Ketika pertama kali aku mendengar tangga tua berderit—padahal semua orang sedang duduk diam di ruang keluarga—jantungku langsung tercekat. Sementara itu, lampu gantung berayun pelan, menciptakan bayangan gelap di sudut-sudut ruangan. Meskipun pintu terkunci rapat dan tidak ada satu pun kaki manusia melangkah, bunyi kayu tua itu terus saja menggaung, seakan menandakan kehadiran makhluk yang tak terlihat.
Suara Tak Berwujud
Awalnya, keheningan dipenuhi suara napas beratku sendiri. Namun kemudian, terdengar suara “creak… creak…” menyeruak naik dari tangga kayu yang menghubungkan ruang tengah dengan lantai atas. Selain itu, gemerisik kain sofa ikut terpicu oleh getaran papan tangga. Sementara itu, para penghuni rumah menoleh ke arahnya tanpa mengucap satu kata—karena rasa takut lebih dominan daripada keingintahuan.
Kejanggalan yang Mencekam
Selanjutnya, aku beranjak dari sofa dan melangkah pelan mendekati pijakan pertama. Kemudian, kupijak kayu yang sama—namun kali ini justru diam seribu bahasa. Bahkan ketika aku mundur, bunyi itu berganti di anak tangga ketiga, seolah tangga tua itu punya kehendak sendiri untuk menakut-nakuti. Selain itu, hawa dingin tiba-tiba menyergap, membuat bulu kuduk meremang.
Sorotan Senter Darurat
Karena takut, aku mengambil senter kecil dari laci meja. Lalu, aku menyalakannya, memfokuskan sorot ke arah anak tangga berikutnya. Namun, sinar itu hanya menampilkan papan berjamur dan paku berkarat—tapi tidak ada siapa-siapa. Meski begitu, getaran “creak… creak…” semakin keras, seakan kaki-kaki raksasa sedang menapak naik. Sementara itu, aku menggigil, bertanya-tanya: “Siapa di atas sana?”
Bayangan di Ambang Pintu
Kemudian, sesaat lampu ruang tengah berkedip, menyingkap siluet tubuh tinggi di ujung lorong lantai atas. Sementara senterku gemetar, bayangan itu menatap lurus ke bawah, tanpa bergerak. Bahkan ketika aku berteriak meminta pertolongan, mulutku kelu; suaraku tertahan di tenggorokan. Selain itu, ketenangan semu itu menimbulkan ketegangan yang mencekam.
Nafas Dingin dan Bisikan
Selanjutnya, aku mendengar nada bisikan menembus kesunyian: “Turun…” katanya halus, namun menusuk pikiran. Meskipun kupikir itu hanya ilusi suara angin, hawa di sekitarku bertambah dingin—seolah ada makhluk beku yang menarik nafas di belakang. Kemudian, aku menoleh, hanya menemukan kursi tamu kosong, sarung bantal terjatuh, serta cawan teh yang terpecah.
Jejak Cairan Gelap
Lalu, aku memeriksa pijakan tangga yang baru kulalui. Di sana, terdapat tetesan cairan gelap—bukan air, melainkan noda menyerupai minyak kental. Selain itu, aroma anyir menempel di sepatu. Sementara aku berjongkok untuk mencium lebih dekat, senter menyinari papan di anak tangga ketiga yang retak membentuk pola menyeramkan. Bahkan, seolah retakan itu memancarkan aura menakutkan.
Darah di Pegangan Kayu
Kemudian, aku menoleh ke pegangan tangga, dan kaget saat melihat noda merah kering menempel rapi di lekukan tangan. Sementara warna merah itu kontras dengan kayu tua, aku merasakan detak jantung berpacu hebat. Selanjutnya, kupanjat anak tangga keempat dan kelima, mendapati noda semakin pekat—menjadikan tangga tua ini jalur darah tanpa tubuh yang terluka.
Kilatan Foto Lama
Setibanya di lantai atas, aku menyalakan lampu lorong. Seketika, kilatan terang memantul di foto keluarga yang tergantung miring di dinding. Dalam foto hitam-putih itu, keluarga kami berkumpul di tangga yang sama. Namun anehnya, di tengah barisan, ada sosok wanita berpakaian abad lalu—wajahnya kabur, seakan tertangkap amblas. Selain itu, foto itu seolah baru saja diambil: kaca frame berembun dan sarang laba-laba menempel di sudut.
Penelusuran Sejarah Rumah
Kemudian, karena penasaran, aku mencari arsip lama di rak buku tua. Dalam buku catatan pemilik rumah terdahulu, tertulis bahwa sosok wanita itu adalah istri penghuni generasi pertama, yang meninggal jatuh dari tangga pada malam bulan purnama setengah abad lalu. Selain itu, catatan medis menyebutkan wanita itu terluka parah di kepala, lalu terjatuh hingga ke lantai bawah. Sejak itu, suara tangga tua sering mengganggu ketenangan keluarga.
Konfrontasi di Lantai Atas
Setelah itu, aku melangkah ke ruang tamu lantai atas, di mana kursi goyang berderit pelan. Tiba-tiba, senter padam, menyisakan kegelapan total. Selanjutnya, aku merasakan sesuatu menyentuh bahuku—dingin hingga ke tulang. Ketika lampu darurat menyala, kulihat siluet wanita bergaun putih berdiri di depan jendela. Meski wajahnya tertutup rambut, kedua matanya merah pekat, menatapku penuh dendam.
Pelarian Terburu-buru
Kemudian, aku berbalik dan menuruni tangga dengan tergesa. Namun, getaran “creak… creak…” kini hampir tak berhenti, mengiringi setiap langkah. Selain itu, kursi goyang di lantai atas bergoyang hebat, padahal tak ada yang menyentuhnya. Sementara itu, aku tambah panik ketika pintu lantai bawah tiba-tiba menutup dengan sendirinya, memblokir jalan keluar.
Titik Terang yang Menyilaukan
Lalu, tiba-tiba lampu ruang tengah menyala terang, memancarkan warna putih menyilaukan. Saat itulah aku melihat sosok wanita itu melintas di belakang sofa—kini lebih jelas: tangan terulur, kuku panjang menghitam, rambut kusut menutupi wajah. Meskipun kupasang telinga ke pintu, tak terdengar bisikan apa pun kecuali detak jantungku.
Deretan Cermin yang Menggandakan Teror
Setelah lampu terang padam lagi, aku menoleh ke arah deretan cermin di dinding lorong. Setiap cermin memantulkan sosokku yang gemetar, namun di balik bayanganku tampak bayangan kedua—wanita berjubah putih—mengintip dari belakang. Bahkan saat aku menutup mata sesaat, pantulan itu menghilang; namun betapa syoknya ketika aku membuka mata, bayangan itu masih ada di satu cermin.
Jeritan Terakhir
Terakhir, aku berteriak sekeras mungkin saat sadar lampu kamar padam total. Kehampaan menelan suaraku, dan aku meraba dinding ingin menemukan saklar. Namun, tangan keriput wanita itu tiba-tiba menempel di dahiku, mendorongku hingga terjatuh. Sementara tubuhku berguncang hebat, aku merasakan telapak dinginnya menutupi mataku—menutup segalanya dalam kegelapan mutlak.
Sejak malam itu, tak ada lagi yang berani duduk di ruang tengah sebelum mengecek tangga tua. Bahkan hadirin pesta ulang tahun keponakan menolak naik ke lantai atas. Selain itu, keluarga kami memutuskan memasang palang kayu di pangkal tangga, berharap mengusir suara berderit itu. Namun hingga kini, pada malam-malam tertentu, kami masih mendengar “creak… creak…” yang mengundang kengerian—menandakan bahwa tangga tua ini tidak pernah benar-benar sepi.
Gaya Hidup : Yacht Race & Ekstrem Sport: Adrenalin Sultan Dunia