Ritual Malam Jumat di Gudang yang Diharamkan Oleh Penduduk

Ritual Malam Jumat di Gudang yang Diharamkan Oleh Penduduk post thumbnail image

Kedatangan Penuh Rasa Takut

Pada Jumat malam yang mencekam, aku tiba di tepian desa terpencil. Ritual malam Jumat di gudang telah lama jadi rahasia kelam penduduk setempat, sehingga aku datang dengan penasaran sekaligus ketakutan. Meskipun lampu jalan padam total, langkahku terus bergema di jalan kerikil. Bahkan angin dingin menyusup melalui sela jaketku, membawa aroma debu dan lembab.

Selanjutnya, ketika kulirik ke arah gudang tua yang kata orang tak boleh didekati, detak jantungku bergema bagaikan genderang perang. Meskipun aku mencoba menenangkan diri, pikiranku melayang pada bisikan warga—mereka memperingatkan, “Jangan sekali-kali menatap ke dalam pintu yang terkunci.” Namun rasa ingin tahu mengalahkan semua rasa takutku.

II. Bisikan dalam Kegelapan

Kemudian, setelah aku menapaki beberapa meter menuju pintu gudang, terdengar bisikan lirih. Sekilas, suara itu menyerupai tangisan anak kecil, lalu berubah menjadi tawa seram. Bahkan ketiga senterku bergetar hebat, membuat aku hampir menjatuhkannya. Namun aku segera meraih senter keempat yang kupasang di kepala, berharap cahaya meredam rasa ngeri.

Selanjutnya, bisikan itu kian lantang: “Tolong… bebaskan kami…” Aku menahan napas. Meski ragu, aku memutuskan mengetuk pintu besi yang padat. Dentang demi dentang bergema panjang, dan seketika telingaku berdengung. Sekitar lima detik kemudian, suara itu berhenti—seakan pintu tersebut menelan seluruh suara di sekitarnya.

III. Pintu yang Tak Pernah Dibuka

Setelah itu, aku memeriksa gagang pintu. Meskipun terlihat tua dan berkarat, kunci di pintu tergores ukiran aneh yang menyerupai simbol mistis. Bahkan warga tak ada yang berani memindahkan karung-karung tua penimbun debu di depan pintu. Namun aku menahan diri untuk tidak langsung memaksa. Sebaliknya, aku mencatat simbol itu ke dalam buku harianku, sambil mendengarkan detak jam tua di dalam gudang yang entah berapa usianya.

Kemudian aku berundur beberapa langkah, lalu mempersiapkan kamera termal. Baru saja aku menyalakannya, garis-garis panas dingin menari di layar—ada titik biru beku di balik pintu. Meskipun tak jelas sosoknya, aku yakin ada entitas yang mencoba berkomunikasi. Bahkan udara di sekitarnya terasa menahan napas.

IV. Pembukaan Awal yang Mencekam

Kemudian, dengan napas tertahan, akupun memaksakan kunci cadangan yang kubawa dari desa. Setelah beberapa kali berputar, terdengar suara retakan pelan—lambat laun, pintu terangkat sedikit. Seketika, hawa dingin menyergap, membuat bulu kuduk meremang. Bahkan sinar senterku dimakan kegelapan pekat yang terasa hidup.

Selanjutnya, aku mengintip ke dalam. Terlihat lantai penuh pasir halus, dan di tengah ada lingkaran simbol—tumpukan dedaunan kering yang tersusun rapih menyerupai altar. Namun yang paling membuatku gemetar adalah bekas kaki kecil yang tercetak di pasir, seperti jejak anak-anak yang berlari di malam tanpa akhir.

V. Jejak Kaki Berdarah

Setelah mengumpulkan keberanian, aku masuk sepenuhnya. Lalu kulihat jejak kaki itu semakin menjauh ke sudut gudang. Seketika aku terengah, karena di antara jejak terdapat noda merah kental—bercakan darah yang masih segar. Meskipun pantat tangan bergerak gemetar, aku berusaha merekam setiap sudut ruangan. Namun tiba-tiba, suara langkah kaki berulang—seolah ada yang mengikuti di belakang.

Kemudian aku menoleh, tapi tak ada siapa pun. Bahkan sinar senterku menangkap ujung gaun putih yang melayang sebentar sebelum lenyap. Hanya ada peti kayu besar di sudut ruangan, terkunci dengan rantai besi tebal. Di atas peti tertempel kertas lusuh bertuliskan tanggal—hanya bertuliskan “Jumat, 13” tanpa bulan atau tahun.

VI. Tanda-tanda Kehadiran Arwah

Selanjutnya, aku mendekati peti. Ketika tanganku menyentuh rantai, terdengar desir lembut—seperti napas panjang. Seketika, suhu ruangan menukik puluhan derajat, dan titik-titik embun membentuk di kaca mataku. Bahkan detak jantungku tertinggal satu beat, meninggalkan ruang hampa di dada.

Kemudian, dari sudut pandang kamera, kulihat bayangan melintas di samping peti—wujud anak kecil berambut kusut, matanya hitam kelam. Ekornya bergerak perlahan, seakan ia tersesat di dunia antara hidup dan mati. Saat aku mendekat, sosok itu mengacungkan tangan kecilnya, menunjuk ke lantai. Meski ngeri, aku mengikuti arah jari mungil itu, dan menemukan lingkaran simbol lain—kali ini berupa tulisan kuno yang tak bisa kubaca.

VII. Aktivasi Ritual Tersembunyi

Kemudian, tiba-tiba peti bergetar hebat. Suara dentuman memekakkan mengisi gudang, membuat debu beterbangan. Dengan berani, aku menekan perekam suara. “Ini bukan kebetulan,” gumamku pelan. Meskipun panik, aku menyadari bahwa simbol di peti dan lingkaran di lantai adalah bagian dari satu ritual besar. Bahkan beberapa potongan tulang kecil berjatuhan di sekitarnya—mengerikan sekaligus memikat rasa ingin tahuku.

Selanjutnya, aku mencoba membaca tulisan kuno itu menggunakan aplikasi penerjemah tulisan kuno yang kubawa. Hasilnya terjadi keterlambatan—layar hanya menampilkan potongan kata: “pintu… neraka… terlarang…”. Sementara aku mencoba menerjemahkan lebih jauh, peti tiba-tiba terangkat setinggi dua jengkal, menyingkap kegelapan pekat di dalamnya.

VIII. Munculnya Entitas Kegelapan

Setelah itu, entitas hitam menyembul keluar—bayangan tanpa wujud yang memeluk seluruh ruangan. Suara teriakan menggema, bercampur bisikan nyanyian luntur. Bahkan sinar senterku redup mendadak, membuat aku hampir terjatuh. Namun aku memaksakan diri untuk tetap berdiri dan menahan getaran kaki.

Kemudian, di tengah kegelapan, kulihat sesosok anak kecil—dia Nadira, bocah yang raib sepuluh tahun lalu. Wajahnya pucat, matanya hampa. Suara ratapnya memecah keheningan: “Kenapa kalian panggil aku?” Meskipun sedih, aku merasakan kemarahan yang membara di balik lisan kecilnya. Seketika, gusti kegelapan menjerit, menyalurkan amarah arwah yang terperangkap.

IX. Puncak Teror di Gudang Terlarang

Selanjutnya, suhu ruangan naik turun tak menentu. Cahaya senter menari liar. Bahkan lantai bergetar seakan dipijak makhluk tak terlihat. Aku mengangkat kamera untuk merekam puncak teror itu—gerombolan bayangan anak-anak tiba-tiba muncul, berlarian memutari lingkaran simbol. Mereka menjerit memekakkan, lalu berhenti seketika di hadapanku, menatap hampa.

Kemudian, suara tawa seram bergema, mengusik seluruh indera. Aku merasakan tangan dingin meraba pundakku—sebuah sentuhan yang membuat ototku membeku seketika. Meskipun napas tertahan, aku memusatkan pikiran: aku harus keluar dari sini sebelum segala sesuatunya terlambat.

X. Pelarian yang Menghantui

Setelah itu, aku berlari ke pintu keluar gudang. Namun pintu terkatup rapat, seakan adanya kekuatan tak terlihat yang menjaga ritual ini tetap berjalan. Aku menendang sekuat tenaga, tetapi yang kudapat hanya bunyi dentuman memantul. Bahkan api rokokku yang kubakar di ambang pintu langsung padam mendadak.

Selanjutnya, aku merogoh saku dan mengeluarkan botol air suci—sisa dari ritual perlindungan yang pernah kulakukan. Meskipun ragu, aku menaburkan air itu di sekitar mata rantai pintu. Seketika, suara jeritan melunak, bayangan pun mereda perlahan. Pintu berderit, lalu terbuka setengah.

XI. Kebebasan dengan Harga Mahal

Kemudian, aku terjatuh di luar gudang, terengah-engah. Debu menutup tubuhku, namun aku berhasil lolos. Cahaya rembulan menyapuku dengan dingin. Meskipun berhasil keluar, tubuhku gemetar dan jiwaku terasa terkoyak. Bahkan saat aku memutar kamera, rekaman terputus di detik-detik terakhir—seolah entitas itu menolak untuk diabadikan sepenuhnya.

Setelah itu, aku mendengar bisikan samar dari balik pintu: “Jangan kembali…” Meski rinduku pada misteri memanggil, aku tahu harus menahan diri. Desa itu pun kembali sunyi, dengan gudang yang sekali lagi terkunci rapat dan diyakini haram bagi siapa pun yang ingin menyibak rahasianya.

Akhir yang Menghantui Selamanya

Akhirnya, aku pergi meninggalkan desa itu pada fajar. Namun setiap Jumat malam, aku masih mendengar bisikan lirih dalam mimpiku—suara bocah kecil yang menagih pembebasan, suara bayangan yang memohon ampun, dan jeritan kegelapan yang tak pernah padam. Ritual itu meninggalkan bekas luka di jiwaku, mengingatkanku bahwa beberapa pintu sebaiknya tetap terkunci, dan beberapa rahasia lebih baik diserahkan pada kegelapan malam.

Kesehatan & Gaya Hidup : Bahaya Merokok & Cara Efektif untuk Menghentikannya

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Post