Hening yang Tergadaikan
Pada malam pertama perpustakaan tua itu kembali dibuka, Surat Kutukan muncul begitu saja di antara buku-buku lusuh yang berdebu. Selanjutnya, lampu baca berkelip seakan ragu menyalakan ruang baca, sementara udara dingin menjalari setiap rak kayu. Bahkan ketika pustakawan menoleh, rak tempat surat itu tergeletak tampak kosong—seakan ia menghilang begitu cepat. Namun, tatkala fajar menjelang, surat tua berbingkai kulit itu kembali berderet rapi di rak nomor 13, memancarkan aura yang tak bisa dijelaskan oleh nalar.
Penemuan Buku Terlupakan
Kemudian, Arini—mahasiswi sastra yang magang di perpustakaan—memutuskan meneliti buku tua tanpa judul yang tergeletak di sudut ruangan arsip. Lebih jauh, ia membolak-balik halaman demi halaman, menemukan bahasa kuno yang mengerikan. Selanjutnya, di antara lembaran rapuh itu, ia menekan sebuah ruang tersembunyi: di sana terlipat sehelai kertas kusam bertinta hitam pekat. Tak hanya berisi tulisan bersusun, melainkan satu kalimat tunggal: “Siapa membacaku…” dan sisanya hilang dalam noda noda merah menyala.
Jejak Kutukan yang Mengintai
Lebih lanjut, selepas menemukan surat itu, setiap malam Arini merasakan getaran samar di ujung rak. Bahkan ketika perpustakaan sudah tutup, bayangan kecil melintas di celah pintu kaca. Setelah itu, suara langkah kaki tanpa sumber—celah antara lantai dan pintu—menerobos sunyi. Selanjutnya, setiap kali ia hendak menutup lembaran, tinta kuning di surat berubah warna, memburam sebagai tanda kehadiran kekuatan tak kasat mata. Semakin ia coba menjauh, semakin surat itu berdenyut, memanggilnya.
Bisikan Halus dalam Gelap
Sesudah lampu padam pada pukul sepuluh malam, suara bisikan melingkar di antara rak tinggi. Bahkan penjaga malam menutup pintu ruang baca, namun bisikan itu menembus kunci gembok. Kemudian, kata-kata lembut terdengar, “Bacalah… lanjutkan… sambungkan jiwa…” Suara itu merasuki kepala Arini, memaksa setiap huruf menjadi magnet bagi pikirannya yang rapuh. Lebih jauh, halusinasi muncul: lampu baca berkelebat merah, bayangan muncul di sela ribuan buku.
Tinta Merah yang Berubah
Lantas, keesokan harinya, pustakawan menemukan meja ruang arsip berlumuran noda tinta merah—bukan tinta biasa, melainkan cairan yang kental seperti darah segar. Bahkan jejak jari samar menempel di permukaan kertas: sidik-sidik kecil yang mengerikan. Setelah itu, surat yang ditemukan Arini kini terbuka lebar, menampilkan susunan kata lengkap: “Hidup dan mati terpatri di sini, jemput korban yang berani menatap.” Transisi antara ketakutan dan keingintahuan membuat semua yang melihatnya terdiam tak berani bergerak.
Gerak Bayangan antara Rak
Selanjutnya, malam semakin panjang ketika bayangan melompat di punggung Arini—sosok tengkorak kecil berkedip di sela buku sastra. Bahkan ia merasakan napas dingin menembus kerah baju, seakan ada tangan halus merangkul lehernya. Kemudian, terdengar denting halaman berbalik sendiri, tanpa ada hembusan angin. Lebih jauh, bunyi itu makin cepat, menegaskan bahwa surat kutukan telah aktif membangkitkan kekuatan gelap di perpustakaan.
Jeritan Terpendam yang Membekukan
Lebih lanjut, seorang penjaga gedung tua mendengar teriakan tertahan malam itu. Sementara lantai ubin bergetar lembut, jeritan kecil terdengar memecah kesunyian. Setelah itu, ia menyorot senter ke rak arsip—namun tak ada apa pun selain tumpukan buku usang. Selanjutnya, suara itu terputus begitu cepat, menyisakan gema kosong yang mencekam. Bahkan senternya berkedip, memancarkan cahaya ungu samar sebelum padam total.
Kebingungan Penjaga dan Mahasiswa
Kemudian pagi tiba, semua staf berkumpul di ruang utama. Arini memaparkan penemuannya, namun tak seorang pun percaya hingga koleksi surat tua itu bertambah: kini ada tiga lembar baru yang sama persis. Lebih jauh, seluruh sistem keamanan tercatat tak pernah membuka rak tersebut. Selanjutnya, kepala perpustakaan memutuskan memasukkan surat-surat itu ke dalam kotak besi kedap suara, berharap kutukan terkurung rapat. Namun, detik setelah kotak terkunci, terdengar rintihan lirih dari dalam, memperkuat keyakinan bahwa kekuatan telah terlepas.
Ritual Terlarang di Bawah Cahaya Bulan
Kemudian, demi menyelamatkan perpustakaan, Arini dan pustakawan senior, Pak Daniel, mencari petunjuk tentang kitab kuno yang memuat ritual penangkal kutukan. Setelah menelusuri naskah latin di ruang koleksi langka, mereka menemukan ritual sederhana: membaca mantra pembersih tiga kali di bawah sinar bulan purnama. Selanjutnya, malam purnama tiba, mereka membawa surat-surat terkutuk ke halaman belakang perpustakaan, membentuk lingkaran lilin. Lebih jauh, angin malam menerpa keras, tetapi suara bisikan menggema semakin kuat.
Titik Balik: Pembacaan Mantra
Sesaat mata bulan menampakkan diri di celah awan, Arini membaca mantra latin dengan suara bergetar: “Lux aeterna, ex hoc scriptum, redde silentium…” Selanjutnya, api lilin berkobar liar, membentuk sosok bayangan yang menari di udara. Namun ia tetap melanjutkan bacaan, sambil memusatkan niat untuk mengembalikan kedamaian. Setelah bait terakhir, sayup-sayup suara gemerisik halaman berhenti, diikuti hembusan napas panjang yang mereda. Lebih jauh, bayang-bayang pelan lenyap ke dalam tanah berlumut.
Epilog: Jejak yang Tak Terhapus
Akhirnya, saat fajar menyingsing, surat-surat dikubur jauh di bawah akar pohon tua halaman perpustakaan. Namun, bekas noda tinta tetap membekas di kotak besi kedap suara—sebagai peringatan bahwa kutukan belum benar-benar mati. Bahkan ketika pagi tiba, rak nomor 13 tampak kosong kembali, serupa ruang hampa. Lebih lanjut, Arini merasakan detak jantungnya masih bergema setiap kali melewati lorong sunyi perpustakaan. Maka, di setiap gema langkahnya, tercium bisikan halus yang mengingatkan: “Mantra hanyalah jeda. Kutukan… menanti.”
Kesehatan : Teknologi Smart Inhaler untuk Membantu Pasien Asma Modern