“Anak yang Tak Pernah Pulang”
Namaku Arman. Dan aku yakin… aku adalah anak yang selama ini ditunggu di depan pintu itu.
Selama bertahun-tahun, aku tak pernah mengerti kenapa aku bermimpi terus-menerus tentang seorang wanita tua duduk di kursi, menatap pintu, sambil menangis pelan. Selalu jam 3 pagi.
Mimpi itu menghantuiku sejak aku kecil. Tapi baru belakangan ini aku tahu—mimpi itu bukan cuma mimpi. Itu adalah kenangan. Dan wanita itu adalah ibuku.
Potongan-potongan yang Tersambung
Semuanya bermula ketika aku secara tak sengaja membaca artikel online tentang sebuah rumah tua di Rawamangun. Judulnya: “Pintu Depan yang Selalu Terbuka Jam 3 Pagi.”
Awalnya aku mengira itu cuma cerita horor biasa. Tapi ada satu foto di artikel itu—kursi tua di ruang tamu, yang langsung memicu sesuatu dalam ingatanku.
Itu kursi milik ibuku.
Aku mengenal kursi itu. Aku tahu betul bentuknya. Dan di belakang kursi itu… adalah aku kecil yang berdiri, menatap ibuku untuk terakhir kalinya.
Masa Lalu yang Terlupakan
Aku dibesarkan di panti asuhan. Mereka bilang, orangtuaku meninggal dalam kecelakaan. Tapi seiring waktu, mimpi tentang rumah tua dan tangisan seorang wanita semakin sering muncul.
Saat dewasa, aku mulai menyelidiki masa laluku sendiri. Dan ternyata, data identitasku penuh kejanggalan. Nama asli ibuku bukan yang tertera di akta. Dan tempat lahirku… sama persis dengan lokasi rumah angker itu.
Setelah menyambungkan beberapa petunjuk, aku tahu:
Ibuku tidak pernah meninggal. Aku yang ditinggalkan. Aku yang hilang.
Kembali ke Rumah Itu
Dengan campuran rasa takut dan rasa bersalah, aku kembali ke rumah itu. Tapi rumah itu sudah kosong lagi. Penghuni terakhirnya kabur setelah kejadian aneh.
Aku datang sendirian, malam hari. Berdiri di depan pintu. Tanganku gemetar saat mengetuknya. Tapi tak perlu waktu lama.
Pintu itu terbuka sendiri. Jam 3 tepat.
Di dalam, suasana dingin. Sunyi. Tapi tak lama… aku mendengar suara tangis.
Tangisan yang sudah sangat kukenal.
Pertemuan yang Tak Pernah Terjadi
Aku masuk ke ruang tamu, dan melihatnya.
Ibuku—atau sosok yang menyerupainya—duduk di kursi tua itu. Sama persis seperti di dalam mimpiku. Ia menatapku. Matanya kosong, tubuhnya pucat, tapi ada satu hal yang aku tahu:
Ia mengenaliku.
Aku tidak bisa berkata apa-apa. Hanya berdiri terpaku.
Tapi ia membuka mulutnya, dan untuk pertama kalinya aku mendengar suaranya.
“Kamu pulang, Nak?”
Aku menangis. Dan untuk pertama kalinya, mimpi itu berubah.
Ibuku berdiri, mendekat… dan memelukku.
Akhir dari Penantian
Setelah malam itu, pintu rumah itu tidak pernah terbuka lagi jam 3 pagi.
Rumah itu akhirnya dijual, direnovasi, dan kini jadi tempat tinggal biasa. Tidak ada gangguan, tidak ada tangisan. Tidak ada penantian.
Aku tahu, pelukan malam itu bukan hanya pertemuan—tapi perpisahan.
Ibuku akhirnya bisa pergi dengan tenang. Ia sudah tidak menunggu lagi. Karena anaknya… sudah pulang.
baca juga cerita horror lainnya