mereka semua melihatnya—wanita bergaun pengantin putih, wajahnya pucat dengan air menetes dari ujung rambutnya.
Dari matanya mengalir darah.
Rian berteriak dan lari menuruni tanggul, tapi kakinya terjerat akar dan ia jatuh. Dimas dan Yusuf mencoba menolong, namun tiba-tiba dari arah sungai muncul tangan-tangan pucat menarik tubuh Rian ke dalam air.
Air berputar membentuk pusaran, dan dari dalamnya terdengar tawa lembut bercampur tangis. Tangis pengantin.
Kehilangan dan Keanehan
Pagi datang, tubuh Rian ditemukan di dasar sungai, matanya terbuka lebar, dan di tangannya tergenggam bunga melati layu.
Polisi yang datang menyimpulkan bahwa Rian tenggelam, tapi Dimas tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Namun rasa ingin tahunya justru makin besar. Ia merasa ada sesuatu yang belum terungkap.
Malamnya, ia memutar ulang rekaman suara dari perekam yang ia bawa malam sebelumnya. Di menit ke-17, terdengar suara tangis perempuan disusul bisikan lembut:
“Sekarang giliranmu, Sastro…”
Dimas terpaku. Tidak ada siapa pun yang tahu, tapi nama belakangnya adalah Sastro Wibowo.
Malam Ketiga: Gaun di Dalam Air
Malam terakhir, Dimas memutuskan datang sendirian. Ia membawa bunga melati dan potongan kain putih yang dulu ia temukan, berharap bisa “menenangkan” roh Raras.
Begitu tiba di tanggul, air sungai tampak tenang. Ia menaruh bunga di permukaan air dan berbisik:
“Raras… aku hanya ingin tahu kebenarannya…”
Tak lama, arus air berubah arah. Bunga melati tenggelam perlahan, dan dari dasar sungai muncul gaun putih panjang, melayang seperti hidup. Dari dalamnya, muncul sosok wanita dengan wajah hancur separuh, mata hitam tanpa bola mata, dan senyum yang tak manusiawi.
“Kau datang, Sastro…”
Dimas mundur ketakutan. Tapi langkahnya berat, seolah lumpur menariknya kembali ke tepi sungai.
Sosok Raras melangkah naik ke tanggul, air menetes dari ujung gaunnya. Ia meraih tangan Dimas dan menatap lurus ke matanya.
“Kau… sudah membuatku menunggu terlalu lama…”
Dimas berteriak, tapi tak ada suara yang keluar. Ia merasakan dingin menusuk tubuhnya saat tangan wanita itu menyentuh pipinya—dingin seperti air sungai yang mati.
Akhir Penyelidikan: Raras Menemukan Pengantin
Keesokan paginya, warga menemukan kamera dan tas Dimas di atas tanggul.
Rekamannya menunjukkan gambar kabur: sosok wanita bergaun putih menatap ke arah kamera, lalu tangan yang berlumur air menyentuh lensa sebelum semuanya gelap.
Tubuh Dimas tidak pernah ditemukan. Namun setiap malam Jumat Kliwon, warga mendengar dua suara tangis di tanggul: satu suara perempuan, satu lagi suara laki-laki.
Konon, jika kau datang saat bulan purnama, kau akan melihat sepasang pengantin berdiri di tepi Bengawan Solo—berpakaian putih, berpegangan tangan, dan menatapmu dengan mata kosong.
Tangis pengantin itu kini bergema berdua.
Sungai yang Menyimpan Dendam
Kini, desa Sidorejo kembali tenang di siang hari. Tapi begitu malam tiba, air Bengawan Solo berubah kehitaman.
Kadang, bunga melati akan hanyut sendiri, dan dari kejauhan terdengar gamelan halus—lagu pernikahan yang tak pernah selesai.
Beberapa nelayan bersumpah melihat dua bayangan berdiri di atas air, saling menatap dalam diam, sebelum perlahan menghilang ditelan kabut.
Mereka percaya, roh Raras akhirnya menemukan pengantinnya—entah cinta, entah korban baru.
Dan suara itu tetap terdengar, lirih dan memilukan…
“Aku… sudah memakai gaunku, Sastro…”
Flora & Fauna : Proyek Reboisasi Berbasis Komunitas Sukses di Gunung Kidul