Awal Malam yang Tampak Biasa
Suara Sunyi di Bandara Soekarno Hatta langsung menyergap Sinta saat ia turun dari shuttle car. Bahkan di tengah keramaian, lorong keberangkatan terasa hampa—seolah seluruh dunia menahan nafas. Fokus keyphrase ini menuntun pembaca pada inti kisah, di mana gema langkah kaki dan dengungan AC seakan menyiarkan bisikan masa lalu yang menakutkan.
Munculnya Bisikan Tak Kasat Mata
Tak lama setelah cek-in, Sinta mendengar suara samar. Mula‑mula, ia pikir itu jarum jam tua di menara keberangkatan, namun semakin dekat, bisikan itu seperti memanggil namanya. Oleh karena itu, jantungnya berdegup kencang, dan ia menoleh ke sekeliling—hanya deretan kursi kosong dan papan penunjuk yang berkedip.
Lorong Gelap di Antara Gerbang
Ketika Sinta melangkah ke gerbang C3, lampu neonnya redup sekejap. Dengan cepat, ia melangkah mundur, tapi langkahnya tertahan oleh rasa dingin yang menjalar ke tulang punggungnya. Bagaimana mungkin, di siang bolong, suhu ruangan bisa sedingin ini? Tanpa disadari, Suara Sunyi di Bandara Soekarno Hatta itu mulai menanam ketakutan di sanubarinya.
Bayangan di Balik Tiang Baja
Lebih jauh di ujung lorong, terdapat deretan tiang penyangga yang licin oleh cat pudar. Di balik satu tiang, Sinta melihat bayangan manusia berdiri tegak—siluet tanpa wajah. Namun begitu ia mengedipkan mata, sosok itu lenyap. Lagi-lagi, yang tertinggal hanyalah suara bisik, “Sudah lama menunggumu…”
Kilas Balik Kenangan Lama
Tiba-tiba, ia teringat kejadian tujuh tahun lalu: kecelakaan pesawat kecil di landasan sebelah. Ia kehilangan sahabat karibnya, Raka, dalam bencana itu. Sejak saat itu, Sinta menolak naik pesawat, menolak menginjakkan kaki di bandara. Oleh sebab itulah, Suara Sunyi di Bandara Soekarno Hatta terasa seperti panggilan dari masa lalu, membangkitkan memori kelam.
Mencari Titik Terang
Dengan gemetar, Sinta mengeluarkan ponselnya dan menyalakan lampu senter. Cahaya tipis itu memantul di dinding beton, menyingkap tulisan “Gate C3 — Jakarta → Bandung.” Namun, papan keberangkatan menampilkan jadwal lima jam lagi. Siapa yang menawarkannya tiket malam sepi ini? Semakin ia menelusuri lorong, semakin kuat bisikan itu: “Aku di sini…”
Rintangan dan Penantian
Oleh karena tekanan psikis, ia berusaha menenangkan diri dengan bernapas dalam-dalam. Namun setiap kali ia menarik nafas, udara terasa berat, seperti tertelan kabut hitam. Sekali lagi, Suara Sunyi di Bandara Soekarno Hatta itu bergema—lebih keras, lebih menekan. Sinta tahu: ia tidak sendiri.
Penampakan Bayangan Putih
Saat ia menoleh untuk kabur, sosok bayangan putih melintas melewati ujung koridor. Gaun panjang berkibar, rambut terurai menutupi wajah. Bisikan berubah menjadi jeritan perempuan: “Raka…” Suara itu memanggil almarhum sahabatnya. Sinta mengepalkan tangan, menahan tangis. Apakah ia benar-benar melihat arwah Raka?
Menyusup ke Lorong Kelam
Dalam kepanikan, Sinta berlari—melewati duty free shop, kafe sepi, hingga pintu darurat. Namun pintu darurat terkunci rapat. Ia menoleh ke belakang: bayangan putih kini berjalan mendekat, langkahnya hampa namun penuh dendam. Sekali lagi, Suara Sunyi di Bandara Soekarno Hatta itu membayang di telinganya, mengaburkan kenangan tenang yang dulu pernah ia miliki.
Titik Klimaks di Pintu Darurat
Akhirnya, Sinta mencapai tombol pemecah kaca darurat. Ia meninju pelatnya, tetapi tidak pecah. Dengan segenap tenaga, ia menendang kaca, teriakan gaduh terdengar. Pintu terbuka. Angin malam Bandung menerpa wajahnya. Ia lari ke luar, tak peduli hujan ringan yang membasahi baju.
Akhir yang Menggelisahkan
Saat menoleh sekali lagi, terminal Bandara Soekarno Hatta tampak sunyi kembali—lampu normal, manusia bergegas di kejauhan. Namun, di antara deretan kursi tunggu, kursi bekas tiket kosong C3 bergerak pelan, mengeluarkan suara decit. Sinta menutup mata, berbisik: “Maaf, Raka… aku pergi.” Dan langkahnya menghilang dalam gelap.
Kesehatan : Detoks Digital: Istirahatkan Otak dari Layar Sepenuhnya