Perpustakaan Lama dengan Buku yang Berbisik Menyeramkan

Perpustakaan Lama dengan Buku yang Berbisik Menyeramkan post thumbnail image

Kedatangan di Perpustakaan Tua

Pada suatu sore, langit mendung menggantung ketika aku pertama kali melangkah ke dalam Perpustakaan Hendrawan, sebuah bangunan tua berhias ornamen kayu yang pudar warnanya. Bahkan sebelum memasuki gedung, terdengar sayup bisikan—seakan pintu kayu menghela napas panjang. Dengan mantel tipis yang menutupi cemas, aku memasuki ruangan berdebu itu, hanya ditemani lampu gantung berkelip. Di tengah riuh batinku, satu nama selalu terngiang: buku yang berbisik.

Meskipun pintu depan terayun lembut, langkahku terasa berat, seakan lantai kayu itu tak ingin melepaskanku pergi. Tulisan lama terukir di pintu masuk: “Perpustakaan Hendrawan—Pintu Menuju Cerita Abadi.” Namun, sejak warisan perpustakaan itu dibuka kembali setelah puluhan tahun terbengkalai, banyak cerita baru bermunculan—selalu disulam oleh bisikan lembut dari rak paling sudut. Tanpa kusadari, detak jantungku mulai berpacu, menandakan bahwa malam ini akan berbeda dari kunjungan biasanya.


Suasana Sepi yang Menggelisahkan

Lebih lanjut, ketika aku menapaki lorong panjang rak buku, hawa dingin menerobos kulit. Lampu-lampu temaram menebar bayangan yang menari di dinding, menciptakan ilusi sosok melintasi sudut ruangan. Selain itu, rak kayu tua berderet rapi, memuat ribuan judul—mulai dari buku botani kuno hingga literatur teologis. Meski terlihat teratur, label di setiap rak kini tampak basah oleh embun misterius.

Sementara itu, kata buku yang berbisik terus berkumandang dalam kepala. Konon, buku itu terletak di rak paling ujung, berjudul “Nyanyian Bayangan: Kisah-Kisah Kelam,” dan dikatakan menampung jiwa-jiwa yang marah. Meskipun sebagian penikmat cerita horor mengklaim telah mendengar bisikan itu, tidak banyak yang berani menjelajahi rak tersebut sendirian. Oleh karena itu, malam ini aku memutuskan untuk membuktikan sendiri—baik atau buruk, aku akan menemukannya.


Pertemuan Pertama dengan Bisikan

Kemudian, terhanyut dalam gelap, aku mendengar bisikan begitu jelas di telinga kanan. Seolah ada bibir yang tertekan lembut, membisikkan satu frasa: “Bacakan aku.” Aku berpaling cepat, menyorot senter ke arah rak terdekat, tetapi hanya tampak buku-buku berdebu. Namun, sekali lagi suara itu menghitamkan keheningan: “Baca… aku… sekarang…”

Meski merinding, aku melangkah lebih dekat, mengatur nafas agar tidak terburu. Ketika langkah kakiku menyentuh lantai, lantai itu bergoyang hampir tak terasa, seolah gelombang halus mengalir di bawah kayu. Kemudian, sorot senter menyambar sebuah rak di pojok ruangan—di sanalah tersemat siluet sampul gelap dengan huruf keemasan: “Nyanyian Bayangan: Kisah-Kisah Kelam.” Tanpa pikir panjang, tanganku meraih buku tersebut, dan saat kucabut dari rak, suara dentuman jarum jam menandai pergantian waktu—jam di dinding melesat menunjukkan pukul dua belas malam.


Halaman Pertama yang Mengikis Nyali

Lebih jauh, aku membuka sampul kulit retak itu perlahan. Kulihat catatan tangan berhuruf miring di halaman pertama: “Setiap kali kau membaca, biarkan jiwamu bersatu…” Namun, sebelum kupelajari lebih lanjut, lampu lampu di sekitarku berkedip bergantian. Suasana menjadi suram, sementara buku di tanganku semakin terasa berat, seolah menyedot energi dari tubuhku. Kata buku yang berbisik kini terasa merasuk dalam batin—aku merasa ada wajah samar menatap balik dari balik lembaran.

Berulang kali, aku mencoba menutup buku, tetapi tanganku seakan tertahan. Halaman kedua bergeser dengan sendirinya, memperlihatkan ilustrasi sosok hitam tanpa wajah yang merangkak dari sudut halaman. Denting maneja jam berdentum lebih keras, dan seketika cahaya senter padam. Sekelibat kegelapan mutlak menguasai, hanya menyisakan suara jantungku yang bergemuruh menahan teror. Kulihat punggung sosok hitam itu mulai menampakkan siluet bergerak menuruni tangga menuju lantai dasar. Tidak mau melewatkan apapun, aku menyalakan senter kembali—namun sosok itu sudah lenyap.


Jejak Hitam yang Terus Mengikuti

Kemudian, aku mendengar dentingan lembut di balik dua dinding. Kubalikkan badan perlahan, menelusuri bayangan yang bergeser di antara rak-rak. Suara bisikan buku yang berbisik kini berontak semakin kencang; ia mengisi setiap celah sunyi dengan harapan keliru yang menyesatkan. Pada saat itulah, aku sadar bahwa jendela di ujung ruangan terbuka meski tidak ada hembusan angin. Tirai kusut berkibar, memantulkan lampu jalan yang menyorot ke dinding retak di luar.

Sementara aku hendak menutup jendela, lantai di tangga atas retak dan mengeluarkan suara gemeretak—membuat darahku membeku. Langkah kakiku kembali terhenti. Dari sudut pandang spion dada senter, kulihat bayangan hitam yang dulu lenyap, kini menyusup di ruang baca paling ujung. Tidak ada detail wajah, hanya seONGGOK kegelapan yang menegaskan ketidakhadirannya. Dengan napas tercekat, aku berpindah ke rak buku terdekat, mencoba menyembunyikan diri di balik susunan tebal jilid ensiklopedia kuno.


Pencarian Buku Terlarang

Padahal, rencanaku hanya ingin membuka satu bab perlahan, tetapi kini aku dikejar rasa takut yang tak terperi. Meski begitu, tekadku untuk mengungkap misteri buku yang berbisik tidak surut. Oleh karena itu, aku melanjutkan penelusuran ke rak buku lain—semakin jauh, udara di dalam semakin pekat, dan suhu menurun drastis. Lampu senter menyorot judul-judul yang semakin membingungkan, hingga tiba di rak tua yang tulang belakang bukunya bahkan sudah rapuh.

Dalam kegelapan, aku melihat satu judul samar terpatri: “Kumpulan Nyanyian Arwah yang Terkutuk.” Saat melingkar, rak itu tiba-tiba gemeretak, membuka pintu rahasia kecil yang menjorok ke lorong gelap di balik rak. Tanpa berpikir, aku melangkah masuk, dan pintu itu tertutup begitu cepat di belakangku. Ruang rahasia itu seolah merengkuhku dalam pelukan tanah—lampu di atas kepalaku redup berganti menjadi kilatan redup merah darah. Di lantai berhiaskan debu, tampak jejak-jejak bercak hitam, seakan noda darah yang membeku.


Rahasia Rak Gelap dan Kilas Mistik

Lebih lanjut, di tengah lorong gelap itu, berdiri patung pahatan manusia setengah jadi—wajahnya terbelah oleh ekspresi nestapa. Di sampingnya, terdapat meja kayu kecil yang di atasnya tertumpuk beberapa catatan lusuh. Salah satu catatan tersebut mencatat ritual kuno untuk “memanggil suara arwah” yang terperangkap dalam buku tertentu—yakni buku yang berbisik. Konon, arwah yang dipanggil akan meminta setiap pembacanya melantunkan “Nyanyian Arwah” sebagai tebusan. Tanpa melafalkan bait apa pun, pembaca akan dibuang ke dimensi kegelapan, di mana jiwa-jiwa bergema dengan desah kelam tanpa akhir.

Langit-langit ruang itu meneteskan air yang berbau tajam, seolah rembesan darah dari langit. Pada saat itu, beberapa lembar kertas berserakan di lantai, menampilkan sketsa panggul rahim yang terbelah—menegaskan bahwa ritual tersebut anak cucu nenek moyang telah menelan nyawa banyak korban. Sementara aku berusaha menahan mual, suara “buku yang berbisik” berkumandang lebih kentara: “Bacalah. Buka pil pahit ini.” Alisku mengerut, berusaha meredam pusing yang menghampiri.


Konfrontasi dengan Arwah yang Terperangkap

Selanjutnya, aku menuruni tangga gelap menuju ruang baca tersisa di lantai dasar. Setiap langkah makin terasa tertahan, sudut pandang gelap menutupi kepercayaan diri. Namun, langkah kakiku tak bisa diredam karena aku terjerat rasa penasaran sekaligus teror. Ketika tiba di ruang terbuka, kembali kutatap rak buku yang dulu menjadi asal-usul teror. Di sanalah buku yang berbisik tergeletak, tubuhnya terbuka setengah, menunggu seseorang yang “layak.”

Tanpa aba-aba, bayangan hitam muncul di antara rak, berukuran lebih tinggi daripada manusia biasa. Ia menatapku dengan sorot kosong; hanya bibirnya yang bergetar pelan, mengisyaratkan himpunan kata yang tak terucap. Kali ini, aku tidak gentar meski hati masih berpacu. “Aku datang untuk mengakhiri ini,” gumamku, suaraku bergema di ruang sunyi. Namun, bayangan itu tidak bergerak. Seketika, cahaya lampu lambat meredup hingga hampir padam total, dan kau melihat jeda hitam pekat mengisi ruang. Dalam kilatan senter singkat, kulihat sosok berhenti di depan buku—tangan rampingnya meraih satu halaman, namun dengan cepat ia menariknya.


Ritual Penebusan Bisu

Kemudian, tanpa sempat memikirkan konsekuensi, aku meletakkan tangan di atas sampul buku yang tertutup rapat. Dalam sekejap, tangan itu menjadi dingin seperti es, sementara bayangan hitam membeku di depan mataku. Suara “buku yang berbisik” kini tak lagi samar, melainkan berirama seperti lagu keroncong yang dinodai tangisan. Meski takut, aku merasakan suatu panggilan untuk melanjutkan. Dengan suara bergumam, aku membaca satu bait dari halaman yang terbuka:
“Suaraku terbelah dalam malam,
Menangis lirih di antara lembar kelam,
Ringankan bebanku dengan nyanyian abadi,
Tebus aku biar arwah kembali berseri.”

Bukannya mereda, ruang itu bergetar hebat. Rak-rak di sekeliling gemeretak, buku-buku yang tadinya rapi kini beterbangan, menghujani ku. Bayangan hitam meringkuk di sudut, dan kilatan lampu menyala total, memperlihatkan wajah mirip peria yang sedari awal memintaku menuntaskan ritual. Ia menatapku dengan mata berwarna abu-abu pudar, nampak menahan amarah sekaligus harap.


Pengorbanan Jiwa dan Kebebasan Arwah

Padahal, aku sudah siap menutup buku dan lari, sebuah bisikan menahan langkahku: “Tolong akhiri penderitaanku.” Gerakanku membeku sejenak, berpadu rasa iba dengan ketakutan. Meski enggan, aku tahu bahwa ritual ini memerlukan keberanian paling kubutuhkan—mengorbankan satu memori berharga agar arwah itu benar-benar merdeka. Dalam hatiku, kubisik nama ayah yang baru meninggal setahun lalu, sebagai kenangan terindah sekaligus penebus budi. Dengan tanaman tulus, aku membaca bait terakhir:
“Dalam kenangan kau bertahan,
Biarkan aku membebaskan raga kelam,
Serahkan satu kisah yang kudamba,
Agar di tempat abadi aku tersenyum dalam damai.”

Saat melafalkan kata-kata itu, tubuhku bergetar hebat, seakan ada dua dunia yang bertabrakan di dalam dada. Lampu lampu redup berkedip cepat, sementara bayangan hitam bergerak perlahan menjauh dari buku. Detik demi detik, cengkeraman dingin di tanganku memudar, dan sesaat kemudian, buku itu terlepas sendiri, terjatuh ke lantai dengan suara gemuruh seperti petir kecil.


Keheningan yang Memulihkan

Kemudian, suasana berbalik sunyi. Ruang baca yang semula ruwet kini kembali tertata—rak-rak menegak sempurna seakan tidak pernah tergoncang. Buku-buku beterbangan kini terbaring rapih, dan lampu berkedip menjadi stabil menerangi ruang. Bayangan hitam yang menakutkan lenyap begitu saja, seolah menembus dimensi lain. Aku terkulai lelah di lantai, menahan napas panjang sambil merasakan secercah damai yang belum pernah kurasakan sebelumnya.

Dengan lembut, kutengok buku terkutuk yang memicu semua teror. Sampulnya kini hancur, menjelma serpihan kayu dan kertas tua. Tidak ada lagi bisikan atau gerakan misterius. Anehnya, sebuah halaman jatuh dengan kalimat tersirat: “Terima kasih, aku telah bebas.” Hatiku mengeras—aku tahu arwah itu akhirnya melayang tanpa beban; ia tidak lagi mengganggu jiwa-jiwa yang membaca.


Epilog: Jejak yang Tak Terlupakan

Setelah semalam suntuk dihantui, pagi datang menyinari perpustakaan dengan sinar lembut. Debu tertiup angin dari jendela terbuka, dan rak-rak kayu menampakkan warna asli yang lebih hangat. Para petugas perpustakaan yang sempat mengurungkan niat membuka pintu kini memasuki ruang dengan rasa heran—tidak ada jejak kekacauan yang melegenda. Bahkan jejak kaki di karpet tua telah sirna begitu saja.

Kini, buku yang berbisik menjadi kisah peringatan. Meskipun sebagian orang skeptis menganggapnya mitos, para pustakawan tua tetap menegaskan bahwa siapa saja yang berani membaca satu bait dari halaman terlarang akan merasakan getar jiwa. Mereka memindahkan serpihan buku kutukan itu ke kotak terkunci, dengan catatan “Jangan dibuka.” Namun, di sudut hatiku, aku tahu bahwa suara-suara lembut itu—bisikan itu—masih tersisa di udara, menunggu seseorang yang berani menguak kembali tabir kegelapan.

Meskipun aku meninggalkan Perpustakaan Hendrawan dengan langkah gemetar, ketajaman ingatan tentang malam itu tetap terpatri. Kini, setiap kali malam tiba dan aku melewati lorong gelap, aku selalu berhenti sejenak di sudut pikiran—mendengarkan bisikan samar tentang buku yang menunggu untuk dibaca, meski kutahu aku harus pantang kembali. Karena, sekali lagi, “Perpustakaan Lama dengan Buku yang Berbisik” tidak hanya menyimpan cerita, tetapi juga rahasia jiwa-jiwa yang haus dibebaskan.

Gaya Hidup : Rahasia Kesehatan Atlet UFC Tetap Prima di Ring

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Post