Suara Nafas di Ventilasi Tua Dengung Kematian di Lorong Sepi

Suara Nafas di Ventilasi Tua Dengung Kematian di Lorong Sepi post thumbnail image

Dengung yang Memanggil

Pada malam kelam tanpa bulan, suara nafas di ventilasi tua pertama kali menyusup ke lorong rumah sakit terbengkalai, membuat setiap langkah Mita—perawat magang termuda—bergetar. Pertama, desahan itu terdengar samar, kemudian perlahan melantun, hingga menyelimuti tiap ujung dinding keramik yang retak. Bahkan, ketika lampu neon berkedip, gema nafas itu seolah menuntunnya ke ruang-ruang kosong yang dihuni bayangan masa lalu.

Langkah Pertama Menuju Mimpi Buruk

Pertama-tama, Mita dipanggil ke ruang observasi pasien yang ditutup bertahun lalu. Selanjutnya, ia melewati kursi roda berdebu dan brankar yang teronggok. Bahkan ketika ia membuka pintu baja, hawa dingin menyergap, menimbulkan desah lembut dari ventilasi di atasnya. Meski ragu, ia melangkah masuk, karena suara nafas di ventilasi tua terus memanggil namanya, membangkitkan rasa ingin tahu yang menggila.

Bisikan yang Menguak Luka Lama

Kemudian, dalam keheningan, Mita menyeka debu di panel kontrol ventilasi. Lalu, terdengar desahan panjang—lebih keras dan tercekik—seakan arwah terbelenggu berusaha bebas. Bahkan uap dingin menyebar, menutupi lampu darurat hingga kuning redup. Meskipun napasnya tercekat, Mita menahan gemetar, bersiap menguak rahasia rumah sakit di balik deru logam tua itu.

Jejak Lendir dan Darah di Arah Suara

Selain dengungan, Mita menemukan tetesan cairan hitam kental dan bercak darah kering di sela jeruji besi ventilasi. Selanjutnya, aroma anyir darah basi menembus indera penciumannya, membuat kepala pusing. Bahkan jantungnya berdentum keras, seakan hendak melompat keluar dada. Meski begitu, ia menunduk dan mendengar bisikan lirih: “Tolong… lepaskan aku…” yang memaksa keberaniannya terus merembet ke lorong gelap.

Sosok Berkabut dalam Kabut Hitam

Lantas, saat kabut uap muncul dari ventilasi, terbentuk siluet tinggi berkerudung, dengan mata kosong yang menatap tajam. Kemudian, sosok itu melayang perlahan, disertai hembusan nafas berat yang memekakkan. Bahkan lampu neon di langit-langit berkedip cepat, menciptakan kilatan horor yang membekukan darah. Meski panik, Mita tak mampu mengalihkan pandangan; jari-jarinya gemetar memegang pintu logam.

Lorong yang Memanjang Tanpa Akhir

Namun, ketika Mita berlari menelusuri lorong mencari pintu keluar, lorong itu seolah memanjang tanpa ujung. Setiap ventilasi mengeluarkan suara nafas yang sama ritmenya, menciptakan simfoni kengerian. Sementara itu, langkahnya bergema di ubin retak, dan bayangan bergeser di dinding. Bahkan ketika ia menoleh, tidak ada siapa pun—hanya deru nafas yang mengejarnya, memasung akalnya.

Pencabikan Realita oleh Bisikan Terakhir

Akhirnya, Mita tiba di ruang mesin ventilasi utama, di mana kipas tua berkarat berhenti berputar. Kemudian, ia membuka panel, hanya untuk melihat sarang laba-laba yang menutupi saklar. Bahkan sebuah tangan kerangka tertancap pada tuas, seolah menahan teriakan terakhir. Meski ngeri, Mita menarik tuas dengan segenap tenaga. Sekonyong-konyong, semua ventilasi memuntahkan hembusan udara terakhir, memadamkan gema nafas yang membelenggu.

Nafas yang Tak Pernah Padam

Pagi menyingsing dengan sunyi menipu; rumah sakit kembali hampa. Namun, di benak Mita, suara nafas di ventilasi tua tetap bergaung, menunggu kegelapan lain untuk kembali membebaskan bisikannya. Dan demikian, lorong sepi itu terus mengundang langkah siapa pun yang cukup nekat menantang hembusan dari balik jeruji besi.

Sosial Budaya : Budaya Pop Korea dan Pengaruhnya pada Generasi Muda

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Post