Prolog: Bisikan di Malam Sunyi
Sejak pertama kali terdengar kabar sungai kecil menelan anak, penduduk Desa Kalimurni hidup dalam kecemasan tiada henti. Banyak keluarga yang menutup pintu lebih awal, sebab suara tawa dan tangisan misterius sering terdengar menjelang gelap. Namun demikian, tak seorang pun berani mendekati aliran itu ketika matahari sudah terbenam. Oleh karena itu, desas-desus pun kian berkembang, membuat takut setiap jiwa yang masih memiliki nurani.
Kemunculan Bayangan Hitam
Beberapa minggu lalu, sekelompok pemuda nekat berjaga di tepi aliran. Mereka mengaku melihat bayangan hitam melintas di antara pepohonan, seakan menari memanggil korban berikutnya. Selain itu, air sungai yang biasanya bening berubah keruh pekat tanpa alasan jelas. Lebih lanjut, suara pepohonan berderak seperti ada yang berjalan di dasar aliran. Dengan demikian, legenda sungai kecil menelan anak semakin mengakar di benak penduduk setempat.
Maya dan Tawa yang Membeku
Maya, gadis seumur sepuluh tahun, hilang dua malam lalu. Akibat panggilan tawa yang menggema, kakaknya, Rina, menegakkan tekad untuk mencari. Namun demikian, tawa itu berubah menjadi tangisan saat Rina tiba di tepi sungai. Dia menyaksikan jejak kaki kecil basah, lalu menghilang begitu saja di balik semak. Seiring waktu, tawa Maya yang manis berubah menjadi jeritan pilu, mengabarkan nasib tragisnya pada malam kelam itu.
Pendaran Cahaya di Dalam Arus
Satu lagi fenomena menyeramkan terjadi saat keluarga Pak Surya meletakkan lampu pelita di pinggir sungai. Malahan, pelita itu berkedip tanpa angin, lalu terkubur dalam air meski tak ada gelombang demi gelombang. Kemudian, saksi mata menceritakan kilatan cahaya merah berkelebat di bawah permukaan. Dengan demikian, keanehan sungai kecil menelan anak bukan sekadar cerita usang, melainkan kenyataan yang penuh tanda tanya.
Suara Jeritan yang Menembus Malam
Malam demi malam, suara jeritan memecah kesunyian desa. Bahkan, beberapa orang tua tak mampu tidur, merasakan dingin merayap di nadi. Sementara itu, yang nekat keluar rumah menjelang tengah malam, merasakan tangan dingin menyentuh bahu mereka—padahal tak ada bayangan manusia di sekitarnya. Oleh karena itu, keberanian berubah menjadi ketakutan yang mencekam kapan pun.
Jejak Tanpa Tubuh
Saat pencarian dilakukan, hanya ditemukan potongan kecil pakaian kanak-kanak dan jejak kaki yang memanjang menuju dalam hutan. Namun demikian, tubuh sama sekali tak ditemukan. Hingga akhirnya desas-desus menyebut keluarga korban menerima mimpi buruk serupa: tubuh anak-anak mereka terseret arus, hilang bersama kesunyian malam. Dengan demikian, semakin banyak yang percaya bahwa sungai itu memiliki kendali supranatural.
Upacara Tolak Bala
Untuk menenangkan arwah yang marah, Kepala Desa mengadakan upacara tolak bala di tepian. Mereka menabur bunga dan berdoa bersama, berharap roh yang gelisah segera tenang. Tetapi, dalam upacara itu, seorang pendeta melihat bayangan sosok kecil menatapnya hampa. Selain itu, tubuh sosok itu terbelah di air dan perlahan menghilang. Lebih lanjut, api unggun mendadak padam meski tak ada angin kencang. Oleh karena itu, ritual itu tak lebih dari sandiwara bagi kekuatan gaib yang menguasai sungai.
Pencarian Terakhir oleh Harun
Harun, pemuda pemberani, memutuskan menelusuri hulu sungai—tempat mata air bermula. Dia membawa lampu senter dan kitab doa, sambil melantunkan ayat pelindung. Namun demikian, langkahnya terhenti saat menemukan aliran bercabang menuju gua tak berujung. Seiring napas memburu, ia menyalakan senter ke dinding gua: terlihat jejak tangan anak basah darah, seakan menempel di batu. Dengan demikian, Harun menyadari bahwa sungai kecil menelan anak terbentang lebih jauh daripada yang terlihat mata.
Puncak Kengerian dan Pengorbanan
Dalam upaya terakhir, Harun mendayung rakit kayu kecil di permukaan yang tenang. Namun demikian, rakitnya mandek tanpa alasan, lalu diseret ke pusat aliran yang amat dalam. Seketika, muncul sosok hitam besar—entitas sungai itu—dan menatapnya dengan mata merah menyala. Harun terdiam, lalu memilih membaca mantera penenang hingga tubuhnya terkapar. Setelah itu, sosok kayu rakitnya hancur, sedangkan Harun lenyap bersama arus malam. Dengan demikian, desa pun kehilangan satu harapan untuk menghabisi kutukan.
Epilog: Desa dalam Keheningan
Akhirnya, Desa Kalimurni kembali sunyi. Padahal, suara tawa Maya dan tangisan Harun masih terngiang di angin malam. Bahkan, sungai kecil kini ditandai peringatan agar siapa pun tak mendekat. Namun demikian, bisikan gaib kadang masih tercium—seolah anak-anak yang hilang meminta belas kasihan. Oleh karena itu, legenda sungai kecil menelan anak akan terus hidup, terpatri dalam ketakutan generasi berikutnya