PENGANTAR Kegelapan
Pada malam pertama tugasnya, Sari memasuki lorong gelap di rumah sakit tua yang sudah tidak berfungsi sepenuhnya. Selain itu, gema langkah kaki melantun berulang, menimbulkan keheningan tegang yang seketika membekukan darah. Padahal, ia sudah mendengar desas-desus tentang nama pasien yang tiba-tiba hilang dari berkas—tanpa jejak—setiap tengah malam. Meski demikian, rasa ingin tahunya lebih kuat daripada ketakutan, sehingga ia menyalakan senter dan melangkah pelan. Sementara itu, lampu gantung di langit-langit berayun perlahan, menebar bayangan bergerak. Oleh karena itu, Sari merasakan hawa dingin merambat dari balik tembok, seakan ada mata yang terus mengintip. Dengan demikian, babak horor di rumah sakit tua ini pun dimulai.
PANGGILAN MALAM PERTAMA
Kemudian, pada malam berikutnya, ia kembali demi memeriksa ruang arsip. Seketika, pintu besi berderit membuka dengan sendirinya meski gembok telah ia kunci. Selain itu, bisikan samar terdengar bergema: “Carilah aku…” Padahal, tidak ada makhluk hidup di dalam. Sambil menggigil, Sari menatap rak besi yang berderet panjang, penuh map dan buku catatan. Namun, satu demi satu map berlabel pasien ternyata hilang namanya—hanya noda tinta yang tertinggal. Karena itu, ia berlari keluar lorong, nafas terengah. Akan tetapi, ketika lampu menyala kembali, map itu sudah kembali dengan nama tertulis dalam tinta merah yang bercecer.
NAMA YANG MEMUDAR
Setelah itu, Sari mendapati bahwa nama pasien di daftar utama menghilang sekejap setiap tengah malam. Bahkan, lebih mengerikan lagi, catatan medis tentang luka dan diagnosa tertulis dengan tinta memudar sendiri seiring detik berganti. Meskipun ia menyalin berkas ke laptop, file digitalnya pun rusak mendadak—layar menampilkan garis-garis abstrak. Lantas, suara ketukan pintu terdengar pelan, semakin kencang, seolah mendesak untuk masuk. Padahal, tak ada orang yang mengetuk. Oleh karena itu, Sari merasakan denyut ngeri: arwah di rumah sakit tua menuntut sesuatu yang belum selesai. Selain itu, aroma antiseptik bercampur busuk menyeruak dari balik pintu tertutup.
PENELUSURAN LORONG KEBISUAN
Selanjutnya, Sari, ditemani rekan kerjanya, Riko, mencoba menyusuri lorong bawah tanah rumah sakit. Namun, setiap langkah menuntunnya ke pintu buntu yang tidak ada dalam denah. Bahkan, bukaan tersembunyi di balik rak obat membuka sendiri saat mereka mendekat. Sementara itu, suara rintihan pasien bergemuruh, membuat telinga berdesir. Padahal, laluan ini mestinya kosong; pasangan petugas kebersihan terakhir kali membersihkan dua minggu lalu. Meski takut, mereka melangkah lebih dalam, diterangi senter yang kerap meredup. Karena itu, Riko merekam semuanya dengan kamera saku, berharap ada petunjuk mengapa nama pasien terus hilang.
BISIKAN DAN BAYANGAN
Kemudian, dalam ruang isolasi tua, pintu kaca berkabut. Seketika, sosok kabur terpantul di sana—berbaju pasien mengenakan nomor tanda. Selain itu, pintu terkunci dengan sendirinya, memerangkap mereka di dalam. Meskipun jantung berdegup kencang, Sari menatap bayangan itu. Tiba-tiba, suara serak membisik, “Lupakan aku…” Padahal, tak ada orang di balik pintu. Namun, siluet sosok terangkat tangan seakan meminta tolong. Oleh karena itu, Riko menendang pintu hingga kaca pecah. Akan tetapi, yang tersisa hanyalah ruang kosong dengan noda darah kering.
ARWAH PASIEN TERKURUNG
Selanjutnya, mereka menemukan buku harian perawat tua bernama Hj. Melati, yang meninggal di gedung ini puluhan tahun silam. Dalam catatan terakhir, ia menulis tentang pasien-pasien yang “dihapus” dari daftar karena dianggap tak layak sembuh. Bahkan, perintah itu datang dari kepala rumah sakit saat itu, demi menyembunyikan kesalahan medis fatal. Setelah itu, Hj. Melati mencoba membebaskan arwah pasien dengan doa, tetapi gagal, lalu tersudut di lorong bawah. Oleh karena itu, arwah Hj. Melati kini ikut terperangkap, menangis menahan kesakitan.
TERUNGKAPNYA RAHASIA GELAP
Kemudian, Sari dan Riko menelusuri ruang administrasi lama yang terkunci rapat. Bahkan, kunci penguncinya telah berkarat. Meskipun mereka tiba-tiba diselimuti kabut dingin, pintu itu terbuka sendiri. Selanjutnya, tumpukan map berceceran, menampilkan nama-nama pasien yang seolah saling bercampur. Selain itu, ada catatan tangan di tembok: “Arwah haus keadilan.” Karena itu, Sari menyadari bahwa arwah pasien ingin namanya diakui kembali. Padahal, mereka sebelumnya diabaikan oleh pihak rumah sakit.
KONFRONTASI DENGAN ARWAH
Akhirnya, pada malam kelima, Sari dan Riko memutuskan melakukan ritual pembebasan di aula utama. Di sana, sisa kursi roda dan ranjang bekas berjajar, disorot lampu darurat yang berkedip. Selain itu, suara teriakan bergemuruh mengikuti tiap ayat doa yang diucapkan. Meski gemetar, Sari terus membacakan doa yang ditemukannya di buku Hj. Melati. Sewaktu mereka menyiram air suci ke tiap sudut, bayangan putih melayang di atas ranjang—pasien-pasien yang “dihapus” mengepalkan tangan, berharap dibebaskan.
KELELUASAAN ATAU PENGHUKUMAN
Kemudian, ketika ritual mencapai klimaks, pintu aula terbanting, menimbulkan gemuruh. Bahkan, dinding retak dan debu beterbangan. Meskipun Riko hampir terjatuh, ia tetap merekam momen itu. Tiba-tiba, semua bayangan berkumpul di angkasa, membentuk wajah Hj. Melati yang meneteskan air mata darah. Selain itu, sebuah bisikan lembut menyatakan terima kasih, lalu namanya perlahan muncul kembali di daftar elektronik. Karena itu, aliran listrik pulih, lampu stabil, menandakan semua arwah terlepas.
BAYANGAN TAK PERNAH LENYAP
Akan tetapi, meski arwah pasien telah dibebaskan, rumah sakit tua itu tak lagi sama. Kini, tiap malam Jumat, lampu darurat masih berkedip, menandakan jejak kelam yang abadi. Selain itu, perangkat rekam Riko merekam lagi detak langkah di koridor—walaupun semua petugas telah keluar. Padahal, mereka tidak melihat sosok apa pun. Meskipun keadilan telah ditegakkan, bayangan dan bisikan masih bergema, mengingatkan bahwa luka masa lalu tak mudah terhapus. Oleh karena itu, siapa pun yang memasuki kembali gedung itu akan merasakan tatapan kosong pasien yang menuntut nama mereka diakui selamanya.
Sosial Budaya : Pantangan Wajib Saat Berkunjung ke Kampung Dayak