Pukulan Tanpa Suara di Lorong Malam yang Membekukan Jiwa

Pukulan Tanpa Suara di Lorong Malam yang Membekukan Jiwa post thumbnail image

Kedatangan yang Membawa Malapetaka

Pada malam pertama tiba di rumah tua keluarga Triana, Raka langsung merasakan pukulan tanpa suara yang bergetar di tulang rusuknya—meski tak ada sumber yang jelas. Selain itu, udara terasa pekat sekaligus menusuk, seolah menahan napas siapa saja yang masuk. Raka, yang berniat menata ulang bangunan usang itu, menahan rasa takutnya, karena ia pikir itu hanya imajinasi. Namun, ketika ia menapakkan kaki di lorong panjang yang remang, sensasi dentuman geliat itu kembali, bahkan lebih kuat—seolah ada tangan tak kasat mata yang mencengkram hati.


Bisikan dan Jejak Langkah

Selanjutnya, seiring langkahnya bergeser pelan, ia mendengar bisikan lirih: “Pergi… sebelum terlambat…” Bisikan itu datang berulang, bergema di setiap sudut dinding. Dengan gugup, Raka menyalakan senter, menelusuri lorong yang dipenuhi wallpaper lusuh dan retakan pada kayu. Selain bisikan, ada pula jejak langkah lembut—tetapi di luar sana, tak tampak siapa pun. Karena penasaran, ia mengikuti suara itu, padahal nalurinya berteriak agar ia berhenti.


Penemuan Pintu Tersembunyi

Kemudian, di balik tirai lusuh, Raka melihat papan kayu miring yang nyaris menyatu dengan dinding. Lebih jauh, terdapat engsel tua—menandakan adanya pintu rahasia. Sambil menahan napas, ia menurunkan tubuhnya perlahan dan mendorong pintu itu. Seketika, aroma lembab menyeruak, dan lampu senter bergoyang. Ia menutup mata sesaat, lalu membukanya kembali untuk menatap lorong kecil di balik dinding. Di sanalah, dinding dipenuhi bekas tangan berlumuran debu: jejak korban yang dulu pernah merasakan pukulan tanpa suara.


Rekaman Pertama

Tidak lama kemudian, Raka menemukan sebuah kaset tua tergeletak di lantai keramik retak. Tanpa pikir panjang, ia memasukkan kaset itu ke tape recorder usang yang terselip di sudut ruangan. Begitu tombol “play” ditekan, terdengar suara degup jantung berdenting kencang—kemudian tiba-tiba sunyi. Lalu, di tengah keheningan, terdengar benturan padat: pukulan tanpa suara lagi, seakan membalas ketukan kaset itu. Raka tercekat, napasnya tercekat, dan lampu senter berkedip mati.


Kengerian di Balik Bayangan

Karena panik, Raka mengayunkan senter ke arah lorong. Seketika, bayangan panjang melintas di dinding—sosoknya kurus, dengan tangan yang terlalu panjang, merambat bagai laba-laba. Ia berlari, namun langkahnya terhenti ketika merasakan sengatan dingin di tengkuknya. Kehampaan itu menjerat indera pendengaran, lalu lahirlah sekali lagi pukulan tanpa suara yang mengguncang lantai hingga butiran debu beterbangan.


Asal Usul Teror

Selanjutnya, di ruang keluarga, Raka membuka kotak arsip keluarga. Di dalamnya, terdapat surat-surat kuno dan foto hitam-putih. Ia membaca cerita tentang seorang leluhur yang dibunuh di lorong belakang rumah ini—korban pengkhianatan cinta. Konon, arwahnya kembali, memukul tanpa suara siapa saja yang mendekat, menuntut pembalasan dendam. Surat terakhir menulis: “Ia tak pernah tenang, pukulannya meriak dalam sunyi, menunggu jiwa yang berani membuka kembali.”


Konfrontasi Tengah Malam

Akhirnya, malam ketujuh, Raka memutuskan menghadapi teror itu. Ia menyiapkan lilin, dupa, dan segenggam tanah dari makam leluhur. Sambil menyalakan lilin, ia mengucapkan mantera pembebasan yang tertulis di surat tua. Namun, tak lama kemudian, lilin padam sendiri, dan dinding di sekitarnya bergetar. Dari dalam kegelapan, terdengar denyar suara: “Kau tak pantas tenang…” Lalu, pukulan tanpa suara menerjang, menghunjam udara di sekitarnya, memaksa Raka terjungkal.


Pelarian yang Putus Asa

Sementara Raka terkapar, ia melihat sosok arwah melayang, mata merahnya menyala, tangan panjangnya menggapai. Ia bangkit dan menjerit, berlari menuruni tangga kayu. Namun, setiap anak tangga menyahut dengan bunyi benturan hampa—pukulan tanpa suara yang mengiringi pelariannya. Pintu depan terkunci, jendela terhalang papan—seolah rumah ini ditutup untuk selamanya.


Keabadian Teror

Keesokan paginya, tetangga menemukan rumah itu kosong. Hanya tape recorder di lantai rusak yang memutar kaset loop tak berujung. Dari balik pintu, terdengar dentuman tipis—pukulan tanpa suara—menyusup hingga lorong rumah. Dan di bawah senter yang terjatuh, jejak kaki bercampur noda darah kering, seolah menandai satu korban lagi yang hilang ditelan teror sunyi.

Motivasi : Menguasai Emosi: Pembelajaran Stoicisme dalam Kehidupan Sehari-hari

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Post