Prolog: Malam yang Penuh Janji
Pada malam pertama bertugas, Suara Bisikan dari Ruang Bawah Tanah menggema pelan, seolah mengundangku menelusuri lorong sunyi di rumah tua itu. Meskipun aku mencoba menenangkan diri, hawa dingin yang menelusup melalui celah kayu membuat bulu kuduk meremang. Selain itu, gerimis lebat di luar menerpa jendela sehingga cahaya lampu gantung berkedip, menambah kengerian yang perlahan menyesak.
Kedatangan Sang Penjaga Baru
Kemudian aku tiba di depan pintu utama yang besi dan berat, dengan kunci tua berkarat masih tergantung. Sementara itu, sapuan senterku menari di dinding, memantulkan bayangan hitam yang seakan bernyawa. Selain itu, lantai kayu berderit pelan seakan protes setiap kali kakiku menyentuh papan lapuk. Hingga akhirnya, aku menarik napas panjang sebelum menekan gagang pintu.
Penyelidikan Awal
Pada awalnya, aku hanya ingin memastikan sistem lampu darurat berfungsi. Namun demikian, suara gemerisik terdengar dari bawah tangga—tempat lemari kayu besar menutupi pintu kecil menuju ruang bawah tanah. Karena penasaran, aku menuruni anak tangga dengan hati-hati, sejauh lima langkah pertama terasa biasa saja, lalu tiba-tiba hawa berubah lebih pekat dan lembap.
Ketukan Tak Terlihat
Selanjutnya, saat aku menyentuh gagang pintu kayu, terdengar ketukan pelan di balik papan. Bahkan ketika aku menahan napas, suara itu terulang: ketuk… ketuk… ketuk…. Meskipun ragu, aku menarik pintu itu perlahan—lalu suara langkah kaki mengekor di belakang, padahal ruang belakangku kosong. Kemudian sinar senter memperlihatkan lantai berlumut dan cat dinding mengelupas, seakan ruangan ditinggalkan bertahun-tahun.
Bisikan yang Mencicit
Kemudian pula terdengar bisikan lirih, “Tolong… aku di sini…” Suara itu parau dan bergetar, memekakkan telinga pada keheningan malam. Selain itu, aliran udara dingin menyeruak dari celah pintu, menerpa leherku bak sabetan es. Sementara itu, setiap kali aku menoleh, sinar senter menyingkap sudut ruangan—namun tak ada siapa pun, kecuali bayangan kabur yang tertahan di ujung lorong.
Jejak Darah di Dinding
Kemudian aku memeriksa dinding, dan mataku terhenti pada bekas noda merah tua menyerupai coretan tangan. Bahkan bau logam darah terasa menusuk ingatan, membuat perutku mual. Meskipun ragu, aku mengulurkan tangan menyentuh noda itu—seketika bulu kuduk berdiri saat tangan dinginku tergores serpihan cat keras. Namun demikian, aku sadar ada sesuatu yang lebih mengerikan tersimpan di balik lorong panjang itu.
Foto Keluarga Terlupakan
Selanjutnya, aku meraba saku jas dan menemukan foto hitam-putih seorang wanita muda memegang kunci besi besar. Foto itu tampak koyak di pinggirnya, dan wajah sang wanita menatap kosong seakan menuntut pertolongan. Karena itu, aku meletakkannya di atas meja kayu lapuk dan memperbesar pencahayaan senter—foto itu seketika berubah kabur, menampilkan tangan samar yang menempel di balik lensa.
Pintu Rahasia Terbuka
Kemudian tiba-tiba, pintu rahasia itu bergerak sendiri—terbuka dengan derit panjang. Bahkan lantai di depanku retak, membentuk celah gelap menganga. Meskipun napasku tercekat, aku terus melangkah maju, tertahan oleh rasa takut dan penasaran bersamaan. Selain itu, bau tembaga dan tanah basah memenuhi lorong, memandu langkahku menuju kegelapan yang semakin pekat.
Puncak Teror: Wujud Tanpa Wajah
Akhirnya, di ujung lorong, sosok itu berdiri—tinggi, kurus, tanpa wajah, hanya permukaan kulit pucat yang retak. Tangan panjangnya terulur, menuntun ke arahku. Meskipun aku berusaha mundur, kakiku terkunci. Suara Bisikan dari Ruang Bawah Tanah kini berubah menjadi jeritan mengerikan, memekakkan kuping. Ketika makhluk itu mendekat, udara seolah terhisap, meninggalkanku sendirian dalam kehampaan.
Ritual Penebusan Dosa
Kemudian aku teringat tulisan kuno yang ditemukan di dinding: “Bebaskan aku dari lorong akhir, tetapi bayar harganya dengan nyawa.” Dengan tangan gemetar, aku menulis kembali baris itu di lantai basah darah, mengikuti simbol lingkaran yang terpahat. Namun demikian, sesaat setelah selesai, bayangan tanpa wajah merunduk dan menghilang dalam kegelapan yang pekat, meninggalkanku sendirian dengan detak jantung yang tak beraturan.
Epilog: Bisikan yang Abadi
Akhirnya, pintu rahasia tertutup sendiri dengan dentuman keras. Ketika aku kembali menaiki tangga, bisikan terakhir terdengar, “Aku menunggu…” Meskipun fajar merekah di balik jendela, bekas teriakan dan bayangan malam itu masih terpatri di ingatanku. Maka sejak saat itu, aku tahu Suara Bisikan dari Ruang Bawah Tanah tak akan pernah benar-benar lenyap; ia akan selalu mencari korban baru di lorong sunyi ini.
Berita Terkini : Pasar Gelap Senjata Api di Indonesia: Risiko Keamanan yang Meningkat