Surat Terbakar di Mei Kelabu: Bisikan Api di Lorong Malam

Surat Terbakar di Mei Kelabu: Bisikan Api di Lorong Malam post thumbnail image

Awal yang Sunyi

surat terbakar di mei kelabu tiba-tiba tergeletak di atas meja usang Mia ketika hujan abu turun tanpa henti. Bahkan ketika petir menyambar dan gemuruhnya mengguncang dinding bata, Mia tahu ada sesuatu yang tak wajar. Kemudian, tatkala ia meraih kertas itu, tercium bau hangus yang menusuk hidung—seolah sebuah pesan dari neraka baru saja tiba. Setelah itu, gugupnya ia membaca baris pertama: “Jangan abaikan aku.” Selanjutnya, tiap patahan kata membentuk pusaran kegelapan dalam pikiran Mia. Oleh karena itu, ia memutuskan menelusur asal surat itu, meski dalam hati ia merasakan ketakutan semakin menjalar. Sementara itu, angin malam membawa desah lirih, menambah suasana mencekam. Bagaimanapun, ia tak mampu menolak panggilan misterius dari surat terkutuk itu.

Jejak Api yang Membara

Kemudian, di halaman belakang rumah tua, Mia menelusuri jejak abu yang berderet seperti rantai. Lebih jauh, setiap langkahnya menimbulkan gema—seolah makhluk tak kasat mata mengikutinya. Selagi hujan abu menebal, ia menemukan potongan amplop yang setengah hangus. Bahkan saat ia merasakan dingin menusuk tulang, suara bayangan di antara ranting pepohonan mendesah dengan lirih. Terlebih lagi, sisa api kecil di sudut amplop menyisakan jejak merah yang berdenyut, seperti nadi hidup. Oleh karena itu, Mia tak berani membalik potongan kertas itu; namun rasa penasaran mendorongnya melangkah lebih jauh ke lorong gelap yang membentang di balik kebun. Walaupun bulu kuduknya meremang, ia terus menapaki lorong itu dengan hati-hati.

Tanda Kutukan di Pintu Tua

Sesampainya di ujung lorong, Mia melihat sebuah pintu kayu lapuk—lukanya dalam dan berlumut di sela-sela ukiran kuno. Sebelumnya, tak ada pintu ini; oleh karena itu, ia sejenak tertegun. Kemudian, di ambang pintu ia melihat bekas terbakar yang membentuk simbol aneh, seolah ajakan maut. Meski rasa takutnya semakin menjadi, ia ingat surat terbakar di mei kelabu yang menuntun langkahnya ke sini. Setelah menahan nafas, ia mendorong pintu dengan pelan, menimbulkan derit panjang yang mengisi udara. Sementara itu, kilatan petir menyorot sudut ruangan bagaikan lampu kedap-kedip, mengungkap siluet sosok yang memburam di balik kabut tipis.

Bisikan dalam Kehampaan

Lalu, ketika Mia melangkah masuk, keheningan seakan menelan setiap detik yang berlalu. Bahkan napasnya terdengar bagai gonggongan di ruangan besar tanpa jendela. Tak hanya itu, suara bisikan perlahan muncul, bergema dari segala penjuru. Sementara bisikan itu menukik ke telinga, Mia merasakan bulu kuduknya tegak; sekaligus, ia terpaku di tempat. Kemudian, suara itu berganti menjadi tangisan dan tawa seram yang tak manusiawi. Lebih jauh, bayangan memutar di sekitarnya, membentuk wajah-wajah pucat dengan mata kosong. Walaupun ia ingin berlari, kaki Mia terasa berat—seolah tertambat oleh rantai waktu.

Asa Tersembunyi di Api

Selanjutnya, Mia menoleh dan melihat bara api biru di atas lantai kayu—cahaya yang tak memberi kehangatan, melainkan mendidih menjadi kegilaan. Kemudian, sosok samar muncul di balik api itu: sosok perempuan bergaun putih yang matanya merah menyala. Oleh karena itu, Mia hampir pingsan; namun ia teringat surat terbakar di mei kelabu yang menegurnya lebih dulu. Setelah berusaha mengumpulkan nyali, ia bertanya lirih, “Siapa kamu?” Perempuan itu hanya tertawa, lalu dengan sudut bibirnya menodongkan jari ke amplop hangus di tangan Mia. Bahkan, bara biru seakan menari mendekat dan menyentuh kertas itu, membentuk kalimat baru yang tergores dalam asap.

Pengungkapan Terakhir

Lebih jauh, perempuan itu bicara dengan suara gaung, “Inilah balas dendam yang kau cari.” Sementara itu, kertas yang semula kosong kini terisi nama-nama mereka yang pernah mengkhianati janji di bulan Mei langit kelabu. Bahkan setiap nama menimbulkan letupan api kecil ketika diucapkan. Setelah itu, Mia menyadari bahwa surat terbakar di mei kelabu bukan sekadar pesan—melainkan mantra kutukan yang dirangkai oleh jiwa-jiwa teraniaya. Walaupun ia berusaha melempar amplop ke bara, kertas itu menggantung di udara, menolak musnah. Oleh karena itu, ia memutuskan menuliskan namanya pada sudut kertas agar kutukan berhenti. Namun sekaligus, rasa penyesalan menyergap—karena balas dendam takkan pernah mati dengan cara mengundang kematian.

Akhir yang Membara

Akhirnya, ginjal Mia bergetar, suara tawa perempuan itu membumbung dan pintu tua itu menutup dengan gemuruh dahsyat. Kemudian, lidah api membakar ruangan dari sudut ke sudut, menciptakan lorong api yang memekakkan telinga. Dalam kobaran itu, Mia merasakan sengatan dingin yang membeku—seolah nyawanya menangis di antara bara. Sementara api merembet, surat terbakar di mei kelabu terbang keluar, membawa sisa abu ke malam hujan abu yang semakin pekat. Selagi nyalanya hampir padam, ia menoleh sekali lagi ke lorong; namun bayangan gaib itu sudah lenyap. Meski selamat, Mia tahu rindunya akan terus menggaung—karena kutukan tak pernah benar-benar mati, hanya menunggu untuk dinyalakan kembali.

Kesehatan : 7 Manfaat Konsumsi Bawang Putih Campur Madu Setiap Hari

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Post