Surat Cinta dari Mantan yang Sudah Meninggal Lima Tahun

Surat Cinta dari Mantan yang Sudah Meninggal Lima Tahun post thumbnail image

Awal Keheningan yang Memekakkan

Pukul sepuluh malam, teleponku berdering sekali. Saat kubuka aplikasi chat, muncul notifikasi tak terduga: seseorang mengirim foto—sebuah amplop cokelat lusuh, tergores nama “aku” dengan tinta pudar. Begitu kulirik lebih dekat, detak jantungku melesat. Kata-kata dalam pesan itu menulis, “Ini untukmu.” Kalimat tunggal yang membuat darahku membeku, sebab surat cinta mantan meninggal itu datang tepat di tanggal kematiannya lima tahun lalu.

Kenangan yang Tak Pernah Padam

Delapan tahun lalu, aku dan Aldo melewati musim semi bersama. Senyuman terakhirnya terekam jelas di ingatanku, sebelum kecelakaan menjemputnya tanpa ampun. Kematiannya begitu tiba-tiba; satu detik bahagia, detik berikutnya peti kayu tertutup rapat. Sejak itu, aku menolak menerima semua surat darinya—tapi malam ini, surat cinta mantan meninggal itu menuntut untuk dibuka.

Surat Pertama: Tebal dengan Dendam

Kuangkat amplopnya perlahan. Teksturnya kasar, aroma kertas tua menyerbak ke hidung. Kupatahkan segel lilin yang retak, lalu kupulihkan lipatan lama dengan tangan gemetar. Di dalamnya, sebuah lembar kertas tulang, bergaris tipis: “Maafkan aku, tapi kau tak akan pernah bisa lepas dariku.” Tinta merah kehitaman menetes di sudut kertas, menyerupai darah beku. Kalimat itu terus berputar di kepala, membisikkan ketakutan terkelam—surat cinta mantan meninggal tak sekadar rindu yang terlewat, melainkan kutukan yang menjeratku erat.

Bayangan di Balik Lampu Malam

Sejurus setelah membaca sepenggal kalimat itu, lampu kamar redup seolah disedot energi gaib. Dalam keremangan, kudengar suara serak: “Aku di sini.” Kupalingkan kepala, dan kulihat siluet tubuh kurus di sudut ruangan. Sosok hitam bergoyang perlahan, bayangan tangannya meraih ke arah surat di mejaku. surat cinta mantan meninggal bergoyang di udara, tanpa ada angin yang berhembus.

Bisikan dari Alam Lain

Aku mencoba menjerit, namun suaraku tercekik. Bayangan itu melesat menembus dinding, membiarkan jejak dingin di udara. Tiba-tiba, suara Aldo—atau sesuatu yang mengatasnamakan Aldo—muncul di telingaku. “Kenapa kau buang aku? Kenapa kau pulang tanpa sepatah kata terakhir?” Bisikan itu menondongkan rasa bersalah paling kelam dalam jiwaku. Malam itu, surat cinta mantan meninggal melumat kesunyian, menghadirkan gema luka lama yang tak terobati.

Jejak Tinta di Setiap Pintu

Keesokan harinya, kubuka pintu apartemen. Jarak antar pintu tetangga penuh coretan seperti huruf-huruf samar. Di sana tertulis, “Masih ingat,” “Jangan pergi,” “Aku menunggumu.” Tinta merahnya sama persis dengan yang ada di surat. Semakin kutelusuri, semakin banyak motif ukiran patah hati—dan selalu ada kata kunci itu: surat cinta mantan meninggal. Rupanya, teror tidak berhenti di mejaku.

Mengejar Jejak Arwah

Aku memutuskan mencari tahu siapa yang mengirim. Bukannya alamat pengirim, di pojok amplop tertempel potongan koran usang: potret kecelakaan motor Aldo, lengkap dengan tanggal dan lokasi. Di bawahnya tertulis: “Aku menanti.” Kulangkahkan kaki ke TKP—jalan raya di ujung kota. Hanya lampu jalan remang yang menyambut. Saat kubuka pintu selokan pembatas trotoar, kudapati sebuah peti kecil kayu, di dalamnya tumpukan surat lusuh. Semua berisi ungkapan cinta sekaligus ancaman: “Jika kau tak balas rinduku, aku ambil nyawamu.”

Malam Penuh Derita

Ketika malam kembali tiba, suara ketukan keras bergema di jendela. Kurelakan tirai terbuka, menatap hujan rintik. Jejak bekas kaki basah menapak di lantai ruang tamu. Di ujung lorong, sesosok anak muda berdiri—wajahnya pucat, mata tak berkedip, memegang surat-suratku yang tertumpuk. Dia mengobrak-abrik album foto, meremukkan kenangan kami dulu. “Mengapa kau ingin bahagia tanpaku?” bisiknya, nyaris meremukkan hati.

Puncak Teror: Pertemuan Terakhir

Kuberanikan diri mendekat. Saat langkahku hampir menyentuh bayangan itu, ia mengangkat surat terakhir—surat cinta mantan meninggal tertulis jelas di sudutan kertasnya. Suaranya berubah jadi jeritan melolong: “Kembalikan aku!” Seketika, semua lampu padam. Suara dera hujan tertukar dengan dentuman pintu kayu yang ditendang habis-habisan. Aku terjembab ke lantai, terbenam dalam kegelapan yang pekat.

Doa yang Menghantui

Kumanjakan tangan gemetar, berbisik doa agar teror ini berlalu. Aku ingat instruksi dukun yang pernah bicara tentang “membacakan ayat suci… mengembalikan ikatan.” Namun, saat kubaca doa di depan pintu kamar, sosok itu muncul kembali, lebih rapuh namun lebih mengerikan. Ia menempel di atas kepalaku, memeluk leherku dengan kekuatan luar biasa. “Jangan hengkang,” desahnya. Tanganku melepaskan doa, membiarkan kertasnya terbang terbakar, menebarkan aroma kemenyan basah.

Kebangkitan Fajar

Ketika fajar mulai merembes, bayangan itu menghilang perlahan. Hanya sisa abu surat yang beterbangan di lantai. Nafasku terengah, tubuhku remuk redam oleh kegentaran. Namun, damai menyusup; api dukun membakar semua surat di halaman belakang, menghapus sisa-sisa ikatan kelam. Sejak pagi itu, surat cinta mantan meninggal tak pernah datang lagi—tapi bekas jejaknya, bekas luka di hatiku, terus membekas setiap kali bulan purnama muncul.

Jejak yang Tak Pernah Hilang

Meski peti kayu telah musnah, dan tinta merah telah pudar, aku tahu satu hal: cinta yang terlanjur berubah jadi dendam tak pernah benar-benar meninggalkan dunia nyata. Setiap kali lampu berkedip, atau intensitas detak jantung melejit tanpa sebab, ingatan akan surat cinta mantan meninggal kembali menghantui. Dan aku bertanya-tanya, apakah ia benar-benar pergi… atau masih menungguku di balik lembar kertas lusuh berikutnya?

Politik : Poros Baru: Ekonomi dan Diplomasi Indonesia–Tiongkok

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Post