Tanda Salib Terbalik di Dinding Sejak Penghuni Baru Datang

Tanda Salib Terbalik di Dinding Sejak Penghuni Baru Datang post thumbnail image

Pertama-tama, malam itu hujan turun dengan deras saat Sarah dan Ali tiba di rumah peninggalan nenek mereka. Selain itu, rintik air memantul di genting tua, menciptakan ritme menegangkan di lorong panjang. Oleh karena itu, mereka menyalakan lampu senter dan membawa koper besar, berharap pindahan ini sekadar formalitas. Namun, yang paling membuat mereka merinding adalah tanda salib terbalik yang tiba-tiba tampak di dinding kamar utama—padahal malam sebelumnya tidak ada.

Penemuan Pertama

Selanjutnya, ketika Ali membuka pintu kamar, sorot senternya menyoroti garis hitam rapih yang terbentuk dari sisa arang atau abu. Selain itu, tekstur dinding kasar membuat capitan salib itu tampak lebih vulgar. Meskipun demikian, mereka berdua menganggapnya ulah perantau nakal. Namun, suara ketukan samar di balik papan kayu semakin menambah kegelisahan.

Bisikan dalam Kegelapan

Lebih jauh lagi, tepat setelah Sarah menepuk bahu Ali, terdengar bisikan lirih di sudut ruangan: “Lepaskan… aku…” Suara itu tertahan, lalu menghilang seketika. Selain itu, udara menjadi lebih dingin secara tiba-tiba, seolah ada pintu dingin yang terbuka di alam lain. Dengan napas terengah, mereka saling berpandangan, merasa terikat oleh satu ketakutan bersama.

Penyusupan Malam Pertama

Kemudian, malam pertama berlalu dalam keheningan mencekam. Walaupun berhasil tidur, mimpi buruk menghantui: sesosok bayangan tanpa wajah melangkah di atas kasur, meninggalkan bekas telapak tangan dingin di leher. Selain itu, setiap kali mereka terjaga, tanda salib terbalik di dinding tampak lebih tebal, seolah dicat ulang oleh tangan tak kasatmata.

Pencarian Sejarah Rumah

Oleh karena itu, keesokan paginya, mereka menggali arsip keluarga. Ternyata, rumah itu dihuni seorang pendeta eksorsis tahun 1950-an. Namun demikian, sang pendeta meninggal tiba-tiba di dalam kamar utama, tanpa catatan kematian resmi. Selain itu, rumor mengatakan bahwa ritual pengusiran setan gagal, meninggalkan entitas gelap yang terperangkap di dinding.

Suara Gedor dari Atap

Selanjutnya, ketika malam kedua tiba, suara berderu terdengar dari loteng—tempat yang sebelumnya terkunci rapat. Selain itu, lantai bergetar saat sesuatu berlari di atas pelat lantai papan. Meskipun demikian, mereka tidak berani naik, karena setiap langkah tangga kayu pasti mengeluarkan decitan panjang. Akibatnya, hati mereka semakin dipenuhi ketakutan.

Jejak Kaki Tanpa Sumber

Lebih lanjut, pada subuh ketiga, Sarah menemukan jejak kaki kecil yang basah di koridor berdebu. Jejak itu berakhir tepat di depan kamar mereka, padahal tidak ada pintu lain di sisi itu. Selain itu, lumpur yang menempel tidak datang dari mana pun—karena hujan sudah reda sejak pagi tadi. Dengan demikian, tanda salib terbalik semakin menandakan kehadiran roh penasaran yang terus menuntut kebebasan.

Telepon Misterius

Kemudian, ponsel Ali berdering tak henti-henti, meski kartu SIM belum dipasang. Suara di seberang hanya mendesah dan menggumamkan syair doa terbalik. Selain itu, nada dering menghilang seketika ketika Ali menjawab; suara itu berganti menjadi tawa panjang yang bergema. Oleh karena itu, mereka menyadari bahwa komunikasi dunia nyata pun ikut dilanggar oleh kekuatan supranatural.

Bayangan di Cermin

Selanjutnya, di suatu pagi, Sarah menatap cermin tua di ruang tamu. Sementara ia merapikan rambut, sekilas ia melihat sosok kedua berdiri di belakangnya—bahkan ketika ia menoleh, hanya ada bayangan gelap yang menghilang di balik tembok. Lebih jauh lagi, pantulan cermin berkedip, menampilkan tanda salib terbalik yang terukir pada permukaan kaca. Hal ini membuat ia terperanjat hingga hampir terjatuh.

Gerbang Rahasia Terbuka

Lebih jauh lagi, pada malam keempat, mereka menemukan pintu rahasia di balik rak buku tua. Pintu itu terbuka dengan sendirinya menimbulkan suara gemeretak. Selain itu, di dalamnya ada lorong sempit yang menukik ke bawah. Meski ragu, Ali turun menelusuri lorong yang remang—tidak menyangka bahwa di dinding bawah tanah itu terukir tanda salib terbalik yang sama, berjejer puluhan kali.

Ritual Pengusiran Gagal

Selanjutnya, mereka menemukan buku harian sang pendeta yang terjatuh di sudut terjorok. Dalam catatannya, tertulis mantra pengusiran yang harus diulang tiga kali di setiap persimpangan lorong bawah tanah. Namun, naskah itu berakhir di tengah kalimat, dan tinta berubah merah pekat—seolah darah manusia. Oleh karena itu, ritual itu gagal, bahkan membangunkan entitas yang lebih kuat, yang kini terjebak di antara dinding dan jiwa manusia.

Teror yang Mencapai Puncak

Tidak lama kemudian, segala bunyi pecah: cangkir di meja pecah sendiri, arloji dinding berdetak terbalik, sedangkan lukisan keluarga meneteskan cairan merah. Sementara itu, dari sudut ruangan, suara merintih menjadi teriakan menjerit kesakitan. Kemudian, pintu kamar tertutup rapat, membuat mereka terkurung dalam bayang-bayang yang hidup.

Pencapaian Titik Nadira

Kemudian, Sarah, yang selalu merasakan ikatan emosional dengan rumah ini karena leluhur, bertekad membebaskan roh sang pendeta. Oleh karena itu, ia mengumpulkan bahan-bahan sederhana: lilin putih, garam, dan salib kayu. Selain itu, Ali membaca doa penutup sambil memusatkan energi positif. Lebih jauh lagi, saat mereka mengelilingi tanda salib terbalik, cahaya lembut muncul, mencairkan bekas arang di dinding.

Pembebasan dan Pengorbanan

Namun demikian, sesaat sebelum ritual selesai, roh lain—lebih gelap—menerobos lingkaran perlindungan. Ali terhuyung, sedangkan Sarah memegang salib kayu hingga tangannya berdarah. Pada saat itulah, sambaran cahaya putih memancar dari salib, mengusir entitas jahat dan memuntahkan semua tanda salib terbalik ke tanah. Meskipun luka di tangan Sarah dalam, mereka berhasil memulihkan kedamaian.

Keheningan yang Baru

Akhirnya, keesokan pagi, rumah itu sunyi tanpa bisikan, tanpa jejak kaki misterius, dan tanpa garis hitam di dinding. Namun, banyak kayu yang lapuk dan struktur yang rapuh harus diperbaiki sebelum ditinggali kembali. Selain itu, Sarah dan Ali memutuskan meninggalkan sebagian ruangan bawah tanah terkunci, sebagai pengingat bahwa kadang ada hal yang lebih baik dibiarkan terkubur.

Meski begitu, setiap kali angin berhembus melalui celah jendela, terdengar desahan halus—seakan roh pendeta berterima kasih kepada mereka. Dalam hati, mereka tahu bahwa rumah ini kini bebas dari tanda salib terbalik, tetapi kisah kelamnya akan terus hidup di antara bisikan dinding.

Politik : Poros Baru: Ekonomi dan Diplomasi Indonesia–Tiongkok

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Post