Kedatangan ke Desa Sunyi
Pada suatu pagi yang kelabu, aku tiba di Desa Ciherang, sebuah tempat terpencil yang dikenal memiliki tradisi unik dalam mengurus jenazah. Bahkan sebelum memasuki pekuburan tua di pinggir desa, aku sudah mencium atmosfir yang berbeda—udara dingin menusuk, padahal jarum jam baru menunjukkan pukul tujuh. Ketika aku mendekati rumah pak Wira, seorang dukun kampung yang kukunjungi demi memahami desas-desus soal kain kafan basah, derit gerbang kayu antik seakan menyambutku dengan nada mengerikan.
Sesampainya di rumah kayu yang lapuk, aku langsung disambut oleh hawa lembap yang menguar dari dalam rumah. Pak Wira, dengan wajah pucat dan mata sayu, mengajakku duduk di ruang tamu yang penuh janda tirai kusam. Tanpa basa-basi, ia meneguk kopi pahit sebelum berkata, “Anakku, kau pasti mendengar cerita tentang kain kafan basah, bukan?” Aku mengangguk, padahal jantungku sudah berdegup kencang. Oleh karena itu, malam ini aku akan menelusuri satu per satu petunjuk yang mungkin bisa menjelaskan fenomena menyeramkan ini.
Asal Usul Kain Kafan Basah
Lebih jauh, kain kafan basah konon berasal dari ritual pemakaman kuno yang dilakukan di tengah hutan lebat di lereng Gunung Galunggung. Pada zaman kolonial, penduduk setempat tidak memiliki peti mati; jenazah dibungkus dengan kain panjang yang disebut kafan. Namun kemudian, terjadi wabah misterius yang menyerang penduduk desa kala itu. Selama berhari-hari, jenazah yang dikafani selalu ditemukan pada pagi hari dengan kafan basah oleh embun—padahal malamnya tidak turun hujan.
Padahal, tradisi penguburan dilakukan jauh dari permukiman, di sebuah area bernama “Lembah Mayit.” Meskipun begitu, setiap pagi, para kerabat jenazah yang berziarah menyaksikan kain kafan terurai basah di atas batu nisan. Anehnya lagi, air yang menetes dari kain itu terasa lebih hangat daripada embun biasa, seakan memancarkan energi kematian yang membakar kulit. Oleh karena itu, penduduk kampung percaya bahwa roh-roh yang terbunuh mendesak untuk meluapkan kesedihan mereka, menuntut balas dendam atas kematian yang tak wajar.
Pertama Kali Melihat Kain Kafan Basah
Kemudian, aku mengikuti Pak Wira menuju pekuburan kuno di tepian hutan. Jalan setapak dipenuhi rerumputan tinggi yang menutupi batu nisan berlumut. Ketika langkah kakiku menapak rumput basah, hawa dingin di udara semakin menusuk. Sesaat kemudian, sorot sinar mentari pagi menembus celah pepohonan, menerangi sebuah batu nisan lapuk tak terawat. Di atasnya, selembar kain putih tergeletak, basah sampai ke ujung seratnya—persis seperti yang diceritakan penduduk desa.
Sementara itu, fokus keyphrase “kain kafan basah” terus bergema di pikiranku. Bahkan suara detak jantungku terasa bergema di antara keheningan hutan. Ketika aku mengulurkan tangan untuk meraba kain, sensasi hangat menjalar ke jari—seolah ada sesuatu yang masih bernyawa di balik benang-benang itu. Tiba-tiba, daun-daun kering di sekitarku bergoyang, dan bisikan lirih terdengar pelan: “Bebaskan aku…” Suara itu terus terngiang, menambah ketegangan yang sudah memuncak.
Wisata-jiwa yang Terperangkap
Padahal, hingga saat itu, aku belum benar-benar memahami bagaimana roh-roh penduduk kuno bisa terjebak di antara dunia ini dan akhirat. Dalam lintasan pikiranku, aku teringat sebuah mitos—bahwa setiap jiwa yang meninggal secara tidak wajar akan terperangkap dalam kain kafan dan berusaha menuntut orang hidup untuk membantu mereka menenangkan penderitaan. Oleh karena itu, kain kafan basah menjadi simbol penderitaan yang tak kunjung usai; air hangat yang menetes pada pagi hari berasal dari keputusasaan roh-roh yang haus diterangi cahaya kehidupan.
Selanjutnya, aku menatap bangunan kecil di pojok pekuburan—sebuah bale tempat menyimpan peralatan ritual jaman dulu. Di dalamnya, terdapat sebuah catatan usang bertinta merah yang memuat mantra pemanggilan arwah. Dengan gerakan gemetar, aku membalik halaman demi halaman, menemukan bait-bait penghibur roh yang terperangkap di antara lapisan kain. Salah satu kutipan berbunyi:
“Panaskan air dengan cahaya pagi, renungkan nama yang terhilang,
Biarkan jiwa merdeka lepas dari lembaran yang basah membara.”
Namun bacaan itu justru menimbulkan pertanyaan lebih besar: apakah ritual lama tersebut benar-benar akan membebaskan roh, atau malah mengundang kengerian yang lebih dalam?
Bayangan Malam dan Dentuman Kepala Nisan
Meskipun fajar telah memudar, aku memutuskan untuk bermalam di dekat pekuburan guna mengawasi perubahan kain kafan basah. Pada malam hari, udara menjadi semakin dingin, dan hanya suara jangkrik yang memecah keheningan. Namun, kira-kira jam dua belas malam, aku mendengar suara dentuman—seperti pukulan kepala nisan yang terjatuh. Tubuhku tersentak, lampu senter bergoyang menyorot ke arah batu nisan. Hanya sekilas, kulihat bayangan hitam merayap di antara makam tua, lalu lenyap secepat kilat.
Begitu itulah saat pertama kali aku merasakan kehadiran entitas tak terlihat. Sesuai mitos, roh yang terperangkap akan muncul pada malam tepat jam dua belas guna menebus penderitaan mereka. Oleh karena itu, setiap kali aku mendengar dentuman itu, tubuhku langsung lemas, sementara pikiran dipenuhi bayangan tak kasat mata yang menanti saat aku membalikkan tubuh. Bahkan setelah kugoyang-goyangkan lampu senter, tak ada apa-apa kecuali kabut tipis yang merayap menyesakkan di bawah cahaya bulan samar.
Mencari Keterlibatan Camat Desa
Sesudah malam penuh ketegangan itu, aku kembali ke rumah Pak Wira untuk mengajukan pertanyaan lebih lanjut. Keesokan paginya, aku menemukan petugas desa—Camat Rudi—datang dengan ekspresi khawatir. Ia mengaku mendapat laporan dari warga tentang suara ratapan yang sering terdengar di tengah malam. Lebih lanjut, katanya, beberapa orang bahkan melihat sesosok perempuan berkain putih berkeliling pekuburan sambil mendesah. Oleh karena itu, Camat Rudi memutuskan untuk mengumpulkan para tokoh adat dan sesepuh masyarakat guna membahas solusi.
Padahal, hingga saat itu, Camat Rudi masih ragu akan keabsahan fenomena kain kafan basah. Namun setelah aku menunjukkan catatan kuno dan foto kain basah dari pekuburan, ia terhenyak. Kepala dusun pun menambahkan bahwa sejak puluhan tahun lalu, beberapa warga meninggal dunia tiba-tiba pada malam tertentu tanpa penyebab yang jelas. Mereka menengarai adanya kutukan dari ritual lama yang belum pernah diselesaikan—menjadi akar munculnya kain kafan basah setiap pagi. Seketika, suasana menjadi mencekam, seakan lembaga pemerintahan lokal pun digoyang oleh kengerian yang susah dijelaskan.
Persiapan Ritual Penebusan
Kemudian, setelah diskusi panjang, akhirnya disepakati untuk melakukan ritual penebusan. Seluruh sesepuh adat, tokoh agama, dan beberapa relawan berkumpul di bale desa sebelum malam tiba. Semua menyiapkan dupa, lilin, dan alat lain sesuai naskah kuno yang kutemukan. Sementara itu, aku mendapat tugas untuk menyiapkan segelas air suci—dicampur bunga cempaka dan larutan garam kering—sesuai instruksi mantra:
“Campurkan embun pagi, renungkan penderitaan yang hilang,
Siramkan puji di atas kain, bebaskan jiwa yang kehausan.”
Meskipun suasana terlihat hikmat, aku menahan keraguan dalam hati. Bagaimana pun, jika ritual ini gagal, kemungkinan besar kutukan malah menguat. Oleh karena itu, aku memastikan setiap detail sesuai dengan catatan naskah, mulai dari pembacaan mantra hingga urutan penyiraman kain kafan basah yang sudah dikumpulkan di tengah lapangan pekuburan.
Malam Pengusiran Kutukan
Kemudian, tibalah malam pengusiran kutukan. Sekitar jam sembilan malam, aku dan rombongan berjalan kaki menuju pekuburan. Hanya lampu senter dan cahaya lilin kecil yang menerangi jalan setapak. Sesampainya di batu nisan utama—allah satu nisan tanpa nama—kami menyusun kain kafan basah di atas batu yang datar. Masing-masing sesepuh membawa sesaji, sementara suara tabuhan genderang kecil mengalun perlahan.
Di tengah denting genderang, Pak Wira mulai membaca doa:
“Dengan nama Sang Pencipta raga dan jiwa,
Kutebus setiap helai duka yang tertahan,
Dalam nama kasih yang nyata,
Lepaskan arwah yang kehausan.”
Sesaat setelah doa itu selesai, angin dingin berhembus kencang, padahal tidak ada awan di langit. Lalu, suara ratapan terdengar di kejauhan—seperti tangisan bayi dan jeritan perempuan yang mendesak. Kilatan petir menerangi kain kafan basah yang dihamparkan, dan aku melihat lekukan samar sesosok perempuan mengenakan pakaian kusut berdiri di ujung pekuburan. Matanya merah menyala, lalu perlahan ia mendekat, merangkul kain kafan sambil menangis tersedu. Seketika, aku merasakan hawa dingin menembus hingga tulang belakang—seakan segala beban dunia ini menunggu untuk dilepaskan.
Detik-detik Penebusan Terakhir
Padahal, jantungku berdegup kencang. Transisi atmosfir dari tenang ke kacau itu nyaris melampaui batas nalar. Namun, para sesepuh terus membaca mantra dengan khusyuk, menegaskan niat suci untuk membebaskan roh yang terjerat. Saat mantra mencapai bait terakhir, bau tanah basah dan kemenyan membaur menjadi aroma pekat yang menusuk ingatan. Secara tiba-tiba, kain kafan basah seperti terangkat oleh tarikan tak kasat mata, berputar beberapa kali lalu melayang ke udara.
Dalam kilat cahaya petir berikutnya, sosok perempuan itu menangis satu kali lalu menghilang dalam gemuruh awan. Hening menyelimuti pekuburan; hanya sisa gemuruh petir yang kian menjauh. Perlahan-lahan, kain kafan basah jatuh menimpa tanah berlumpur, namun kini sudah mengering seketika—seperti tidak pernah basah. Detik itu, aku tahu ritual penebusan berhasil: penderitaan arwah telah terlepaskan, dan kutukan tidak lagi membayangi desa ini.
Fajar Baru yang Membawa Damai
Lebih jauh, ketika fajar tiba, para warga yang datang untuk mengawasi ritual terhenyak melihat kain kafan yang tadinya basah kini kering sepenuhnya. Bahkan, tanah di sekitar batu nisan terlihat retak—seolah merayakan kebebasan roh-roh terperangkap. Masyarakat berkerumun dengan wajah haru; sebagian menangis, sebagian lagi berbisik syukur. Aku sendiri merasakan kelegaan yang mendalam—seakan beban besar terangkat dari pundakku.
Di antara sorak gembira, Camat Rudi menyampaikan bahwa desa akan mencatat setiap peristiwa ini dan memastikan tidak ada lagi ritual kelam yang tertinggal. Selain itu, Pak Wira berkata bahwa siapa pun yang menemukan kain kafan basah setelah ini harus tahu bahwa itu bukan kutukan, melainkan pertanda bahwa mereka harus mengulangi ritual penebusan dengan tulus. Namun, ia yakin hal itu takkan terjadi, karena jiwa-jiwa yang terjerat kini telah berpulang dengan damai.
Epilog: Kenangan Abadi Kain Kafan Basah
Sejak peristiwa itu, Desa Ciherang berubah menjadi tempat yang lebih terang—meskipun kabut masih menutup lembah pada pagi hari. Namun, tidak ada lagi cerita tentang kain kafan basah yang menakutkan. Penduduk desa belajar menghormati ritual dan warisan leluhur dengan lebih hati-hati, memastikan setiap jenazah dibungkus dan dikubur sesuai prosedur yang benar.
Bagiku, pengalaman malam itu menjadi pelajaran berharga bahwa kematian bukan akhir segalanya. Dalam setiap helai kain kafan basah di pagi hari, tersimpan jeritan jiwa yang meminta bantuan—dan penebusan itulah yang mengakhiri kutukan. Meskipun rasa takut sempat menyergap hingga tulang sumsum, kehadiran semangat kebersamaan dan doa suci membuktikan bahwa roh-roh yang terperangkap dapat merdeka, bahkan dari lembah tertua sekalipun.