Pager Baja yang Menjerit di Ujung Senja Kelam dan Sunyi

Pager Baja yang Menjerit di Ujung Senja Kelam dan Sunyi post thumbnail image

Prolog: Senja yang Meredup

Pertama‑tama, ketika langit memerah di cakrawala, terdengar pager baja yang menjerit di tepi halaman istana tua. Selain gemuruh angin, suasana senja kelam digelayuti kabut dingin, seakan menahan napas sebelum ledakan kengerian. Oleh karena itu, setiap degup jantung terasa bergema, menyiapkan hati untuk teror yang hendak datang.

Bagian I: Pintu Gerbang Berderit

Selanjutnya, Toni—penjaga malam di bekas kompleks benteng peninggalan Belanda—mendengar suara jeritan besi yang tak wajar. Pertama kali, ia mengira rantai besi kendur, tetapi saat didekati, pager baja yang menjerit semakin melengking. Bahkan lampu lentera di tangannya bergoyang deras, memantulkan bayangan gerbang tua berkarat. Oleh sebab itu, dengan tertatih, ia mendekat, menyentuh pilar baja yang dingin—tiba‑tiba denting itu berubah menjadi bisikan menyeramkan yang membelai telinganya.

Bagian II: Bayangan di Antara Semak

Kemudian, Toni melangkah ke samping gerbang, melewati hamparan semak berduri. Meskipun sunyi, semak itu bergoyang seakan disentuh tangan tak kasat mata. Selain itu, aroma besi terbakar tercium samar, menandakan sesuatu tak wajar terjadi. Sementara Toni merapat ke dinding batu, bayangan lurus melintas di ujung mata—berbentuk sosok kurus dengan mata hitam berlubang. Transisi antara realitas dan mimpi buruk semakin kabur, dan jeritan baja itu kian menjadi‑jadi.

Bagian III: Koridor Batu Mencekam

Setelah gerbang terbuka perlahan oleh kekuatan gaib, Toni memasuki koridor panjang yang dipenuhi relief ghaib. Namun berbeda dari sebelum‑nya, suara pager baja yang menjerit kini muncul dari dinding, berkeliling bagai gema neraka. Bahkan lantai batu bergetar, menciptakan retakan yang menganga lebar. Oleh karenanya, Toni hampir tersungkur saat lantai di depannya terpecah, memancarkan cahaya merah.

Bagian IV: Ruang Kematian Berlumur Darah

Selanjutnya, ia tiba di ruang luas dengan lantai marmer hitam. Di tengahnya terletak palang besi raksasa—seperti pager baja yang menjerit itu dipasang di antara tiang penyangga. Selain itu, genangan merah pekat mulai merebak, seolah darah menetes dari jahitan ruang. Toni menjerit tertahan, tetapi jeritan besi menelan suaranya, berubah menjadi simfoni kesakitan. Meskipun nafasnya memburu, ia terpaksa maju untuk memahami kutukan yang terperangkap di ruang itu.

Bagian V: Manuskrip Terlarang

Kemudian, di pojok ruangan, Toni menemukan meja kayu retak dengan tumpukan buku usang. Dari sinilah asal bisikan mengerikan: naskah kuno berjudul “Kitab Jeritan Baja”. Saat dibuka, halaman‑halamannya terpenuhi coretan mantra:

“Kala pager baja menjerit di senja terlarang, jiwa terikat dalam sirnah abadi.”
Meskipun gemetar, Toni terus membaca—seakan terhipnotis. Namun bayangan kabut pekat mengepul, menutup pandangannya, dan jeritan baja menggema lebih dahsyat.

Bagian VI: Konfrontasi dengan Arwah Terperangkap

Lantas, bayangan mendadak berkumpul membentuk sosok manusia setengah transparan. Perempuan bergaun putih lusuh, wajahnya terbelah senyum getir, muncul di hadapan Toni. Sementara jeritan baja memuncak, arwah itu membuka mulut tanpa suara, menatap Toni dengan tatapan memohon dan marah. Oleh karena itu, Toni menunduk, mencoba melantunkan mantra yang dibaca—namun kalimatnya tercekat di tenggorokan.

Bagian VII: Pembebasan atau Penghancuran

Kemudian, gerbang ruang itu menutup sendiri, meninggalkan Toni dan arwah terperangkap. Jeritan baja beralih jadi dentang pelan, seperti jarum jam yang berjalan mundur. Selain itu, cahaya merah merambat ke dinding, membentuk bayangan ribuan jiwa yang terperangkap antara baut dan rangka besi. Maka Toni harus memilih: mengucap mantra pembebasan atau memecahkan pager baja dengan palu tua di meja?

Bagian VIII: Letusan Teror

Ketika Toni memutuskan menghancurkan besi itu, palu terangkat tinggi—namun saat jatuh, letusan duka terdengar seperti gemuruh bom. Pieeer… pager baja yang menjerit itu pecah berkeping, memuntahkan angin dingin dan serpihan cahaya ungu. Arwah perempuan menjerit gembira, namun tiba‑tiba tangis ribuan makhluk lain ikut bergolak, menciptakan tsunami kengerian.

Epilog: Senja yang Kini Terkutuk

Akhirnya, saat serpihan baja meredup, Toni tergeletak di depan gerbang yang kini tertutup rapat. Senja telah berubah jadi malam pekat dengan bintang‑bintang yang tersambung awan hitam. Meskipun aliran jeritan baja mereda, getaran gaib tetap terasa di kulitnya. Ia tahu, setiap senja berikutnya, pager baja yang menjerit akan bangkit lagi—menjemput penjelajah malang yang tak mengerti kutukan gerbang tua itu.

Gaya Hidup : Budaya Nongkrong 2025: Dari Warung ke Metaverse

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Post