Patung yang Menangis Darah Lukisan Kutukan Malam Abadi Kelam

Patung yang Menangis Darah Lukisan Kutukan Malam Abadi Kelam post thumbnail image

Pembukaan Kelam

patung yang menangis darah berdiri sunyi di sudut lorong panti tua, menatap tiap jiwa yang lewat dengan mata kosongnya. Bahkan pada malam pertama kedatangan Tio, ia merasakan hawa dingin merambat, lalu meremang di kulit. Selanjutnya, tatkala angin lembab masuk melalui jendela retak, suara tetesan redam menambah kengerian. Setelah itu, ia membaca plakat kecil di dasar batu: tidak ada nama, hanya tanggal usang—Juni 1893. Oleh karena itu, rasa penasaran semakin menjadi, meski hati berdebar tak karuan. Sementara itu, lampu koridor berkelip, menciptakan bayangan menari di dinding. Walaupun ia tahu ini berbahaya, Tio terus melangkah, terdorong oleh dorongan gaib yang memanggil namanya.

Pertemuan Pertama

Kemudian, ketika Tio mengangkat senter, pandangannya tertuju pada rona merah yang menetes dari mata patung. Bahkan sebelum airmata itu jatuh ke lantai, aroma besi segar menusuk hidung. Selanjutnya, senter hampir terlepas dari genggaman, namun ia menahan diri dengan susah payah. Sementara itu, setiap tetes darah menciptakan riak kecil di cekungan batu, seakan airmata itu hidup. Setelah itu, terdengar desah lirih—seperti rintihan penantian panjang. Oleh karena itu, Tio menelan ludah, lalu melangkah lebih dekat, meski kakinya gemetar. Lebih jauh, suara langkahnya bergema di lorong kosong, menambah kesunyian yang menekan dada.

Bisikan dari Batu

Selanjutnya, tatkala Tio menempelkan telinga pada permukaan dingin patung, ia mendengar bisikan samar: “Tolong… bawa kembali.” Bahkan suara itu memecah keheningan dengan gema melankolis. Namun kemudian, ia mundur beberapa langkah, terkejut atas panggilan yang menembus batas dunia. Setelah itu, lampu senter berkedip lagi, memaksa ia berusaha menstabilkannya. Sementara itu, bayangan bergerak halus di belakang patung, seolah ada sosok terselubung yang mengintip. Oleh karena itu, Tio sadar bahwa patung ini lebih dari sekadar batu; ia adalah saksi dan korban sekaligus.

Malam Tanpa Bintang

Kemudian, malam itu berubah menjadi neraka senyap. Bahkan langit di atas atap bocor meneteskan air hujan, menciptakan simfoni tetesan yang menggantikan detak jantungnya. Selanjutnya, lampu-lampu di ujung koridor padam satu per satu, meninggalkan Tio dalam kegelapan mutlak. Setelah itu, tatkala ia berbalik, lorong memanjang tanpa ujung, penuh pintu berkunci dan bisikan lirih yang memanggil. Oleh karena itu, ia mencoba mempercepat langkah, meski kakinya seakan tertahan tanah. Walaupun napasnya tersengal, ia memaksa diri bertahan—karena dua pasang mata merah di belakang kepala tak berhenti menatap.

Jejak Darah

Setelah beberapa saat, Tio melihat jejak tetesan darah kecil mengikuti jejak kakinya, menuntunnya keluar dari koridor utama menuju ruang bawah tanah. Bahkan aroma besi semakin pekat, membuatnya pusing. Kemudian, di dinding, ia menemukan lukisan pudar—patung yang menangis darah tergambar bersama insan teraniaya, dicabik-cabik oleh tangan tak kasat mata. Sementara itu, cahaya remang-remang mengungkap retakan di lantai, di mana darah mengalir pelan seperti sungai merah. Oleh karena itu, ia menunduk dan menatap dengan ketakutan; namun rasa penasaran mendorongnya terus menyusuri jejak itu.

Lemari Cermin Tua

Kemudian, di sudut bawah tanah, ia menemukan lemari cermin kayu tua. Bahkan meski cermin retak, bayangan dirinya menatap balik dengan mata merah mengalir darah—seperti cermin itu memantulkan kutukan. Selanjutnya, Tio menggenggam senter sambil mendekat perlahan. Setelah itu, bisikan menggema: “Bebaskan aku…” lalu berganti tawa nyaring yang menusuk kesadaran. Sementara itu, ia merasakan tangan dingin menyentuh pundaknya, membuat bulu kuduknya berdiri. Walaupun ia ingin berteriak, suara tercekat di tenggorokan.

Naluri Tandus

Oleh karena itu, Tio berlari keluar dari ruangan, meski koridor berubah seperti labirin tanpa arah. Bahkan pintu-pintu kayu yang ia lintasi tiba-tiba menghilang, berganti dinding bata yang terkunci rapat. Selanjutnya, tiap sudut dipenuhi patung baru—semuanya meneteskan darah. Setelah itu, napasnya memuncak, jantung seperti tercekik di kerongkongan. Sementara itu, suara langkah kaki lain mengikuti dari jauh, menandakan ia tidak sendiri. Oleh karena itu, ia memutuskan menenangkan diri sejenak, memejamkan mata, lalu mengatur napas—namun airmata darah patung terukir dalam pikiran.

Pertarungan di Balik Batu

Lebih jauh, Tio kembali ke ruang awal, berdiri di hadapan patung utama. Bahkan kini, sosok itu seakan hidup, menunduk seolah memohon. Selanjutnya, bisikan berubah menjadi jeritan kasar: “Kembalikan hatimu!” Setelah itu, Tio merasakan benda dingin terbenam di dadanya—seperti jantungnya tertusuk batu. Sementara itu, bayangan merayap di permukaan batu, membentuk tangan menyeretnya masuk. Walaupun amat ketakutan, ia mengulurkan tangan dan meraih plakat di dasar patung. Oleh karena itu, ia memutar plakat itu 180 derajat—menyibakkan rahasia yang tersembunyi.

Kilatan Kebenaran

Kemudian, di balik plakat, tertulis satu kalimat kuno: “Dia yang pertama mengkhianat akan menangis abadi.” Bahkan saat Tio membaca, patung berguncang hebat, tetes darah memuntahkan aliran deras. Selanjutnya, ruangan terbelah oleh kilatan cahaya merah. Setelah itu, terdengar raungan yang memekakkan telinga—seakan nyawa-nyawa terperangkap menjerit. Oleh karena itu, Tio berteriak, “Aku maafkan…” lalu menunduk, memohon ampun pada patung. Sementara itu, tetesan darah melambat, lalu berhenti.

Epilog yang Membekas

Akhirnya, ketika cahaya meredup total, Tio terjatuh di depan patung. Bahkan lorong kembali normal, pintu terbuka, dan lampu senter menyala dengan stabil. Namun sesaat, ia menoleh: patung itu kini kering, tanpa jejak darah. Sementara itu, udara kembali hangat mengalir. Walaupun selamat, Tio merasakan kosong di rongga dada—seakan sebagian jiwanya tertinggal di sana. Setelah itu, langkahnya tertatih keluar panti tua, meninggalkan Patung yang Menangis Darah dalam kesunyian abadi. Meski waktu berlalu, bisikan lembut masih terngiang, mengingatkannya bahwa kutukan bisa bebas kapan saja.

Inspirasi : Cara Unik Bob Sadino Membangun Usaha dari Nol

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Post