Pada malam pertama di rumah warisan keluarga yang terpencil, aku terkejut mendengar suara musik dari radio bergema lewat dinding tipis, padahal kuketahui colokan alat itu sudah lama dicabut. Bahkan, meski lampu sudah dipadamkan dan angin malam berhembus pelan, melodi senandung tua itu terus menembus keheningan. Oleh karena itu, jantungku berdegup kencang, terlebih ketika volume mendadak membesar tanpa sebab.
Awal Keganjilan di Tengah Sunyi
Pada mulanya, aku mengira itu hanyalah gema samar dari radio tetangga. Namun, ketika aku meninjau stopkontak di ruang tamu, semua kabel tampak terlepas rapi. Selanjutnya, aku pun memeriksa panel listrik: tiada saklar yang on. Akibatnya, kebingungan merayapi setiap pikiran. Lalu, ketika aku menyalakan senter, melodi itu malah terdengar lebih jelas, seolah menyesuaikan intensitas lampu.
Lebih jauh lagi, nada lagu kuno itu berulang tanpa jeda, menimbulkan kesan bahwa seseorang—atau sesuatu—memainkan tombol tanpa henti. Kemudian, aku mencoba mendekati televisi lawas di sudut ruangan, berharap suara itu berasal dari situ, namun layar hanya menampilkan kabut hitam. Dengan demikian, kegelisahan mulai menggerogoti kedamaian malam itu.
Penemuan Radio Tua yang Terlupakan
Karena penasaran, aku menelusuri gudang belakang hingga menemukan sebuah radio tabung antik, berlapis debu tebal. Meskipun antenanya tertekuk, dan tombolnya berkarat, radio itu tampak telah terpasang di stopkontak—padahal jelas kulihat colokan utama sudah tercabut. Oleh karena itu, aku segera mencabutnya ulang, lalu menaruhnya di atas meja kayu.
Namun, tak lama kemudian, suara musik itu kembali menggelegar, berasal persis dari balik lemari. Selanjutnya, aku menggeser lemari kayu berat, dan tampak radio tua itu kembali terpasang sendiri—gelagatnya semakin tak masuk akal. Bahkan, ketika aku meraih kabel listrik, ternyata ia terhubung sempurna ke colokan, meski aku yakin sebelumnya setiap kabel telah kusimpan di gudang.
Suara Musik Mengundang Bayangan
Kemudian, bersamaan dengan melodi, muncul bayangan samar di pojok ruangan—silhouette seorang wanita berjubah putih, berdiri tanpa bergerak. Bayangan itu mematung sambil menatap radio, seakan memberikan kekuatan agar siaran tidak terhenti. Lebih menakutkan lagi, saat aku membuka mulut untuk berteriak, melodi tiba-tiba berhenti, dan sosok itu lenyap. Akibatnya, udara di dalam rumah berubah dingin menusuk tulang.
Selanjutnya, aku menyadari pintu belakang terbuka sedikit, meski kukunci rapat sebelumnya. Oleh karena itu, dengan langkah gemetar, aku menutup kembali pintu itu, lalu menaburkan garam di ambang. Namun demikian, ketika aku menoleh, butiran garam terbang sendiri, membentuk huruf-huruf tak beraturan di lantai.
Malam Kedua yang Semakin Menyeramkan
Pada malam berikutnya, aku memutuskan tidak tidur dan menunggu suara itu. Kemudian, sekitar pukul dua belas lebih sepuluh menit, melodi yang sama mengalun lagi—namun kali ini lebih distorsi dan bernada serak. Oleh karena itu, aku merekamnya dengan ponsel. Akan tetapi, layar ponsel tiba-tiba berkedip sebelum merekam, seakan menolak menyimpan bukti.
Lebih jauh lagi, terekam dalam video samar, sosok wanita itu muncul di belakangku, berdiri di ambang pintu kamar. Meskipun wajahnya kabur, ada aura dendam yang menusuk. Selanjutnya, ketika aku memutar ulang rekaman, ia menempel satu red notice pada layar: “Tinggalkan aku.”
Usaha Memadamkan Kekuatan Gaib
Kemudian, keesokan paginya aku mengundang sepupu yang ahli metafisika. Pertama, ia menyemprotkan air suci di setiap sudut ruangan, lalu menaruh cengkeh dan daun sirih di dekat radio. Akan tetapi, begitu senja tiba, suara musik itu kembali memuncak, disertai ketukan ritmis di tembok. Bahkan, dentumannya menyelaraskan diri dengan detak jantungku—membuatku hampir pingsan.
Kemudian pula, sepupuku menggunakan mantra pelindung sementara, membentuk segitiga di sekeliling radio. Namun demikian, ketika mantra diucapkan, radio itu terangkat setengah meter dari meja, berputar kencang, lalu menghantam dinding. Ledakan suara pecahan tabung radio ikut membuat kaca pecah.
Penelusuran Asal Melodi Terlarang
Karena situasi makin genting, aku mencari tahu lagu tersebut secara daring. Ternyata, melodi itu berasal dari rekaman “Lagu Perpisahan Terlarang” yang pernah diputar di sebuah stasiun radio lokal puluhan tahun silam—sebelum stasiun itu musnah dalam kebakaran misterius. Oleh karena itu, konon setiap pendengar yang mendengar utas lagu lengkap tanpa jeda, akan dipanggil arwah stasiun untuk “bergabung” ke dalam siaran selamanya.
Selanjutnya, demi mencegah hal itu menimpa sepupuku dan diriku, aku mengumpulkan potongan rekaman lagu dari arsip online. Akan tetapi, begitu aku menyatukan semua segmen dalam pemutar audio, suara musik dari radio langsung menggantikan audio di laptop, memaksa utas melodi terputus-putus. Bahkan, speaker laptop retak dan mengeluarkan suara jeritan metalik.
Titik Puncak Teror di Malam Ketiga
Kemudian, pada malam ketiga, ketika aku hampir putus asa, radio tua itu bergoyang hebat di atas meja. Selanjutnya, kabel menjulur seperti ular dan merambat menuju saklar utama, menancap sendiri tanpa bantuan tangan manusia. Oleh karena itu, lampu ruang tamu berganti warna merah suram, dan lagu itu bergema laksana alunan kecapi kematian.
Lebih menegangkan lagi, lantai kayu berderit seperti diseret kaki banyak orang, padahal hanya ada aku dan sepupuku. Kemudian, bayangan wanita itu muncul menari lambat di tengah ruangan, suaranya melengking, memanggil, “Gabunglah…” Lalu, ia menjulurkan tangan pucatnya, memanggilku mendekat.
Pertarungan Mengusir Entitas Gelap
Dalam kegentingan itu, sepupuku melempar segenggam garam hitam ke udara, lalu menyalakan dupa jarak jauh. Sementara itu, aku membaca doa perlindungan dengan suara gemetar. Meskipun demikian, entitas menjerit nyaring, menghancurkan lampu dan menimbulkan gelombang tekanan. Akibatnya, dinding retak dan debu beterbangan, menutupi seluruh ruangan.
Subsekuensinya, suara musik itu memuncak pada nada tertinggi, lalu berhenti total ketika sepupuku menutup mata, membentangkan tangan, dan berseru “Pergi!” Tiba-tiba, radio terlempar ke sudut bawah, berantakan, tabungnya pecah. Lampu ruangan mati total, diikuti keheningan mencekam.
Keheningan Setelah Badai Gaib
Selanjutnya, pagi harinya, matahari menyelinap lewat celah jendela yang retak. Debu masih menebal, dan potongan radio antik berserakan. Meski demikian, tak ada satu pun melodi yang tersisa. Bahkan, sisa kabel yang dulu menjulur kini kering tanpa daya. Oleh karena itu, rasa lega menyusup perlahan ke dalam dada.
Epilog: Sisa-Sisa Trauma Abadi
Namun, hingga hari ini, seminggu setelah kejadian, aku masih terdengar memimpikan lagu itu. Lebih jauh lagi, terkadang di lorong rumah kuning tua ini, entah radio apa yang memutar, aku mendengar senandung samar. Oleh karena itu, aku menutup setiap stopkontak dengan lakban hitam. Meski begitu, setiap malam—ketika sunyi terlalu pekat—aku tetap waspada mendengar getar nada yang tak diinginkan. Kini, aku sadar bahwa suara musik dari radio itu tak akan pernah benar-benar berhenti, karena ada kekuatan kelam yang ikhlas menahan siaran abadi di antara dunia kita dan dunia yang lain.
Inspirasi & Motivasi : Memberikan Pujian: Kunci Membakar Semangat dan Motivasi