Bisikan Pertama
Pada malam pekat itu, pohon kedondong berbisik memecah keheningan kebun sunyi. Kemudian, angin lembut membawa suara parau yang seolah memanggil namaku. Awalnya aku ragu, namun entah mengapa, bisikan itu mengundang rasa penasaran. Sementara itu, bulan tertutup awan, membuat bayangan ranting menari seperti siluet menakutkan di halaman.
Bayangan di Bawah Ranting
Selanjutnya, langkah kakiku terhenti di bawah daun kedondong yang bergoyang tanpa angin. Namun, bisikan makin kencang, “Datanglah…” katanya lirih. Aku mendongak dan melihat sesosok kelam berkelebat. Kemudian tubuhku menggigil, tetapi aku tak bisa berpaling.
Jejak Tanpa Jejak
Kemudian, aku menoleh ke samping, berharap melihat siapa yang memanggil. Namun, lantai tanah hanya sunyi tanpa jejak kaki. Lebih jauh, dedaunan berjatuhan perlahan, menandakan kekuatan tak kasat mata. Malah terdengar getaran halus di akar, seakan makhluk purba bersembunyi di bawah.
Cahaya Senter yang Goyah
Akhirnya, aku mengeluarkan senter dari saku. Sinar kuningnya berkelebat, namun setiap kali kutatap pohon, cahaya teredam bayang-bayang hitam pekat. Kemudian, lampu senter berkedip, memancarkan siluet sosok pucat yang melayang. Tanpa sadar, nafasku tersengal menahan ketakutan.
Aroma Akar Membusuk
Sementara itu, aku mencium bau anyir tanah basah dan akar membusuk. Namun, aroma itu semakin pekat di sekitar batang pohon. Seiring detik berganti, tanah di sekelilingnya bergelembung, seolah sesuatu ingin keluar.
Suara Langkah Ganda
Kemudian, langkah kakiku menggema dua kali—lantas, bisikan berganti tawa renyah. Aku menoleh—tapi tak ada siapa pun. Justru, suara itu datang dari dalam batang pohon. Tanpa ragu, aku menempelkan telinga, dan terdengar nafas kasar serta ratapan pilu.
Rahasia di Pucuk Daun
Setelah itu, aku memanjat sedikit ranting rendah dan melihat sepotong kain usang terikat. Namun, kain itu telah memudar, hanya menyisakan bercak merah. Bersamaan, daun berdenting menandakan pohon kedondong berbisik menolak gangguan.
Jejak Darah di Tanah
Selanjutnya, kulepaskan sejumput tanah basah—terlihat bercak-bercak merah tua. Tanpa diduga, darah itu bergerak sendiri, merambat menuju akar. Kemudian, aku tersentak mundur, teriakan mencekam terlepas tanpa kendali.
Wajah di Balik Kulit Kayu
Kemudian, senter kutujukan tepat ke batang. Cahaya berpendar menampakkan sosok rapuh—wajah tertahan di kayu, mata terbelalak. Namun, ia merintih, seakan dikurung ribuan tahun. Ketika kuulangi sorot, bayangan itu menghilang, meninggalkan jejak retakan halus.
Angin Pembisik Terakhir
Akhirnya, angin kencang berhembus, membawa semua bisikan bersatu jadi gemuruh. Pohon kedondong berbisik terdengar menjerit, menumbuhkan paku-paku ketakutan di tulang punggungku. Seiring ranting bergoyang liar, tanah bergetar, membuatku terjengkang.
Pencarian Korban Sebelumnya
Kemudian, ingatanku terseret pada kabar warga hilang di kebun ini. Mereka menghilang tanpa jejak, hanya daun kedondong berguguran di pagi hari. Aku sadar, pohon ini menjerat korban lewat bisikannya—lukisan kengerian yang terpatri di setiap ranting.
Perang Melawan Hantu Tua
Sementara itu, alam bawah sadarku menolak kengerian. Aku meraih sebatang kayu panjang, lalu memukul batang pohon dua kali. Namun suara itu malah berubah jadi suara isak—mengundang sosok bayangan. Aku menambah pukulan, namun setiap pukulan menimbulkan dendam.
Jeritan di Dalam Lubang
Selanjutnya, terdengar jeritan memilukan dari lubang di bawah akar. Aku mendekat—dan nyaris pingsan melihat mata kuning menyala. Ketika kukais tanah, tangan pucat meraih kakiku. Aku melonjak mundur, memantulkan ketakutan murni di pandanganku.
Sekop dan Tanduk Kering
Kemudian, kusentuh sekop tua di sudut kebun. Sambil gemetar, aku gali tanah di sekitar pohon. Dalam lubang kecil kutemukan tanduk ternoda darah, ditancapkan bersama tengkorak kecil. Namun, begitu disentuh, tanduk mengeluarkan bisik menukik: “Ambil tempatmu.”
Puncak Teror Malam
Akhirnya, malam mencapai puncaknya. Pohon kedondong berbisik merangsek keluar kabut, menampakkan sosok wanita berambut panjang, kulitnya terkoyak ranting. Ia mengangkat tangan berlumuran getah hitam, lalu menerjangku dengan jeritan mematikan.
Lari Terbirit-birit
Dengan segenap tenaga, aku berlari menembus kebun berliku. Namun, setiap langkah dibayangi ranting yang mencoba meraih. Bisikan mengikutiku, menanamkan ketakutan mendalam. Bayangan wanita itu terus mengejar hingga napasku hampir habis.
Pintu Gerbang Terbuka
Kemudian, kulihat cahaya redup dari pintu gerbang kayu. Tanganku gemetar membuka engsel tua. Begitu aku melangkah keluar, semuanya sunyi—tapi detak jantungku bergema lebih keras dari bisikan pohon.
Keheningan Pagi
Akhirnya fajar menembus pepohonan, memecah kengerian malam. Pohon kedondong kembali diam, layaknya tak pernah berbisik. Namun, jejak jariGetah hitam menempel di pakaianku—tanda bahwa teror sejati belum usai.
Alam dan Lingkungan : Hijau Itu Hidup: Peran Hutan Menyelamatkan Dunia