Rumah yang Tak Pernah Dijual
Senyum iblis—itulah nama yang diberi warga Jombang Selatan untuk rumah tua di ujung jalan Gang Melati. Rumah itu tak pernah terjual meski harga tanah di sekitarnya melambung tinggi. Tiap calon pembeli yang datang, selalu pergi dalam keadaan ketakutan, bahkan ada yang tak pernah kembali.
Bagi warga, rumah itu membawa sial. Tapi bagi Arman, seorang fotografer urban exploration, tempat seperti itu justru menantang. Ia datang ke Jombang Selatan untuk memotret bangunan-bangunan tua, dan rumah itu menjadi target utamanya.
Namun malam itu, ketika Arman melangkahkan kaki ke dalam rumah, ia tak tahu bahwa cermin besar di ruang tengah bukan sekadar benda antik—melainkan pintu menuju kutukan.
Awal Kengerian: Cermin Retak di Ruang Tengah
Rumah itu sunyi. Debu menempel di setiap sudut, dan jendela pecah membuat angin malam berdesir pelan, seperti bisikan yang memanggil. Arman menyalakan kamera dan senter. Lensa kameranya menyorot ke arah dinding, menampilkan lukisan keluarga tua yang wajahnya pudar.
Di ruang tengah, ia menemukannya—sebuah cermin besar dengan bingkai kayu ukir yang kini dipenuhi retakan halus. Bentuknya tinggi dan melengkung di bagian atas, memantulkan bayangan samar ruang gelap di belakangnya.
Namun yang membuatnya merinding bukan karena cerminnya tampak tua, melainkan karena di pantulannya, ada bayangan seseorang tersenyum, padahal Arman sendirian.
Ia mematikan senter dan menatap langsung ke cermin. Bayangan itu tetap di sana—seorang pria dengan kulit pucat, mata hitam kelam, dan senyum yang terlalu lebar untuk ukuran manusia.
Legenda dari Warga Tua
Keesokan harinya, Arman bertemu Bu Ratmi, warga tua yang rumahnya bersebelahan dengan bangunan itu. Saat ia menunjukkan foto cermin yang ia ambil malam sebelumnya, wajah Bu Ratmi langsung pucat.
“Kau lihat cermin itu?” suaranya bergetar.
“Itu peninggalan keluarga Darmono. Mereka semua mati karena cermin itu.”
Menurut cerita, keluarga Darmono dulunya kaya raya dan terkenal di Jombang Selatan. Tapi setelah sang istri membeli cermin antik dari lelang Belanda tahun 1930-an, hidup mereka berubah.
Anak-anak mereka sering bicara dengan “orang di dalam cermin”, dan tak lama kemudian satu per satu meninggal aneh.
Sang istri ditemukan gantung diri di depan cermin, dengan senyum terukir di wajahnya—senyum yang tampak dipaksa.
Sejak itu, warga menyebutnya senyum iblis.
Malam Kedua: Cermin yang Hidup
Arman kembali malam itu, dengan tekad membuktikan bahwa semua hanyalah sugesti. Ia menyiapkan tripod dan kamera video untuk merekam cermin selama satu jam penuh.
Pukul 23.00, ia duduk di kursi berdebu di depan cermin. Rumah itu terasa semakin dingin, padahal semua jendela tertutup. Kamera mulai merekam.
Beberapa menit pertama berjalan normal, hingga tiba-tiba refleksi cermin mulai bergoyang, seperti air yang beriak.
Kemudian muncul bayangan samar di belakang Arman—sosok pria tinggi dengan wajah hitam pekat dan senyum menganga yang tak bergerak.
Arman menoleh cepat. Tak ada siapa-siapa. Tapi ketika ia menatap kembali ke cermin, bayangan itu masih di sana, kini lebih dekat, berdiri tepat di belakangnya dalam pantulan.
Dan senyum itu… semakin lebar.
Lalu terdengar bisikan dari balik pantulan:
“Aku ingin wajahmu…”
Cermin itu retak tiba-tiba, tapi retakannya membentuk pola aneh—senyum.
Penyelidikan dan Penemuan
Arman melarikan diri malam itu. Tapi rasa penasaran tak memberinya ketenangan. Ia menelusuri arsip lama di kantor desa dan menemukan catatan kematian keluarga Darmono. Semua meninggal pada tanggal yang sama di tahun berbeda—tanggal 14 Oktober.
Dan hari itu… adalah 14 Oktober.
Ia membaca lebih jauh: cermin itu ternyata milik seorang perajin Belanda bernama Johannes Van Kier. Ia terkenal membuat “cermin pemanggil jiwa” yang digunakan dalam ritual kuno untuk melihat dunia roh. Setelah ia tewas terbakar di bengkelnya, salah satu cerminnya hilang—dan akhirnya dibeli oleh keluarga Darmono.
“Konon, cermin itu tidak memantulkan wajahmu,” tulis catatan kuno,
“melainkan wajah yang ingin menggantikanmu.”
Arman terdiam lama. Ia menatap fotonya di layar kamera, dan hampir menjatuhkan ponsel ketika melihat wajahnya sendiri di foto itu—tersenyum aneh, padahal saat memotret ia sama sekali tidak tersenyum.
Malam Terakhir: Senyum yang Menyebar
Arman kembali ke rumah itu untuk terakhir kalinya, berniat menghancurkan cermin tersebut. Ia membawa palu besar dan minyak tanah. Udara malam di Jombang Selatan terasa berat, dan kabut menggantung di sekitar rumah.
Begitu ia masuk, seluruh lampu jalan di luar padam seketika. Hanya sinar senter di tangannya yang menembus kegelapan. Cermin itu masih di tempatnya, kini dengan retakan lebih besar di tengah.
Arman mengangkat palu dan menghantamkan pukulan pertama. Suara keras menggema, tapi cermin tidak pecah.
Sebaliknya, dari dalam pantulan, muncul tangan-tangan hitam yang menempel di permukaan kaca, berusaha keluar.
Ia mundur ketakutan, tapi cermin itu mulai berdenyut, seperti sesuatu yang hidup.
Dari dalamnya, sosok pria berkulit pucat muncul perlahan, dengan senyum iblis yang sama seperti sebelumnya. Retakan di cermin seolah menjadi jalan keluarnya.
“Aku ingin wajahmu…”
Arman menjerit dan melempar minyak tanah, lalu menyalakan korek api. Api menyambar cepat, membakar ruangan dan cermin itu.
Namun sebelum lari, ia menatap satu kali lagi ke arah cermin yang terbakar—dan di sana, pantulan dirinya masih berdiri, tersenyum, meski tubuh aslinya sudah berlari ke luar rumah.
Cermin yang Ditemukan
Dua hari kemudian, polisi menemukan reruntuhan rumah yang hangus terbakar. Tak ada jasad ditemukan, hanya kamera Arman yang masih utuh.
Ketika mereka memutar videonya, selama lima menit pertama terlihat Arman mempersiapkan peralatan, tapi di menit keenam… wajahnya sudah berubah.
Ia tersenyum, lebar dan dingin, seperti seseorang yang sedang menikmati penderitaan orang lain.
Polisi yang menonton rekaman itu mengaku merasa mual, sebagian bahkan muntah tanpa alasan.
Dan yang paling aneh—salah satu dari mereka bersumpah melihat pantulan dirinya tersenyum balik di layar kamera, padahal ia sama sekali tidak tersenyum.
Kini, puing-puing rumah itu sudah dibersihkan, tapi warga Jombang Selatan melaporkan hal aneh: setiap kali mereka lewat malam hari, mereka melihat sesuatu berkilat di tanah—pecahan kaca cermin yang memantulkan senyum samar di antara retakannya.
Senyum itu… tidak pernah hilang.
Senyum Iblis yang Tak Mati
Rumah Jombang Selatan kini tinggal puing, tapi kutukannya tetap hidup.
Beberapa remaja yang nekat datang untuk mencari sensasi mengaku mendengar tawa lirih di udara, seolah berasal dari balik pantulan kaca yang tak terlihat.
Legenda itu kini dikenal sebagai “Senyum Iblis dari Cermin Retak Rumah Jombang Selatan.”
Mereka bilang, siapa pun yang tersenyum di depan cermin pada malam Jumat Kliwon, akan kehilangan wajahnya—dan bayangannya akan tersenyum selamanya di tempat lain.
“Hati-hati ketika bercermin malam ini,” kata warga tua.
“Kau mungkin tak sedang melihat dirimu… tapi sesuatu yang ingin jadi dirimu.”
Kesehatan : Manfaat Rutin Berjalan Kaki untuk Kesehatan Jantung