Rumah Makan Tanpa Akhir: Teror Tak Berujung di Lorong Dapur

Rumah Makan Tanpa Akhir: Teror Tak Berujung di Lorong Dapur post thumbnail image

Kedatangan di Senja Kelabu

rumah makan tanpa akhir muncul di tikungan jalan yang sepi ketika Agni dan teman-temannya kelelahan. Bahkan meski hujan rintik menghalangi pandangan, papan kayu usang itu menyala temaram, seakan menyambut mereka dengan senyum maut. Kemudian, saat mereka membuka pintu berderit, aroma masakan hangat menyeruak—namun setelah itu, ada bau anyir darah yang menggelitik hidung. Sementara itu, petir sesekali menerangi interior yang dipenuhi meja-meja kosong. Oleh karena itu, rasa penasaran memaksa Agni masuk lebih jauh; walaupun hatinya berdebar tak karuan, ia tak sanggup menolak undangan misterius dari rumah makan tanpa akhir.

Sambutan Pelayan Bayangan

Setelah melangkah beberapa meter, bayangan sosok pelayan muncul di balik tirai lusuh. Bahkan sebelum mengangkat kepala, Agni merasakan tatapan dingin. Selanjutnya, pelayan itu mengangkat baki berisi piring porselen retak, lalu berkata lirih, “Silakan pilih hidangan untuk selamanya.” Kemudian, saat tangan gemetar Agni menyentuh gagang pintu, ia menoleh—namun ruangan di belakangnya tiba-tiba lenyap. Oleh karena itu, ia pun menyerahkan baki itu pada teman terdekatnya, Rina; meski ragu, Rina menerima dengan gemetar. Sementara itu, suara lonceng kecil berdentang tanpa ada yang memainkannya.

Menu yang Memburu Jiwa

Di atas meja tersaji sekilas daftar menu—namun tiap hurufnya seakan menari menakutkan: “Sup Darah Terlarang”, “Nasi Arwah Terpanggil”, “Pasta Peringatan Abyss”. Walaupun tak ada lampu terang, mantel lilin menebarkan cahaya berpendar oranye yang menumbuhkan bayangan raksasa di dinding. Setelah itu, Agni menunduk dan membaca menu dengan detak jantung mencekam. Bahkan kala ia ingin berbisik, lidahnya terasa kelu. Oleh karena itu, ia hanya mampu menunjuk satu hidangan secara acak. Tak lama kemudian, piring pertama diletakkan—dan saat uapnya mengepul, terdengar suara desir memanggil nama mereka satu per satu.

Suapan Pertama yang Membeku

Kemudian, Rina mencicipi sup dalam sendok kecil; sesaat kemudian ia menahan napas, mata melotot. Bahkan wajahnya berubah pucat pasi. “Rasa…tak pernah kuminum…” gumamnya dengan suara parau, sebelum tubuhnya merosot ke kursi, lumpuh seketika. Selanjutnya, Agni memegang tangan Rina; walaupun takut, ia mencoba membangunkannya, tapi setiap detak jarum jam berdentang di kepala, menambah kegilaan suasana. Setelah itu, lampu lilin padam serentak, menimbulkan kegelapan total. Sementara itu, suara isak tangis terdengar di sudut ruangan—namun tak ada orang di sana.

Lorong Dapur yang Menganga

Saat lilin kembali menyala, Agni mendapati dirinya berdiri di lorong sempit penuh panci berlumut. Bahkan pintu dapur ternganga, menampakkan lantai bersimbah cairan merah kental. Oleh karena itu, ia termangu—lalu langkahnya menapak ke dalam lorong. Kemudian, aroma masakan berubah menjadi bau anyir darah segar yang makin menyesakkan dada. Setelah itu, suara sendok logam beradu di panci menghantui setiap langkahnya. Walaupun ia berusaha menahan mual, Agni tergerak meniru bunyi itu, seolah didikte oleh kekuatan gaib.

Bisikan dari Panci Berbulu

Selanjutnya, dari panci besar tiba-tiba muncul bisikan lirih: “Tolong…” Suara itu bergema dalam rongga hati Agni, sambil memanggil nama Rina. Bahkan kembali terdengar suara suara, “Jangan tinggalkan aku…” Ketika ia menatap ke permukaan panci, nampak bayangan sosok terbungkus kain putih, meronta. Sementara itu, panci-panci lain meneteskan cairan pekat yang menyerupai air mata. Oleh karena itu, Agni mengangkat keran di dinding—namun aliran air hanya memercikkan darah kental. Setelah itu, pintu belakang terbanting, memaksa ia berbalik dalam kepanikan.

Jejak Kaki Berlumuran Darah

Kemudian, di atas lantai muncul jejak kaki kecil berlumuran darah, mengarah ke lorong lain. Bahkan jejak itu terus membara seolah terbakar, meski percikan api tak terlihat. Selanjutnya, meski hatinya menjerit melarang, Agni mengikuti jejak itu dengan langkah tercekat. Sementara itu, dinding di kanan kirinya berubah jadi kulkas tua yang terbuka, memperlihatkan mayat-mayat tersusun rapi—hingga detak jantung Agni terasa menyeruak ke tenggorokan. Oleh karena itu, ia memejamkan mata sejenak dan berdoa, kemudian menoleh dan melangkah lebih cepat.

Ruang Makan Tanpa Ujung

Setelah lorong panjang, Agni tiba di ruang makan luas yang lampunya berkedip. Bahkan meja-meja terhampar tak berujung, seakan membentang tanpa akhir. Kemudian, di setiap kursi teronggok sosok-sosok mematung dengan mata tertutup, mengenakan celemek perpaduan darah dan saus. Walaupun mencekam, Agni merasakan panggilan terdalam: “Duduklah…” Sementara udara dingin menembus tulang, permukaan lantai berembun dan menggurat langkah kaki Agni. Setelah itu, ia tahu, bila ia duduk, ia akan menjadi bagian dari jajaran arwah yang terperangkap selamanya.

Pertarungan dengan Kelaparan Gaib

Selanjutnya, suara gemeretak piring terdengar di seantero ruangan. Bahkan piring-piring melayang dan mengambil posisi di depan setiap kursi kosong. Kemudian, satu piring melayang menuju Agni, menampilkan hidangan yang berdenyut—seolah daging hidup. Meski mual, Agni meraih sendok; namun sendok itu membeku sebelum menyentuh makanan. Setelah itu, sosok pelayan bayangan muncul lagi, menyeringai. Sementara itu, bisikan lapar gaib bergema: “Makanlah… jika kau ingin keluar.” Oleh karena itu, Agni tahu, ia harus memilih: memakan daging arwah atau menjadi santapan rumah makan tanpa akhir.

Keputusan Terakhir

Akhirnya, Agni mengumpulkan sisa keberanian dan menjatuhkan sendoknya. Bahkan ia berteriak, “Aku tidak akan ikut!” Selanjutnya, lampu lilin semua padam, dan ruangan terperangkap dalam keheningan pekat. Namun sesaat kemudian, cahaya merah menerobos pintu—seakan bara api kemarahan. Setelah itu, sosok-sosok terpahat di kursi bangkit, mengerang serupa ulat raksasa. Oleh karena itu, Agni menoleh dan pelarian terakhir menuntunnya kembali ke pintu depan, meski langkahnya tersandung meja yang terus membentang.

Pelarian ke Dunia Nyata

Kemudian, ia mendorong pintu berat dengan segenap tenaga—dan seketika cahaya lampu jalanan menetes. Bahkan aroma hujan malam menyambutnya, menghapus bau darah yang membekas. Selanjutnya, Agni berlari keluar, meninggalkan rumah makan tanpa akhir yang merunduk di sudut gelap. Sementara pintu kayu itu menutup perlahan, ia mendengar bisikan terakhir: “Sampai jumpa…” Setelah itu, lorong kehilangan cahaya, dan papan kayu usang itu lenyap dari pandangan.

Epilog yang Membekas

Malam itu, meski tubuh Agni selamat, rasa kelaparan memburu jiwanya. Bahkan setiap kali ia menutup mata, ia merasakan gigitan kosong di perut—seperti undangan kembali ke rumah makan tanpa akhir. Oleh karena itu, ia menyadari kengerian sejati bukan dari daging yang dimakan, melainkan dari rasa takut yang terus mengundang. Akhirnya, kisah ini menegaskan satu hal: bila malam memanggil dengan aroma masakan, berhati-hatilah; sebab setiap suapan bisa jadi pintu menuju neraka tanpa ujung.

Makanan dan Perjalanan : Menjelajah Rasa di Baubau: Kuliner Lokal yang Menggoda Selera

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Post