Prolog: Cahaya Dendam di Langit
Rembulan merah di atas sawah memancar menyala, menebar ketakutan di setiap helaian padi yang bergoyang. Bahkan sebelum angin malam membelai lembut, aura kelam telah merayap, menggigit kesunyian. Selanjutnya, detak jantung terdengar bagai genderang perang, memaksa langkah memasuki ladang yang diterangi sinar mematikan. Oleh karena itu, setiap jejak kaki terasa berat, penuh bisikan yang tak kunjung padam.
Bagian I: Bisikan di Ujung Lembu
Rembulan dan Bayangan Tanpa Wajah
Namun demikian, di tepian sawah, bayangan tanpa wajah melintas cepat, menari di antara rumpun padi. Bahkan sinar rembulan yang hangat berubah dingin, menimbulkan bulu roma berdiri. Setelah itu, suara bisikan melengking—“Pergi…”—seolah makhluk mengerang menuntut pembalasan. Selanjutnya, langkah kaki terhenti, menimbang antara nyawa dan rasa ingin tahu yang mematikan.
Bagian II: Jejak Darah di Padi Basah
Warna Merah yang Membeku
Kemudian, sepasang sepatu petani tua tercampak di lumpur, dipenuhi noda darah kering. Bahkan aroma besi menusuk lubang hidung, menunjukan tragedi yang baru saja berlalu. Meskipun naluri menjerit untuk menjauh, rasa penasaran menyeret kaki makin jauh ke pusaran misteri. Selanjutnya, suara erangan halus menyelinap dari sela lembar daun padi.
Bagian III: Teror di Balik Semburai Kabut
Langkah di Tengah Kabut
Selanjutnya, kabut tipis merayap turun, menutupi jejak di tanah berlumpur. Bahkan lampu senter gemetar, ketakutan sendiri oleh kehadiran yang tak terlihat. Setelah itu, suara langkah tanpa tubuh bergema, mengelilingi setiap petak sawah. Oleh karena itu, tiap hembusan napas membeku, diselimuti kengerian yang memagut akal.
Bagian IV: Legenda Rembulan Berdarah
Kisah Petani yang Terperangkap
Namun, di gubuk tua di ujung sawah, terdengar cerita petani yang hilang puluhan tahun silam. Bahkan mantra kuno disebut memanggil roh pendendam saat rembulan berwarna darah. Lalu, warga setempat menghindar setiap tiba purnama merah, takut digiring bayangan kelam menuju kubangan maut.
Bagian V: Suara Tangisan di Tengah Tanah Basah
Jeritan Tersapu Angin
Kemudian, suara tangisan perempuan bergema lirih, tertiup angin malam. Bahkan rintihan itu menembus hingga ke sumsum, mengoyak ketenangan yang tersisa. Setelah itu, bayangan putih melayang rendah, menjejak di permukaan air tergenang. Selanjutnya, padi bergoyang tanpa angin, seakan menari di atas kubur kolektif.
Bagian VI: Konfrontasi dengan Bayangan
Sorot Mata di Balik Kelopak
Selanjutnya, di tengah patahan padi, sosok berdiri tegak—mata merahnya menyorot tajam. Bahkan bentuknya samar, berkabut seperti asap kelam. Meskipun keberanian tipis berpendar, tangan menggenggam golok petani sebagai satu-satunya pelindung. Kemudian, teriakan menyeberang ruang, menohok setiap keberanian hingga tersisa getar putus asa.
Bagian VII: Tarian Jiwa yang Terkutuk
Irama Kelam Rumpun Padi
Namun demikian, saat ostinato gemerisik padi berpadu dengan teriakan terdalam, seluruh ladang berubah menjadi panggung kegilaan. Bahkan batang padi bergetar seolah menyanyi, menjerumuskan siapa pun ke pusara abadi. Selanjutnya, kesadaran menipis, tubuh dihinggapi dingin tak berujung.
Bagian VIII: Pelarian Tanpa Arah
Jejak yang Tersapu Darah
Kemudian, fajar memancarkan sinar pucat, namun ladang tetap bersimbah kegelapan. Bahkan jejak kaki terhapus oleh air pagi, menyisakan luka membeku di ingatan. Setelah itu, petinggi desa hanya menemukan senter teronggok, tanpa manusia atau bayangan.
Epilog: Gaung di Balik Cahaya Merah
Akhirnya, rembulan meredup, meninggalkan rona tak wajar di langit. Selanjutnya, desas-desus tentang bayangan Blora teralihkan pada rembulan merah di atas sawah—bisikan dendam yang menunggu korban baru setiap purnama.”
Kesehatan dan Gaya Hidup : Kesehatan Mental di Dunia Serba Cepat: Apa yang Berubah?