I. Jejak Kesunyian
Requiem di Balai Kota Kosong menggema dalam pikiran Lina saat pertama kali ia menjejak halaman becek di sekeliling bangunan kuno itu. Meskipun matahari hampir tenggelam, suasana menjadi seakan malam telah menjelang. Sementara itu, daun-daun kering berguguran, menimbulkan desir lirih yang menambah nuansa menakutkan. Bahkan sebelum ia mengangkat kaki menuju pintu utama, rasa ngeri merayap pelan di tulang belakangnya.
II. Pintu Berderit
Selanjutnya, saat Lina mendorong pintu kayu berat yang retak di sana-sini, terdengar derit panjang yang seolah menyanyi requiem di balai kota kosong. Transisi antara harapan dan ketakutan berlangsung seketika, ketika cahaya senter menari-nari di atas lantai marmer retak. Padahal, tiang-tiang besar yang dulunya kokoh kini memancarkan kesan rapuh, seakan bangunan itu menanti ambruk kapan saja.
III. Ruang Resepsi Terbengkalai
Kemudian, Lina memasuki ruang resepsi luas—lantainya dilapisi debu tebal, dan kursi kayu berderet rapi namun berdebu. Requiem di Balai Kota Kosong kian nyata ketika gema langkahnya berbalik ke dirinya, seolah diikuti oleh suara bisikan tak kasat mata. Sesaat, ia menoleh, tetapi hanya kegelapan yang menatap balik. Terlebih lagi, bayangan tinggi di sudut ruangan tampak bergerak perlahan, meninggalkan jejak dingin di udara.
IV. Denting Jam Tua
Selanjutnya, di sudut ruangan, berdiri jam besar antik yang masih berfungsi—jarum detiknya berdetak pelan namun pasti. Meskipun sudah lama tak dirawat, jam itu berdentang satu kali setiap menit, menandakan requiem di balai kota kosong sebagai simfoni kematian. Lina menahan napas, mencoba memahami ritme itu, sebelum langkahnya bergetar ketika ia menyadari pintu darurat di belakangnya tertutup rapat tanpa terkunci.
V. Jejak Kaki Berdarah
Namun, saat ia bergerak menelusuri lorong di sisi barat, Lina mendapati sebaris jejak kaki bercak darah. Jejak itu menuntunnya ke tangga melingkar yang menuju ruang atas. Meskipun ragu, rasa penasaran memaksanya naik. Transisi antara lantai satu dan dua terjadi dalam hening penuh, sementara dinding di kedua sisi tampak semakin lembap—lumut hijau menyelimuti batu bata, memberi kesan bahwa balai kota ini seakan hidup.
VI. Ruang Arsip Terlantar
Selanjutnya, Lina meraih gagang pintu ruang arsip, lalu mendorongnya perlahan. Ruangan itu penuh tumpukan map usang, foto-foto pejabat tua, dan dokumen merah yang tak terbaca lagi. Requiem di balai kota kosong terasa seram ketika ia membuka satu map—dokumen tentang korban hilang di balai ini, puluhan tahun silam. Padahal, kota kecil itu tak pernah mencatat tragedi besar di kota lain. Muncul bisikan samar, “Kembalilah…” yang membuat jantung Lina berdegup kencang.
VII. Kilatan Cahaya Misterius
Tak lama kemudian, kilatan cahaya putih menembus celah jendela pecah di ujung ruangan. Lina menoleh cepat, namun sumber cahaya itu lenyap secepat munculnya. Sementara itu, suara langkah ganda terdengar di belakangnya—satu langkah cepat, satu lagi lambat. Padahal, ia berdiri sendiri. Transisi antara realitas dan halusinasi membuatnya meragukan semua indera, terutama ketika ia mendengar suara requiem di balai kota kosong beresonansi di kepala tanpa henti.
VIII. Tangisan di Balai Semesta
Kemudian, ia mendekati lorong sempit yang dindingnya dipenuhi mural pudar—lukisan warga kota yang berkerumun meratapi sesuatu. Di tengah mural, siluet menakutkan tampak menangis sujud. Ketika Lina menempelkan telinga ke tembok, ia benar-benar mendengar rintihan rendah, seperti tangisan beratus nyawa. Bahkan senter di tangannya berkedip, seolah lampu itu pun ketakutan. Requiem di balai kota kosong semakin menyesakkan dada.
IX. Puncak Ketakutan
Selanjutnya, di ujung lorong, layarnya tampak pintu besi berat berkarat. Lina menarik nafas dalam-dalam, lalu mendorong pintu dengan sekuat tenaga. Pintu itu membuka sedikit, memancarkan kabut dingin yang menyembul ke luar. Sesaat, ia terbius oleh aroma hangus dan asam—bau kematian yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Padahal, ia sudah mencoba menghalau ketakutan, namun tubuhnya gemetar tak terkendali.
X. Requiem yang Terakhir
Akhirnya, Lina memutuskan mengakhiri perjalanan neraka ini. Ia menutup mata, menahan nafas, lalu langkahnya berbalik—namun pintu besi itu tertutup rapat di baliknya. Kegelapan total menyelimuti, hanya suara detak jam tua yang menari requiem di balai kota kosong. Dalam hitungan detik yang terasa seperti abad, Lina merasakan tangan dingin mencengkeram pundaknya, menariknya ke lorong tanpa akhir. Dan di sana, dalam sunyi abadi, requiem itu terus bergema, menandai akhir takdir siapa pun yang berani memasuki ruang terkutuk ini.
Teknologi : Teknologi untuk Kemanusiaan: Sains dan Solusi Global