Surat Wasiat yang Tertulis dengan Tinta Merah Masih Basah

Surat Wasiat yang Tertulis dengan Tinta Merah Masih Basah post thumbnail image

Pertama kali aku menerima surat itu, aroma tinta merah basah menyeruak tajam. Meskipun kertasnya terlihat kusut dan robek di beberapa sisi, aku tahu ini bukan dokumen biasa. Selain itu, setiap kali kulirik tulisan berlumuran noda merah, hawa dingin merayap di sekitar ruangan. Karena itulah, aku merasa sangat waspada—setidaknya, itulah yang kukira awalnya.

Babak Pertama: Kedatangan yang Membingungkan

Awalnya, aku hanya terkejut saat amplop tanpa alamat pengirim tiba di depan pintu. Kemudian, setelah membukanya, aku menemukan lembaran surat wasiat panjang yang ditulis tangan. Sementara itu, setetes noda merah mengalir perlahan dari pinggir kertas, seolah baru saja tumpah. Meskipun aku mencoba menghapusnya, noda itu tak kunjung kering—karena tinta merah basah seakan menarik darah pengirimnya ke permukaan.

Babak Kedua: Naskah Penuh Ancaman

Selanjutnya, kusebaris kalimat pertama: “Aku berjanji akan kembali menjemputmu malam ini.” Namun, yang lebih menakutkan, kata demi kata dilanjutkan dengan uraian dendam dan kutukan. Sementara mataku berlari di setiap paragraf, kupikir semua itu hanya akal-akalan—bahkan, aku sempat tertawa kecil. Tetapi, tiba-tiba, lampu meja bergetar, menegaskan bahwa surat ini lebih dari sekadar gulungan kertas.

Babak Ketiga: Titik Darah yang Bergerak

Kemudian, aku menyadari bahwa setiap kali kulihat sekilas tinta merah basah, noda itu berpindah. Pertama di ujung huruf “k”, lalu menyusup ke kata “mengutuk”, dan akhirnya menetes ke kalimat terakhir. Bahkan, aku merasakan butiran panas jatuh ke jemariku—seperti darah asli yang ditorehkan penulisnya. Sehingga, aku terhenyak, takut untuk menyentuh bagian yang baru saja bergeser.

Babak Keempat: Jejak Tangan di Meja Kayu

Setelah menutup surat, aku mendengar derit halus dari meja kayu di sudut ruangan. Lalu, kulihat bekas telapak tangan yang seharusnya tidak mungkin ada—karena aku sendiri yang menuliskan beberapa naskah di situ tadi siang. Namun kali ini, bekas itu tertinggal di dekat tumpahan tinta merah basah, menandai kehadiran sosok yang tak terlihat.

Babak Kelima: Bisikan dari Bayang-Bayang

Kemudian, seiring malam semakin larut, terdengar bisikan samar di telinga. Aku memutar tubuh dan menoleh ke sudut ruangan, namun hanya bayangan tirai yang menari tertiup angin. Selanjutnya, bisikan itu berulang, menegaskan kata “balas” dalam intonasi bergetar. Sementara hatiku berkontraksi begitu cepat, aku mencoba menenangkan diri dengan menarik nafas dalam-dalam—meski ketegangan tetap membekas.

Babak Keenam: Hujan Darah

Kemudian, tanpa peringatan, hujan deras mulai mengguyur atap rumah. Namun, bukan air hujan yang kudengar, melainkan gemeredang tetesan berdarah di atas genting. Sementara aku berjalan terhuyung ke jendela, kulihat semburat merah pekat merembes di sela genting, menetes di kaca. Begitu juga dengan tinta merah basah—seakan bergabung dengan darah hujan, menciptakan warna neraka di malam itu.

Babak Ketujuh: Jejak Kaki Menuju Ruang Kerja

Selanjutnya, aku mendengar langkah kaki berhenti tepat di ambang pintu ruang kerjaku. Meskipun pintu terkunci dari dalam, suara tumit menyentuh karpet menggema dengan jelas. Selain itu, ketika kulihat lubang kunci, aku tak menemukan tubuh di luar—hanya garis-garis merah yang mengikuti pola tinta basah di surat wasiat.

Babak Kedelapan: Konfrontasi Tanpa Wajah

Kemudian, aku memutuskan membuka pintu, walau tangan gemetar hebat. Saat pintu terkuak sedikit, kilatan cahaya lampu lorong menyorot sosok tinggi tanpa wajah. Selanjutnya, sosok itu mengulurkan tangan—menyorong buku besar terlipat dengan sampul kulit yang berlumuran tinta merah basah. Sementara aku terperangah, sosok itu meletakkan wasiat itu ke tangan kiriku tanpa suara.

Babak Kesembilan: Isi Wasiat Terakhir

Sesaat kemudian, sosok itu lenyap, seperti asap yang tersedot angin. Lalu, aku membuka kembali surat wasiat itu, mendapati halaman baru bertulis nama keluargaku, serta kalimat memerintahkan balas dendam di atas pusara nenek. Selain itu, tinta merah basah telah berubah menjadi warna hitam pekat—seakan berakar di kertas.

Babak Kesepuluh: Lari Menembus Malam

Kemudian, aku berlari keluar rumah, surat wasiat digenggam erat. Selama perjalanan, kupikir tentang nama yang tertulis: “Keluarga Rahardjo.” Sementara setiap langkah bergema di lorong sempit, suara bisikan “balas” terus mengusikku. Bahkan setelah mencapai ujung gang, aku masih mendengar gema tetesan tinta merah basah di belakangku.

Epilog: Teror Tanpa Akhir

Sejak malam itu, aku tak pernah tidur nyenyak. Selain itu, setiap surat sampah yang tiba di kotak pos memicu panik—karena kadang kulihat ujung tinta merah basah menonjol dari balik amplop. Oleh karena itu, aku tahu teror ini tak akan usai, selama tinta merah basah terus menempel di gulungan wasiat—mengundangku untuk memenuhi janji yang tak pernah kulayangkan.

Politik : Indonesia, China & Rusia: Strategi Diplomasi Tiga Poros RI

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Post