Pesta Topeng Tanpa Hantu Balik Lorong Sunyi Malam Berdarah

Pesta Topeng Tanpa Hantu Balik Lorong Sunyi Malam Berdarah post thumbnail image

Undangan Misterius

Awalnya, undangan pesta topeng tanpa hantu itu tiba tanpa nama, tergeletak di ambang pintu rumah Laila. Kemudian, selembar kertas tipis berwarna krem terselip di dalam amplop hitam; hanya tertulis “Datanglah jika berani” dalam tinta merah pekat. Sementara itu, malam sudah merangkak gelap dan kabut tipis merayap di antara pepohonan, menambah perasaan tak nyaman yang membalut setiap inci udara.

Persiapan Topeng

Selanjutnya, para tamu perorangan—lima belas orang terpilih—menerima instruksi mengenakan topeng putih polos, dipercantik pita hitam di bagian belakang. Namun, entah mengapa, tak satu pun dari mereka melihat bayangan sendiri saat mencoba topeng di depan cermin. Padahal, cermin itu memantulkan bentuk tubuh tanpa topeng, seolah setiap topeng menutup wajah lain—yang sudah lama tidak hidup.

Jalan Menuju Lokasi

Kemudian, mereka diantarkan dengan kendaraan tua, melaju di jalan setapak berkerikil. Sementara jendela-kaca uap menutup hampir seluruh pandangan, hanya menyisakan siluet pepohonan yang bergoyang pelan. Namun, berkali-kali terdengar dentuman pelan—seperti seseorang mengetuk besi kubah rumah sakit jiwa—membuat jantung berdegup lebih cepat.

Gerbang Besi Berderit

Akhirnya, mereka tiba di gerbang besi tua yang berderit saat didorong. Di balik gerbang, bangunan tua menjulang, dindingnya retak-retak, catnya terkelupas, dan pintu kayu lapuk separuh terbuka. Di serambi, lilin-lilin hitam menari di atas kaki tindih berkarat, menciptakan bayangan yang menari-nari liar.

Penyambutan Sunyi

Saat memasuki aula utama, mereka tertegun. Tidak ada musik, tidak ada tawa, hanya bisu yang menyesakkan. Di tengah ruangan, meja panjang terhampar kain hitam, dipenuhi piring kosong dan cawan berisi cairan merah pekat—bukan anggur, melainkan darah kental yang berdenyut halus. Namun, tak ada tuan rumah yang menyambut. Hanya suara desis kabut menembus pintu kaca.

Aturan Tak Tertulis

Kemudian tiba-tiba lampu kristal disorot perlahan, menyoroti setiap wajah bertopeng. Sebuah suara berat bergema, “Tuan dan Nyonya, pesta topeng tanpa hantu ini menantang kalian menelusuri rahasia paling kelam. Jangan lepaskan topeng apapun yang terjadi.” Sementara itu, semua yang hadir saling melirik, menimbang-nimbang kesalahan yang mungkin mereka perbuat hingga terpilih ke dalam pesta neraka ini.

Permainan Pertama

Selanjutnya, mereka diperintahkan berjalan beriring di antrean sempit koridor. Namun, koridor itu tak pernah berakhir; setiap tikungan memunculkan ruangan baru berisi boneka-boneka rusak, patung-patung terapung, dan lukisan mata yang berkilat menatap. Namun, satu hal pasti: setiap langkah menggema oleh suara langkah kaki lain yang tak terlihat—seakan mengintai dari balik bayang.

Bisikan dari Dinding

Kemudian, dinding berlubang meneteskan cairan lengket—mirip darah. Di sela celah, terdengar bisikan memanggil nama-nama tamu, menyuruh mereka berhenti, berbalik, dan menghadap bayangan yang muncul di belakang. Namun, saat mereka menoleh, tak ada siapa pun. Sebaliknya, lorong makin gelap, seakan telah menelan cahaya.

Api Lilin yang Tiba-Tiba Padam

Ketika seorang tamu, Arya, hampir kehilangan akal, api lilin di balik rapuhan tiang tiba-tiba padam serempak. Keheningan absolut menyergap, kecuali detak jantung yang bergemuruh di telinga. Kemudian, sekelebat bulu halus menyentuh pundak mereka, membuat napas tertahan. “Ini baru permulaan,” gumam suara berat di balik kegelapan.

Ruang Cermin Pecah

Akhirnya mereka memasuki ruang penuh cermin retak. Bayangan topeng mereka terdistorsi, wajah-wajah kosong terbelah oleh guratan retakan. Namun, sebuah cermin utuh di sudut ruangan menampilkan sosok hantu berkepala topeng—meskipun pesta ini bernama tanpa hantu. Lalu, sosok itu menatap langsung ke depan, mulutnya tersenyum melebar, mengundang ketakutan tak terkira.

Kabut Menelan Cahaya

Selanjutnya, kabut putih pekat merembes masuk lewat pintu ruangan. Tamu-tamu panik, namun kaki mereka seperti tertahan magnet gaib, tak bisa lari. “Jangan lepaskan topeng,” gema suara misterius. Namun, tekanan di kepala terasa semakin berat, detak waktu berputar semakin cepat.

Tangisan di Sudut Gelap

Dalam sekejap, suara tangisan lirih terdengar di sudut lain ruangan. Satu per satu, tamu mendekat, dan mereka melihat mayat-mayat pupus berserakan di lantai—mereka sendiri, tetapi berlumuran darah dan topeng retak. Ketika seseorang meraih tangan boneka kecil yang tergeletak, suaranya berubah menceritakan kisah kelam korban sebelumnya, yang tak pernah bisa keluar dari pesta tanpa hantu ini.

Lelucon Kematian

Pada titik ini, tawa renyah tiba-tiba pecah, bergema di aula panjang. Namun, tawa itu bukan dari manusia; suaranya serak dan berlendir, seperti tulang bergesekan. Setiap kali tawa bergema, mayat-mayat di sudut tersentak hidup sejenak, menatap para tamu dengan mata kosong. Kemudian, mereka ambruk lagi, menanti giliran untuk mengulang siklus teror tanpa akhir.

Dapur Penuh Rahasia

Kemudian, para tamu diarahkan ke dapur raksasa, dimana wajan-wajan besar mendidih dengan cairan gelap. Panci-panci berisi bola mata manusia dan tulang kecil menggantung dari kait besi. Aroma amis menusuk, dan suara gemeretak tulang basah menambah kepanikan. “Santaplah jika ingin selamat,” suara serupa mengancam. Namun, siapa yang berani?

Pilihan Pahit

Memang, tamu dihadapkan pada pilihan: meneguk cairan gelap atau terus berjalan, yang pasti akan menghadapi kengerian lebih dalam. Tanpa ragu, sebagian menolak dan pindah ke lorong di ujung dapur. Namun, lorong itu terbelah—satu jalur menuju kegelapan abadi, satunya lagi menuju ruang terkunci. Mereka akhirnya memilih pintu terkunci, yang segera dibuka oleh tangan berlumur darah.

Ruang Akhir yang Membeku

Sementara itu, di ruang terakhir, kursi-kursi kayu tua berjajar mengelilingi sebuah mahkota topeng besar. Di atas mahkota, terpatri kristal berlumuran darah. “Tempatkan topengmu di sini,” perintah terakhir bergema. Namun, siapa pun yang mendekat, mahkota itu menggigit jari mereka, meneteskan cairan kental merah dan mencegah mereka mencuri topeng itu.

Tarian Teror

Akhirnya, tamu terpaksa berdiri melingkar, mengenakan ulang topeng masing-masing. Kemudian, musik koro mencekam diputar—suara organ tua bergelora, mendorong mereka menari tanpa kendali. Dalam tarian itu, kulit di punggung mereka tercabik-cabik, tapi mereka tak bisa berhenti. “Tarian paling abadi,” bisik suara di dalam benak.

Titik Patah

Di puncak tarian, sebuah dentuman hebat mengguncang lantai, memecah kaca jendela, dan menciptakan lubang gelap di langit-langit. Meteorologi kegelapan menelan sisa cahaya, menenggelamkan semua tamu ke dalam kegelapan penuh ledakan teriakan.

Kelegaan Semu

Namun, tiba-tiba lampu menyala kembali. Semua topeng terlepas sendiri dan terjatuh, menyapih mereka dari identitas. Para tamu menyadari diri terbaring di koridor semula, undangan di tangan basah keringat. Tapi, ketika mereka mencermati topeng yang tergeletak, tulisan “Pesta Topeng Tanpa Hantu” memudar, berganti nama mereka sendiri—menandai bahwa siapa pun yang membuka amplop ini, menjadi tamu selamanya.

Bayangan di Ambang Pintu

Akhirnya, mereka berhasil keluar gerbang. Namun, bayangan samar melayang mengikuti di antara pepohonan gelap. Malam itu, pesta benar-benar tak kosong hantu—justru mereka sendiri yang berubah menjadi hantu. Dan undangan selanjutnya, menunggu di ambang pintu siapa saja yang berani menantangnya.

Food and Traveling : Ngopi Sambil Jelajah di Kedai Unik Tersembunyi

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Post