Awal Perjalanan yang Tenang
Pada malam pekat itu, aku duduk di kursi pengemudi sebuah taksi tua yang sedang menunggu penumpang berikutnya. Saat remang lampu jalan menari di kaca depan, tiba-tiba bel pintu berbunyi halus. Dengan santai, aku menoleh dan menyapa, “Mau ke mana, Mas?” Suara itu nyaris tenggelam oleh denting hujan pertama, namun jelas membawa nuansa dingin. Singkatnya, penumpang yang naik tanpa berkata banyak hanya merunduk dan mengucapkan satu kata, “Arahkan ke Jalan Merdeka.” Pada saat itu, aku belum menyadari kengerian yang menunggu—karena sesungguhnya, kehadiran penumpang misterius itu akan mengubah malamku menjadi neraka kelam.
Transisi pertama muncul ketika trotoar di tepi jalan tampak sepi, seakan semua orang telah berlindung dari hujan. Lampu kuning di lampu lalu lintas berkedip perlahan, menciptakan ritme yang terasa seperti detak jantung. Aku memulai perjalanan, namun tidak ada lampu kabin yang menyala—hanya remang rembulan menembus kabut. Seketika, bayangan di spion samping menoleh, membuatku terkejut, lalu aku kembali fokus ke jalan. Namun, tanpa kusadari, keputusan itu menandai awal dari kengerian yang tak terperi.
Bayangan di Kursi Belakang
Pada detik pertama setelah pintu tertutup rapat, suasana berubah drastis. Cahaya lampu kabin padam total, menyisakan kegelapan pekat di dalam mobil. Sementara itu, penumpang misterius itu hanya duduk membatu, mengenakan jaket gelap yang menutupi wajahnya hingga dagu. Suaranya hampir tak terdengar ketika berkata, “Jangan nyalakan lampu kabin.” Jantungku berdegup cepat, tetapi aku mematikan saklar secepat mungkin.
Ketika aku menginjak pedal gas perlahan, hujan mulai menetes lebih deras, menyisakan kilatan di aspal basah. Lagu lama di radio tiba-tiba mati, tergantikan oleh keheningan yang begitu menyesakkan. Transisi dari keramaian jalan ramai menuju sunyi ini membuat setiap tetesan hujan terdengar seperti dentuman drumband di telingaku. Dalam hati, aku bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi, namun pendidikan sopan santun membatasi langkahku. Dengan suara bergetar, aku hanya menjawab, “Baik, Mas.”
Pada saat itu juga, spion tengah menampilkan pantulan kabur: wajah penumpang misterius samar tertangkap cahaya lampu jalan, seakan menatap lurus ke arahku. Daun matahari pun meremas pandangan, membuat bayangan wajahnya tampak tidak utuh—hanya garis rahang tegas dan bibir yang sedikit menganga. Aku kembali fokus pada setir, menelan ludah keras. Semakin lama, jok kulit yang mendukung punggungku terasa semakin dingin, seolah suhu dingin di dalam mobil diatur oleh kehadirannya sendiri.
Jalanan Sepi Menuju Neraka
Selanjutnya, rute menuju Jalan Merdeka teramat sepi. Beberapa gedung tua di pinggir jalan hanya memancarkan satu atau dua lampu redup, sementara pejalan kaki terakhir tampak terburu-buru meneduh. Ketika aku melewati tikungan tajam, tiba-tiba lampu depan taksi meredup—seakan ada bayangan besar yang lewat di depan. Aku menekan tuas lampu hingga lantai taksi gemeretak, namun tidak ada yang berubah. Jalan semi-rusak makin menambah kesan kesuraman, ditambah derit roda yang bergesekan di kerikil. Pada saat itulah aku menyadari bahwa penumpang misterius di kursi belakang tak pernah mengucapkan kata lain; dia hanya duduk diam.
Lebih jauh lagi, setiap kali mobil berguncang melewati lubang air, centang suring di jok belakang membuat bulu kuduk berdiri. Bayangan di spion kembali menoleh, dan mata gelapnya menyala aneh—bukan pantulan lampu jalan, melainkan keinginan yang mengerikan. Rasa dingin itu menjalar hingga ke tulang punggungku. Aku menelan ludah, menekan pedal gas sedikit lebih cepat—namun jalur sempit hanya mengizinkan kecepatan lambat. Hanya dalam sekejap, aku merasa mobil terjebak dalam pusaran waktu, seakan semakin jauh dari peradaban.
Bisikan dari Lorong Gelap
Kemudian, saat tiba di perempatan remang, sorot lampu jalan memperlihatkan papan nama “Jalan Merdeka” yang terkelupas catnya. Aku hendak membalas, “Sudah dekat, Mas,” namun yang terdengar di kepala hanyalah gemuruh hujan. Lalu suara bisik lirih terdengar samar, “Berdirilah.” Aku memandang spion, dan melihat penumpang misterius berdiri perlahan dari kursi belakang. Jantungku langsung berdegup kencang—ini melanggar semua instingku sebagai pengemudi. Transisi dari keheningan menuju gerakan itu terasa seperti kilas balik cepat, menaikkan ketegangan luar biasa.
Dengan gagap, aku menoleh ke kursi belakang, dan yang kulihat membuat lututku bergetar: sosok itu kini berdiri menutupi jendela belakang. Jaket gelapnya mengembang, seolah angin malam menembus pelatana. Pada saat itu, bayangan di luar menerapkan pantulan lampu, memantulkan siluetnya yang tinggi dengan siku meruncing. Aku terdiam, tidak mampu bergerak, sementara sosok itu menatapku melalui spion—mata gelapnya menghalangi sisa cahaya yang masuk. Transisi itu membuat suasana mencekam, seakan batas antara ruang kabin dengan lorong gelap di belakangnya hilang total.
Detik-detik Mendebarkan
Padahal, pada umumnya penumpang tak pernah meminta aku untuk berhenti di tengah jalan. Namun, kini, aku terperangah saat penumpang misterius mengulurkan tangan, menunjuk ke rute yang lebih sempit—lorong kecil yang hanya cukup dilalui satu mobil. Karena detak jantung yang memaksa, aku mengerem, lalu berbelok pelan ke jalur itu. Ambang pintu lorong gelap hanya diterangi oleh lampu jalan berjarak jauh, membuat bayangan pepohonan menjadi siluet raksasa. Setiap kali roda menekan genangan air, cipratan air ikut menari di dinding gedung pudar. Suasana semakin mencekam, terlebih ketika aku mendengar suara napas terengah di kursi belakang.
Beberapa meter kemudian, aku mencapai sebuah persimpangan yang sama sepi. Transisi dari jalan utama ke lorong kecil kian terasa bagai masuk ke ranah lain—ranah di mana waktu berhenti. Aku menoleh sesaat, dan melihat penumpang misterius duduk di kursi belakang, wajahnya kini lebih jelas tertangkap lampu rem mobil lain. Kulitnya pucat kebiruan, rambutnya acak gaya, seakan sudah berhari-hari tidak dicuci. Namun yang paling menakutkan adalah ekspresi hampa tanpa emosi, seolah sosok itu lebih mirip mayat hidup daripada manusia biasa. Aku menahan napas, tapi desahan halusnya terdengar bergema di seluruh kabin.
Pintu yang Terkunci
Selanjutnya, aku panik dan berusaha membuka pintu belakang—namun semua kunci mendadak terkunci sendiri. Ragam tombol di panel pintu menyala merah, menolak disentuh. Sementara itu, suara penumpang misterius kini terdengar bergumam: “Buka jendela tengah.” Ketika aku mencoba menurunkan jendela tengah, tombol itu tidak merespons. Gemetar, aku kembali melihat ke spion tengah—dan melihat tangannya meraih gagang pintu, siap membuka sendiri. Namun, tiba-tiba suara mesin menjadi serak, lalu mati total. Lampu rempah di dashboard berkedip merah, mengubah kabin menjadi cakrawala gelap yang hanya diterangi lampu merah semu.
Transisi antara kontrol penuh dan kehilangan kendali ini membuatku hampir pingsan. Jantung berdetak lebih kencang, melebihi suara hujan di atap mobil. Panik melanda saat aku menyadari bahwa aku terjebak dalam mobil, sementara penumpang misterius itu perlahan menggapai ke arahku. Kulitnya yang dingin seolah menembus kabin, membuat setiap pori-pori di tubuhku menegang. Kulitnya memucat di bawah sorot lampu, sehingga kedua bola matanya—atau apa pun itu—tampak seperti lubang hitam yang menelan cahaya.
Pertemuan yang Mencekam
Padahal, semua naluri survival menjerit agar aku segera keluar. Namun pintu terkunci rapat, jendela tak bisa dibuka, dan lampu kabin gelap gulita. Usaha untuk menarik tuas rem tangan hanya membuat mobil tertahan di tangan tuhan. Pada saat itu, penumpang misterius mengulurkan jari telunjuk ke arahku, lalu membentuk gerakan seolah memindai wajah. Aku menahan napas, dan tiba-tiba bayangan sempit hitam menjalar di bawah jok—seakan ada larva hitam yang merayap dari lantai menuju kursi belakang. Ketegangan memuncak ketika sosok itu merunduk, mendekati wajahku.
Ia berbisik dengan suara parau, “Kau akan menjemput aku.” Jantungku seakan terhenti, sedangkan daerah kerongkongan terasa tertutup gumpalan es. Saat kata-kata itu terucap, aku merasakan hawa dingin menusuk ke dalam darah. Pada detik itu juga, kilatan senter dari luar menembus kaca depan—aku tidak tahu siapa yang menyalakannya. Transisi antara kegelapan total dan kilatan cahaya sekejap membuat bayangan penumpang misterius tampak terdistorsi, seakan sosoknya membelah menjadi dua.
Kericuhan di Tengah Lorong Sepi
Selanjutnya, pintu belakang mendadak terbuka dengan sendirinya, disertai gemuruh udara malam yang menembus masuk. Hujan kian deras menerpa kaca samping, membentuk pola aliran yang menyerupai wajah-wajah samar. Tanpa berpikir panjang, aku menendang pintu, dan pintu terbuka sepenuhnya, menciptakan celah antara kabin dan dunia luar. Namun, di lorong yang gelap itu, aku tak melihat apa pun—hanya genangan air setinggi mata kaki dan dinding bata yang lembap.
Ketika aku menoleh lagi, penumpang misterius tampak berdiri setengah tubuh di luar mobil—wajahnya terbelah seolah dua sosok melebur menjadi satu, dengan mata merah menyala, menatapku langsung. Ia melangkah mundur perlahan, seakan mengundang, lalu sirna ke dalam kegelapan lorong. Transisi antara wujudnya yang utuh dengan pergeseran kabur membuatku hampir tidak percaya. Sementara itu, pintu taksi menutup sendiri tanpa suara. Hanya tersisa aku yang membeku di tengah hujan, merasakan tubuh gemetar hebat.
Pelarian Menuju Pendaratan
Kemudian, aku tercekat saat hendak menyalakan mesin—mobil masih tidak mau menyala. Dengan panik, aku keluar, menutup pintu taksi, lalu menoleh ke lorong. Tidak ada jejak kaki besar, tidak ada suara langkah, hanya derasnya hujan dan bayangan pepohonan yang bergoyang. Transisi antara kengerian dan keheningan malam terasa begitu cepat. Dalam hati, aku berteriak, “Pergilah! Pergi!” Namun, yang kudapat hanyalah kosong: lampu jalan tak jauh terbakar kuning, seolah menertawakanku.
Dengan tangan gemetar, aku menurunkan kap mesin, mencoba memaksa mobil menyala kembali. Setiap detak darah seakan menunggu durasi yang lebih singkat daripada hitungan detik. Akhirnya, mobil mengeluarkan suara dengungan ringan, lalu mesin berdengung lembut. Tanpa memandang ke belakang, aku langsung melaju keluar lorong, kembali ke jalan utama yang lebih terang. Namun, dalam ingatan, detik-detik di dalam lorong itu tetap terpatri—kenangan akan tatapan hampa penumpang misterius yang berhasil lolos entah ke mana.
Puncak Ketegangan di Kamar Gelap
Padahal, seharusnya aku langsung pulang, tetapi rasa penasaran memaksa mengembus napas. Setelah menahan panik, aku berhenti di tepi trotoar, lalu mengunci semua pintu taksi dan turun. Hujan masih menyiram deras, namun aku memutuskan berjalan beberapa langkah untuk mencari tahu. Pertama, kuarahkan senter dari ponsel ke lorong, tetapi lorong itu tampak sepi—tidak ada lampu di sepanjang dua ratus meter. Hanya genangan air yang berkilauan dipantulkan lampu jalan.
Namun, ketika aku menoleh ke balik mobil, kulihat sesuatu yang membuat darah membeku: di kaca belakang, terlihat bekas tangan transparan yang menempel, seakan baru saja meninggalkan jejaknya. Kesejukan menyeruak tiba-tiba, membuat bulu kuduk meremang. Transisi dari meragukan keberadaan penumpang misterius menjadi nyata disajikan oleh jejak telapak halus itu. Aku tak mampu berkata apa-apa, hanya menatap jejak itu dalam keheningan sebelum suara motor meluncur memecah malam.
Kengerian yang Tak Berujung
Lebih jauh lagi, aku segera kembali ke mobil, menutup pintu, dan mengunci semua jendela. Saat aku menoleh, jejak tangan itu lenyap begitu saja, seolah punya nyawa sendiri. Hanya genangan air yang memantulkan bayangan malam. Setelah menyalakan mesin, aku melaju dengan cepat menuju rumah. Sepanjang perjalanan, setiap lampu lalu lintas yang kutembus membuat bayangan sosok itu seolah tampil sesaat di kaca spion. Bahkan saat aku menutup mata sementara, pandangan tentang mata merahnya terus meneror.
Sesampainya di rumah, aku langsung mengunci pintu depan dan menyalakan lampu teras terang. Namun, meski sudah berada di tempat yang aman, aku tidak bisa menahan kupu perasaan cemas. Transisi dari kengerian di dalam taksi menuju kehangatan rumah tidak menghapus bekas trauma sama sekali. Bahkan, ketika aku meneguk air putih, rasanya ada rasa pahit yang menempel di lidah. Tak peduli berapa kali aku berusaha mengingat kembali, sosok penumpang misterius terus menghantui setiap sudut pikiran.
Epilog: Bayangan yang Tetap Mengintai
Pada akhirnya, pagi menjelang dengan gemuruh hujan terakhir mereda. Aku mencoba menenangkan diri di kursi ruang tamu, namun bayangan kursi belakang taksi itu masih membayang—betapa dalam lekuk wajahnya, bagaimana lentik jaket gelapnya, dan terutama, tatapan matanya yang menyayat dada. Bahkan, ketika kulihat ke luar jendela, tiang listrik di pinggir jalan seakan menampilkan siluet samar. Dalam hati, aku menyadari bahwa kisah malam itu tak akan pernah benar-benar usai.
Sekarang, setiap kali aku mengemudi sendirian, aku selalu memeriksa kursi belakang berkali-kali—seolah takut penumpang misterius akan muncul kembali, menduduki tempatnya, dan melanjutkan perjalanan yang terhenti di lorong sepi. Cerita ini menjadi peringatan bahwa kadang hal yang paling menakutkan bukanlah kegelapan di luar sana, melainkan bayangan hidup yang bergerak di kursi belakang kita—diam, menghitung detik, dan menunggu kesempatan untuk kembali menebar teror.
Alam & Lingkungan : Ironi Mikroplastik di Sumber Air yang berasal dari Alam