Pantulan di Cermin Jalan Setapak Malam Berlumur Bayangan

Pantulan di Cermin Jalan Setapak Malam Berlumur Bayangan post thumbnail image

Pantulan di cermin jalan setapak mengejar setiap langkah Arini, merayap seperti bisikan dingin di sela nafasnya. Saat malam semakin larut, lampu taman bergoyang tertiup angin lembap, menciptakan bayangan yang bergerak tak beraturan. Meski demikian langkahnya tetap mantap, walaupun hatinya berdebar kencang. Sementara daun kering berjatuhan di atas paving batu, ia terus menatap lurus ke depan, berharap bayangan itu hanyalah ilusi. Namun, seiring detik demi detik berlalu, ketakutan kian membekas di balik kelopak matanya.

Pertemuan Pertama

Ketika Arini mencapai lekukan setapak pertama, ia berhenti. Kemudian ia menoleh ke sisi jalan, hanya untuk melihat pantulan samar yang tak seharusnya ada. Bayangan di cermin jalan setapak itu tampak persis menyerupai dirinya—namun dengan mata yang merah dan mulut terkunci dalam senyum kejam. Selanjutnya, bulu kuduk Arini meremang sementara ia meraih senter di sakunya. Lampu senter menyala dengan kedip tak menentu, lalu sorotnya menembus kegelapan, memperlihatkan permukaan kaca tua yang menempel di batang pohon tua. Setelah itu, sebuah suara desahan tipis terdengar, seolah ada yang menghela napas berat di belakang pohon.

Kilasan Bayangan

Walaupun Arini berusaha menenangkan diri, entah bagaimana pantulan itu bergerak sendiri. Bayangan itu bergeser ke kiri, lalu ke kanan, hingga posisinya terbalik dari sosok Arini yang asli. Kemudian, kilasan cahaya senter menyingkap sudut cermin—terlihat tangan jari panjang, tulangnya menonjol, meraba-raba permukaan kaca. Seketika Arini terkejut, namun ia menahan diri untuk tidak berteriak. Sementara detak jantungnya berpacu, ia memutuskan untuk melangkah mendekat, menuntut jawaban atas keganjilan yang menyesakkan.

Jejak Kaki Tanpa Jejak

Setelah menyentuh bingkai kayu cermin, Arini menarik napas panjang. Namun, saat ia menoleh kembali, tidak ada jejak kaki di sepanjang jalan setapak—kecuali bayangan hitam yang tampak berpendar di permukaan kaca. Meski demikian, suara teriakan tipis terdengar jauh di sudut hutan, mengundang bulu kuduk berdiri. Selanjutnya, angin malam berdesir kencang, mengibarkan gaun Arini seperti entah ada yang menariknya pergi. Sementara bayangan di cermin jalan setapak semakin dekat, Arini menggigil, merasa ada kekosongan yang merambat ke dalam tulang rusuknya.

Teriakan Senyap

Kemudian, Arini mencoba berpaling dari cermin itu, namun kakinya seolah tertanam di tanah. Setelah itu, suara langkah kaki lain menyusup di belakangnya—laju, tak terbendung. Selanjutnya, bayangan yang terpantul tiba-tiba terpisah menjadi dua, lalu empat, hingga memenuhi seluruh permukaan kaca. Arini menutup mata, namun ia masih bisa mendengar teriakan senyap yang terperangkap di antara retakan pohon. Meski demikian, rasa penasaran memaksanya membuka satu mata perlahan. Seketika ia menjerit, karena di cermin kini terpajang ratusan wajah muram yang semua tersenyum bengis.

Jalan yang Menghilang

Ketika Arini menoleh, jalan setapak di depannya lenyap, berganti jurang kegelapan tanpa dasar. Namun pantulan di cermin jalan setapak tetap ada—mengundang, memanggil. Selanjutnya, sinar bulan menyelinap lewat celah dahan, menyorot kaca yang berembun oleh napas dingin. Setelah itu, bayangan-bayangan di cermin mulai merangkak keluar, menembus batas kaca seolah tak lagi terhalang. Arini mundur satu langkah, lalu terhuyung ketika keringat dingin membanjiri punggungnya. Sementara bayangan itu merambat ke tanah, permukaan batu kehilangan tekstur, berubah jadi beludru hitam pekat.

Puncak Kengerian

Tak lama kemudian, Arini merasa menarik sesuatu. Dalam kegelapan, ia memegang tangan kurus—bukan miliknya, melainkan sosok cermin yang hidup. Meski demikian, ia tak dapat melepaskan diri; tubuhnya tertarik mendekat. Seketika, ia merasakan hembusan napas panas di lehernya. Suara bisikan serak menyebut namanya, bergema di antara gemerisik daun. Selanjutnya, saat Arini menoleh, sosoknya di cermin menancapkan mata kosong, lalu meniru setiap gerakan dengan kecepatan yang tak wajar. Setelah itu, cermin pecah, memancarkan semburan cahaya hijau yang menelusup ke dalam lubang mata Arini. Kesunyian pun menggantikan teriakan terakhirnya.

Pada pagi berikutnya, hanya seonggok kaca pecah yang tersisa di ujung jalan setapak. Meski demikian, warga desa setempat mendengar jeritan malam, lalu kulit tangan mereka merasakan getaran dingin. Kini, siapa pun yang melewati jalan itu akan bertanya-tanya, apakah pantulan di cermin jalan setapak hanya ilusi—atau sebuah pintu menuju ketakutan abadi.

Gaya Hidup : Harga Fantastis! Inilah Celana Termahal yang Pernah Dijual

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Post