Prolog: Bisikan Pertama di Malam Gulita
Suara sendawa di balik pintu kayu menggelegar di lorong sempit rumah tua, menebar rasa ngeri sebelum langkah kaki menjejak. Bahkan sebelum lentera menyala, desah angin merembes, menirukan suara sendawa yang memekakkan telinga. Selanjutnya, detak jantung berdegup kencang, memaksa setiap napas membeku di batas kesadaran. Oleh karena itu, hati berteriak untuk mundur, tetapi kaki terlanjur melangkah ke depan, memasuki pusaran teror.
Bagian I: Gerangan di Ambang Pintu
Kedatangan Malam yang Terkutuk
Kemudian, pintu kayu tua terkelupas catnya berderit, seolah diseret makhluk tak kasat mata. Bahkan cahaya lentera bergoyang liar, menebar bayangan yang menari di dinding keropos. Setelah itu, suara sendawa kembali pecah—lebih keras dan merendahkan—mengundang aura kelam masuk lebih dalam. Selanjutnya, rasa dingin menyeruak, menyalut tulang hingga menjerit dalam kesunyian.
Bagian II: Bayangan Tanpa Tubuh
Siluet Melayang di Lorong
Namun demikian, di ujung lorong terlihat siluet tanpa tubuh, melayang rendah di atas papan kayu compang-camping. Bahkan mata tak mampu fokus pada bentuknya, karena kabut misterius mengelilingi setiap lekuk. Lalu, sendawa terdengar berulang, setiap kali sosok itu menyusut mendekat. Meskipun logika menolak, indera memaksa bertahan, memperhatikan setiap gerakan yang menyentakkan nyali.
Bagian III: Suara Lain yang Menyertai
Rintihan di Bawah Papan Lantai
Selanjutnya, terdengar rintihan parau dari bawah lantai, bergabung dengan sendawa yang bergema. Bahkan suara kayu retak menambah paduan irama menakutkan—bagai gong kematian yang ditabuh lambat. Setelah itu, satu papan lantai terangkat pelan, memperlihatkan rongga gelap berisi tulang belulang. Oleh karena itu, naluri bertahan hidup diliputi hawa kematian yang tak terelakkan.
Bagian IV: Sejarah Kelam Pintu Terkutuk
Legenda Keluarga Ario
Namun cerita lama mencatat, pintu kayu itu dulunya milik keluarga Ario, yang dilanda bencana satu demi satu. Bahkan konon, seorang anak yang mati di balik pintu mengutuk siapa pun yang membuka dan merasakan sendawanya. Selanjutnya, warga desa menghindar, menutup rapat setiap daun pintu saat malam merayap. Meskipun kisah itu dianggap mitos belaka, mereka tak ingin menjadi bagian dari kutukan purba.
Bagian V: Melodi Sendawa yang Membunuh
Irama yang Menjerat Jiwa
Kemudian, sendawa berubah menjadi melodi miring, menembus saraf paling dalam. Bahkan lampu lentera padam pada nada tertentu, membuat kegelapan menelan setiap kelegaan. Selanjutnya, langkah kaki di lorong berhenti, terhenti oleh irama mematikan yang tak bisa dihindari. Lalu, setiap sel darah bergetar, merasakan ingin lari namun terbelenggu oleh nada sendawa yang terus bergema.
Bagian VI: Konfrontasi di Ruang Tengah
Kilatan Mata Merah
Selanjutnya, di ruang tengah rumah, kilatan mata merah menyala dari balik perabotan rusak. Bahkan sosok sendawa itu menampakkan wujud samar—baju lusuh dan rambut acak-acakan. Setelah itu, sendawa pecah sekeras gong, membuat jiwa remuk. Oleh karena itu, keberanian terakhir bangkit, tangan meraih obor kayu dengan sisa nyawa.
Bagian VII: Usaha Memutus Kutukan
Mantra dan Lilin Hitam
Kemudian, seseorang mengangkat buku mantra tua, menyalakan empat lilin hitam di tiap sudut. Bahkan asap lilin mengepul, menciptakan simbol pelindung di lantai. Selanjutnya, doa dan mantra diulang perlahan, mengusir sendawa yang bergema jadi jeritan. Namun demikian, pintu kayu bergetar hebat, seolah menolak diberi kuasa manusia.
Bagian VIII: Titik Balik dan Pelarian
Pintu Terkunci Rapat
Namun demikian, pada puncak mantra, pintu terkunci mati dengan benturan keras. Bahkan sendawa berubah menjadi lolongan satwa liar yang memekakkan. Selanjutnya, sosok Ario kecil muncul di ambang pintu, tersenyum getir sambil menatap tajam. Lalu, obor terjatuh, menyisakan sisa api yang mengecil.
Epilog: Gaung di Lorong Sunyi
Akhirnya, pagi menjelang, pintu kayu tetap tertutup rapat. Selanjutnya, hanya gaung sendawa yang terpantul di lorong, menunggu petualang berikutnya untuk membuka dendam purba.