Awal Kedatangan yang Mencekam
Pertama-tama, tamu tanpa bayangan muncul di ambang pintu rumah tua itu, meski lampu teras sudah padam total. Selain itu, udara malam tiba-tiba berubah dingin menusuk tulang, padahal AC tidak pernah menyala. Bahkan, detak jarum jam di ruang tamu semakin pelan, seolah waktu terhisap oleh kegelapan. Namun, rasa penasaran sekaligus ngeri membuat aku terpaksa menggapai gagang pintu meski hati berontak keras.
Suasana yang Memaksa Berhenti Napas
Kemudian, setelah pintu terbuka, desiran angin kencang menyambar wajah, membawa aroma tanah lembab dan darah kering. Meskipun tidak ada orang di teras, langkah kaki terdengar bergema—tanpa arah, tanpa tujuan—seakan menanti izin masuk. Karena begitu menakutkan, napasku tersendat oleh dingin yang tiba-tiba menjalari paru-paru. Selain itu, cahaya koridor yang remang semakin meredup hingga hampir gelap gulita.
Bayangan yang Hilang
Selanjutnya, tatapanku tertuju pada sosok berdiri di depanku: tinggi, kurus, berjas lusuh, tetapi tanpa bayangan sama sekali. Bahkan, lampu gantung di plafon tak memantulkan satu pun siluet, membuatnya tampak setengah hampa. Meski tampak tenang, aura kematiannya menusuk—seolah kabut maut melingkari tubuhnya. Namun, saat aku mencoba meraih kerah bajunya, tangan itu menghilang begitu saja, tertelan kegelapan lorong.
Ketukan di Keheningan
Lalu, terdengar ketukan pelan di balik pintu utama—berirama tidak beraturan—sebagaimana detak jantungku yang tersentak kencang. Meskipun pintu selebihnya tertutup rapat, suara itu menggaung hingga ke ujung rumah. Karena itulah, aku tergagap, mencoba menyetel sakelar lampu darurat, tetapi gagal; tombolnya seperti terkunci oleh kekuatan tak terlihat. Selain itu, denyut dingin merayap di leher, seakan ada tangan tak berwujud yang memeluk erat.
Selimut Gelap Menyergap
Kemudian, selimut malam menutup rapat setiap sudut ruangan—di mana pun aku berdiri, bayangan hitam mengerumuni. Bahkan, benda-benda kecil di atas meja bergetar halus, seakan hendak jatuh sendiri. Sementara detak ketukan berubah menjadi gemuruh samar, aku terpaku menunggu, takut sekaligus terhanyut dalam kepanikan. Namun, naluri bertahan hidup memaksaku merangkak menjauh, menembus lorong yang makin pekat tanpa cahaya.
Jeritan yang Membekas
Selanjutnya, terdengar jeritan panjang, memekakkan telinga, seolah berasal dari mulut tak kasat mata. Jeritan itu bergema, memantul dari dinding batu, lalu membisu seketika—meninggalkan keheningan yang lebih menyesakkan daripada suara apapun. Meskipun tubuhku bergetar hebat, aku berusaha menahan napas, takut terdeteksi oleh makhluk itu. Namun, di saat bersamaan, pintu di ujung lorong terbanting tertutup dengan keras—seolah di pukul dari sisi lain.
Perburuan Tanpa Jejak
Kemudian, aku berlari menabrak pintu demi pintu, mencari jalur keluar. Meski berlari sekencang mungkin, jemaraku dingin kaku saat meraih gagang besi yang tak kunjung membuka. Selain itu, setiap lorong tampak berputar, membuatku tersesat dalam labirin gelap. Bahkan, suara langkah kaki yang mengikutiku terus menempel, mendekat tanpa jeda. Karena itu, ketakutan tumbuh jadi panik, memaksa aku berteriak—namun suaraku tenggelam oleh gemuruh hampa.
Konfrontasi di Ruang Tengah
Lalu, tiba-tiba aku terperosok ke ruang tengah—yang selalu kosong tapi kini dipenuhi kabut tebal. Bahkan, tempat lilin di sudut berubah menyerupai kembang api hitam, yang meleleh tanpa asap. Namun yang paling mengejutkan, tamu tanpa bayangan berdiri di hadapanku, senyum mengerikan terukir di wajah pucatnya. Meskipun aku ingin mundur, kakinya tertancap ke lantai—membuatnya semakin nyata dan mematikan.
Titik Nol Teror
Selanjutnya, sosok itu mengangkat tangan, dan ruangan berguncang hebat. Lampu-lampu berkedip amat cepat, lalu padam serentak. Namun pada detik berikutnya, satu cahaya merah menyilaukan memancar dari mata tamu itu. Bahkan, di sela-sela retakan lantai muncul tangan-tangan membelang membiru, merambat ke arahku. Karena hal itulah, aku terjerembab ke lantai, menahan rasa ingin pingsan.
Puncak Teror Tak Terkira
Akhirnya, segala bunyi mendadak hilang, berganti dengung rendah yang menusuk kepala. Meskipun terdengar nalar tak mampu memahami, aku tahu: kematian sedang menantiku. Bahkan, sosok itu melayang mendekat dengan senyum melebar—tanpa suara namun menjerit di pikiranku. Namun pada detik terakhir sebelum cengkraman maut mencengkeram, aku menutup mata, berharap terbangun dari mimpi buruk.
Epilog Nan Suram
Kemudian, aku terbangun di lantai ruang tengah, dikelilingi pecahan genteng lampu. Meskipun hariku dimulai dengan sinar mentari, bayangan malam itu tak pernah pergi. Bahkan kini, setiap kali pintu diketuk tanpa bayangan yang terpancar, ketakutan mengubur logika—karena tamu tanpa bayangan tak pernah benar-benar pergi, ia selalu menungguku di ambang dunia dan neraka.
Kesehatan : Strategi Kesehatan untuk Usia 30-an: Apa yang Harus Diperhatikan?