Suara Anak-Anak Bernyanyi dari Ruangan yang Telah Runtuh

Suara Anak-Anak Bernyanyi dari Ruangan yang Telah Runtuh post thumbnail image

Ketika aku pertama kali mendengar suara anak-anak bernyanyi, aku tidak segera sadar sumbernya. Padahal malam sudah larut dan rumah tua itu terkunci rapat. Namun, nyanyian lembut dengan nada sumbang itu terus bergema di koridor kosong, memecah keheningan. Meskipun kupastikan tidak ada satu pun anak di sekitar, suaranya seakan memanggil—mengundang penasaran dan sekaligus menabur benih ketakutan yang tak terperi.

Pintu Gerbang yang Sepi

Pada awalnya, aku berdiri di depan pintu utama rumah peninggalan nenek. Selain itu, gema lagu itu terdengar samar dari balik dinding papan yang lapuk. Kemudian, langkah kaki terdengar berderap di teras—padahal aku sendirian. Selanjutnya, aku mengangkat gagang pintu, dan meski berderit nyaring, pintu tak terkunci. Ketika terbuka, aroma lembap dan debu menyergap, seakan menghembuskan napas panjang dari ruang yang telah runtuh.

Lintasan Bayangan

Setelah masuk, aku menyalakan senter. Namun, sorot cahaya hanya menampilkan reruntuhan kayu dan puing bata. Selain itu, lukisan kuno terpelanting di sudut, wajah anak-anaknya retak memudar. Kemudian, langkah kaki kecil bergema di lantai atas—suara anak-anak bernyanyi memudar sejenak, sebelum melantun lebih dekat. Setelah itu, aku menaiki tangga yang rapuh, sambil berusaha menahan napas agar suara detak jantung tidak mengundang lebih banyak bisikan gaib.

Ruang Kelas Lama

Sesampainya di lantai dua, kulihat deretan meja kecil dan kursi kayu berjejer—bekas ruang kelas yang runtuh. Lalu, sebuah papan tulis retak masih terpasang, menampilkan coretan huruf alfabet yang nyaris pudar. Selanjutnya, suaranya semakin jelas: suara anak-anak bernyanyi “li… la… lu…” dengan ritme tidak beraturan. Meskipun kupikir ini hanyalah gema angin, aku merasa ada sosok kecil berdiri di balik puing, menatapku dengan mata kosong.

Rekaman yang Membeku

Kemudian, aku menemukan pemutar kaset tua—masih menyala dan memutar pita. Selain itu, tombol rewind tak berfungsi, dan pita bergelending aneh seiring nada lagu yang terus mengulang. Selanjutnya, aku menghentikan kaset, namun suara bernyanyi tak kunjung padam. Bahkan ketika kukabut kabel listrik, nada itu menggema dari sudut ruangan, seolah kaset berada di dimensi lain—dimensi di mana suara anak-anak bernyanyi tak pernah berhenti.

Jejak Tangan di Meja

Setelah itu, aku menelusuri jejak tangan kecil di atas meja berdebu. Lalu, ada noda merah kering—bukan darah, melainkan tinta merah yang menetes dari pena patah. Selain itu, pintu lemari berkedut sendiri, membuka sedikit. Kemudian, tertangkap mata sebuah boneka usang yang mematung di rak, wajahnya setengah terkoyak. Selanjutnya, boneka itu menoleh: matanya bergeser persis mengikuti gerak kepalaku—menyiratkan ajakan untuk “bergabung” dalam nyanyian abadi.

Bisikan di Balik Tirai

Kemudian, angin dingin menembus jendela yang retak, menggoyang tirai lusuh. Luas lubang di dinding menegaskan bahaya runtuhan. Namun, di balik tirai itu, terdengar bisikan halus: “Mainkan lagi…”. Selanjutnya, kupalingkan kepala, dan kulihat sosok kecil bergaun putih, punggungnya menghadap—tangan mungilnya menempel di kaca. Meskipun kaget, aku terpaku, kaku seperti patung, sementara suara anak-anak bernyanyi berubah menjadi tangisan pilu.

Pencarian Keluar

Lalu, kepanikan merayap, mendorongku berlari menuruni tangga. Namun, teriakan letupan kayu menyambut, seakan tangga tua mengerang kesakitannya. Selanjutnya, aku menendang pintu ruang kelas, namun terkunci rapat. Bahkan, kuku-kuku panjang yang dingin menyentuh pergelangan kakiku, memaksa untuk berhenti. Sementara itu, suara itu menjadi lebih cepat, lebih kacau, menembus telinga bak paku berkarat.

Tatapan di Cermin

Setelah berhasil membuka jendela darurat, aku menoleh dan menyalakan senter lagi. Lalu, di cermin yang retak, kulihat pantulan diriku—dengan bayangan anak kecil di punggung, sedang menyanyi. Bahkan ketika aku menutup mata sesaat, pantulan itu masih tersenyum, senyum sinis tanpa bibir. Kemudian, aku berbalik, namun tak ada siapa-siapa kecuali puing kelas yang kian berserakan.

Lintasan Lagu yang Membekukan

Saat angin malam mengguncang sisa dinding, suara itu berpindah ke lorong bawah. Aku menuruni tangga lain, menyusuri koridor sempit. Selain itu, lampu darurat menyala remang-remang, memperlihatkan goresan anak-anak yang menuliskan lirik lagu di dinding. Selanjutnya, nada bernyanyi berganti menjadi koor muram—seakan ribuan anak bergaung di satu ruangan yang telah runtuh, menunggu korban baru bergabung.

Pertemuan yang Menegangkan

Akhirnya, di ruang bawah tanah, aku menemukannya: sekumpulan sosok anak kecil dengan wajah pucat, berbaris melingkar. Masing-masing memegang lilin yang berkedip. Kemudian, mereka menghadapku serempak, mulut terkatup rapat, namun menyanyikan lagu itu tanpa suara—hanya bibir bergerak. Selain itu, udara di sekitarku menebal, membuat sesak. Selanjutnya, aku merasakan tangan ringan menggenggam bahuku—tanganku membeku, napasku terhenti.

Pelarian Terakhir

Dengan segenap kekuatan tersisa, aku menendang dan berlari ke pintu besi. Namun, suara anak-anak bernyanyi melompat tiba-tiba, semakin kencang, berputar di telingaku. Lalu, aku menjerit, dan pintu terbuka. Begitu keluar, nyala lilin kecil di tanganku padam sekaligus, menandai akhir lagu yang menyayat. Selanjutnya, aku berlari ke halaman, menepi di bawah pohon besar, menatap rumah yang kembali sunyi—kecuali detak jantungku yang menggema keras.

Bayangan yang Membekas

Sejak malam itu, setiap kali aku melewati reruntuhan rumah tua, suaranya terngiang kembali: suara anak-anak bernyanyi—lembut, namun terdistorsi seperti gema dari dunia lain. Selain itu, kadang aku mendengar bisikan “mainkan lagi” di balik angin. Meskipun aku menjauh jauh, bayangan anak-anak itu masih menghantui mimpi, dan aku tahu: ruang yang telah runtuh tak pernah benar-benar kosong—karena suara mereka abadi, menunggu pendengar selanjutnya.

Gaya Hidup : Di Balik Layar: Gaya Hidup Mewah Orang Terkaya Dunia

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Post