“Dia tidak pernah benar-benar pergi.”
Setelah ruqyah ketiga dilakukan, kami benar-benar merasa lega. Rumah terasa lebih tenang, malam-malam kembali sunyi seperti seharusnya. Tidak ada lagi suara tangisan, tidak ada pintu yang terbuka sendiri, dan tidak ada lagi adikku mengigau sambil berdiri di depan pintu.
Tapi semua itu ternyata hanyalah ketenangan sebelum badai yang lebih besar.
Tanda-Tanda Kecil yang Terabaikan
Dua minggu setelah ruqyah terakhir, ayah sempat menemukan sesuatu yang janggal di depan pintu. Bukan pintunya yang terbuka, tapi tapak kaki basah. Di keramik depan pintu terlihat jelas jejak telapak kaki kecil, seperti anak-anak, padahal semalaman tidak hujan.
Ibu mulai merasakan seperti sedang diawasi lagi, terutama saat memasak di dapur. Katanya, ada suara napas berat di belakangnya—seperti seseorang berdiri sangat dekat. Tapi setiap ia menoleh, tentu saja tidak ada siapa pun.
Kami mencoba menenangkan diri dengan pikiran rasional: mungkin cuma stres, mungkin cuma ilusi.
Sampai akhirnya, aku melihatnya sendiri.
Tatapan dari Cermin
Suatu malam, saat aku sedang mencuci muka di kamar mandi, aku mendongak ke arah cermin—dan di sanalah dia.
Seorang wanita tua, berpakaian putih dan rambut panjang, berdiri di ruang tamu, menatap ke arah pintu depan. Wajahnya penuh luka, matanya kosong, seperti memanggil seseorang tapi tidak bisa bicara.
Aku berbalik cepat—tak ada siapa-siapa.
Tapi saat aku menatap kembali ke cermin, dia masih ada di sana. Masih menatap pintu. Seolah dunia kami berbeda—aku di sini, dia di sana—dipisahkan oleh pantulan kaca.
Itu adalah malam pertama aku tidur dengan lampu menyala.
Bukti dari Kamera
Ayah akhirnya memasang CCTV kecil menghadap ke arah pintu depan, sekadar untuk berjaga-jaga. Kami tidak berharap apa-apa—hanya ingin memastikan bahwa ini semua bisa dijelaskan secara logis.
Namun pagi harinya, saat memutar rekaman, ada momen aneh terjadi.
Pukul 02:58 kamera merekam normal. Tapi tepat pukul 03:00, gambarnya bergetar. Suara seperti desir angin keras terdengar—padahal kamera tidak merekam suara. Pintu pelan-pelan terbuka sedikit, lalu menutup sendiri.
Tapi yang paling mengerikan bukan itu.
Di detik terakhir rekaman, muncul sosok wanita berjubah putih berdiri di ambang pintu. Tidak jelas. Seperti gangguan visual. Tapi semua dari kami melihatnya. Dan semua dari kami merinding bersamaan.
Surat dari Masa Lalu
Kami memutuskan untuk membersihkan loteng rumah, tempat yang selama ini kami hindari. Di sana kami menemukan sebuah kotak kayu tua berisi surat-surat, pakaian, dan foto seorang wanita tua bersama seorang anak laki-laki.
Salah satu suratnya membuat bulu kuduk kami berdiri:
“Jika kamu membaca ini, berarti aku masih menunggu. Aku tidak tahu ke mana anakku pergi. Tapi aku tahu, dia akan kembali lewat pintu depan. Aku akan duduk di sana, menunggu, setiap malam. Sampai dia kembali.”
Tangis ibu pecah saat membaca surat itu. Ada rasa kasihan, ada juga ketakutan yang tak bisa dijelaskan. Nenek itu… benar-benar tidak pernah pergi. Ia masih menunggu. Dan ia percaya, anaknya akan pulang dari arah pintu depan.
Kami Memutuskan Pergi
Setelah surat itu ditemukan, kami memutuskan pindah. Tidak bisa lagi kami tinggal di sana. Setiap malam menjadi penuh ketakutan. Kami tidak berani lagi tidur nyenyak.
Sebelum pergi, ibu sempat meninggalkan bunga dan Al-Fatihah di depan pintu. Ia membisikkan:
“Semoga Ibu bisa pulang ke tempat yang seharusnya. Kami hanya numpang lewat, bukan pengganti.”
Dan untuk pertama kalinya, selama kami tinggal di sana, pintu depan tetap tertutup hingga pagi.
Epilog
Sekarang, rumah itu sudah dihuni oleh keluarga baru. Kami tidak tahu apakah mereka mengalami hal yang sama. Tapi sesekali, saat aku melewati gang itu… aku masih menoleh ke arah rumah itu.
Dan jujur saja, aku masih takut melihat pintu depannya terbuka.
baca juga Artikel Berita Hari Ini