Bayangan di Balik Jendela
Malam itu, langit Semarang diguyur hujan rintik-rintik. Angin membawa aroma tanah basah dan nostalgia masa lalu. Dini, mahasiswi arkeologi Universitas Diponegoro, sedang menulis penelitian tentang bangunan kolonial Belanda. Salah satu lokasinya adalah Rumah Lawang Sewu, gedung tua yang terkenal angker.
Saat berjalan melewati halaman depan, matanya tertuju pada jendela besar di lantai dua. Di balik kaca kusam itu, tampak sosok pucat berdiri diam. Sekilas tampak seperti manusia, tapi bentuk wajahnya terlalu samar. Ia sempat melambaikan tangan, namun sosok itu lenyap begitu saja. Dini terpaku. Hatinya berdegup keras. Itulah awal dari penampakan aneh yang mengubah hidupnya.
Kembali ke Lawang Sewu
Keesokan paginya, Dini datang lagi bersama dua temannya—Rio dan Lila. Mereka mendapat izin dari pihak pengelola untuk mendokumentasikan interior bangunan. Dari luar, Lawang Sewu tampak megah namun menyimpan aura gelap. Cat tembok yang mengelupas, pintu-pintu tinggi berderit, dan jendela besar yang memantulkan bayangan samar membuat mereka merasa diawasi.
“Katanya dulu di ruang bawah tanah ini banyak korban perang,” bisik Rio.
Dini mengangguk. “Iya, tempat interogasi tentara Belanda dulu.”
Begitu mereka melangkah ke lorong bawah tanah, hawa dingin langsung menyergap. Senter yang mereka bawa tiba-tiba meredup. Lila memegang lengan Dini erat-erat. “Kayak ada yang ngikutin,” bisiknya.
Dini mencoba tenang. “Fokus aja motret, nanti cepat selesai.”
Namun saat Rio mengarahkan kameranya, layar menampilkan sosok gelap berdiri di belakang mereka. Ketika menoleh, tak ada siapa pun di sana.
Suara dari Lorong Gelap
Mereka terus berjalan ke dalam. Suara tetesan air terdengar pelan dari langit-langit. Tapi kemudian, muncul suara langkah kaki menyeret di belakang mereka. “Pak penjaga?” teriak Dini, tapi tak ada jawaban.
Tiba-tiba sesuatu menggores dinding, membentuk tulisan samar berwarna merah kecoklatan:
“JANGAN MELIHAT JENDELA.”
Lila menjerit dan berlari ke tangga. Rio menyusul, tapi Dini masih terpaku memandangi tulisan itu. Angin dingin berembus, dan dari kegelapan terdengar bisikan lirih:
“Aku masih di sini…”
Foto yang Membawa Petaka
Setelah keluar dari Lawang Sewu, mereka memeriksa hasil foto. Dari belasan gambar, satu foto membuat darah mereka membeku. Di jendela lantai dua—jendela yang dilihat Dini malam sebelumnya—terlihat jelas sosok perempuan berambut panjang, mengenakan kebaya putih. Matanya kosong, dan di bibirnya terlukis senyum samar.
“Itu bukan pantulan,” kata Dini lirih.
Rio menelan ludah. “Kalau itu orang, kenapa gak kelihatan waktu kita di sana?”
Saat mereka memperbesar foto, sosok itu tampak semakin jelas. Di lehernya ada bekas luka panjang seperti sayatan.
Kisah Penjaga Tua
Malam berikutnya, Dini kembali sendirian. Di depan gedung, ia bertemu penjaga tua bernama Pak Surono.
“Kau lihat perempuan di jendela itu?” tanya Pak Surono tanpa basa-basi.
Dini mengangguk pelan.
“Itu arwah Ratna,” ujar Pak Surono lirih. “Dulu dia pegawai administrasi Belanda. Dituduh berkhianat dan disiksa di ruang bawah tanah. Tapi sebenarnya dia tidak bersalah.”
Dini menelan ludah. “Lalu kenapa dia menampakkan diri?”
“Dia tidak bisa pergi sebelum kebenaran terungkap. Dia menunggu seseorang yang mau mendengarnya.”
Panggilan dari Masa Lalu
Malam itu, Dini masuk ke dalam sendirian membawa kamera dan perekam suara. Suasana gedung sangat sunyi. Ketika ia mencapai lantai dua, udara berubah dingin seperti es. Kaca jendela tempat Ratna sering muncul tiba-tiba berembun, dan di atasnya muncul tulisan dari dalam:
“BANTU AKU.”
Dini menatap dengan gemetar. “Ratna… kau di sini?”
Suara tangis pelan terdengar dari arah belakang. Ia menoleh—tidak ada siapa pun. Tapi dalam pantulan kaca, tampak sosok perempuan berwajah pucat dengan kebaya putih berdiri tepat di belakangnya.
Dini berbalik cepat. Sosok itu menghilang, tapi aroma melati tiba-tiba memenuhi ruangan.
Rekaman Teror
Pagi harinya, Dini memutar hasil rekamannya. Di tengah keheningan terdengar suara lirih berbahasa Belanda, kemudian berubah menjadi tangisan dan kalimat pelan:
“Mereka bunuh aku di bawah jendela itu…”
Suara itu begitu jelas hingga membuat bulu kuduk Dini berdiri. Ia menelusuri arsip sejarah dan menemukan laporan tua tahun 1943:
“Seorang perempuan pribumi bernama Ratna, pegawai Lawang Sewu, dieksekusi tanpa pengadilan. Mayatnya tidak ditemukan.”
Dini sadar, arwah itu meminta agar namanya dibersihkan dari tuduhan.
Kutukan Jendela
Namun sejak itu, Dini dihantui setiap malam. Ia selalu melihat bayangan Ratna di jendela kamarnya sendiri. Kadang hanya pantulan samar, kadang jelas menatapnya dari luar rumah.
Rio dan Lila datang menjenguk, tapi mereka pun merasakan keanehan—suara langkah di lorong, bayangan perempuan di cermin.
Sampai suatu malam, Rio berteriak dari kamar kosnya. Saat Lila dan Dini datang, mereka menemukan Rio pingsan di depan laptopnya. Di layar, foto jendela Lawang Sewu muncul sendiri—dan kini sosok Ratna menatap keluar, bukan ke arah kamera.
Akhir yang Membeku
Dini memutuskan kembali ke Lawang Sewu terakhir kali untuk mengakhiri semuanya. Ia berdiri di depan jendela yang sama, menyalakan lilin, dan berdoa. “Aku tahu kau ingin didengar,” katanya lirih. “Kebenaranmu akan kucatat.”
Cahaya lilin bergoyang. Sosok Ratna muncul perlahan di balik kaca, tersenyum lembut. “Terima kasih…” bisiknya. Angin dingin berhembus, dan bayangan itu memudar perlahan.
Sejak malam itu, penampakan aneh di jendela Lawang Sewu tidak pernah muncul lagi. Namun setiap kali hujan turun di malam hari, beberapa warga mengaku masih melihat siluet perempuan berkebaya putih menatap dari lantai dua—seolah memastikan seseorang masih mengingat kisahnya.
Teknologi & Digital : Pemerintah Kembangkan Smart City di 100 Kota Baru