Pada malam kelabu setelah upacara pemakaman selesai, nenek berdiri di pintu rumah tua itu, menatap sunyi ke arah pekuburan yang baru saja ditinggalkan. Meskipun udara dingin berhembus perlahan, ia tampak tegap tanpa goyah, seakan menunggu sesuatu yang tak terucapkan. Oleh karena itu, bulu kuduk langsung meremang, terlebih ketika deru angin membawa bisikan samar, “Jangan tinggalkan aku….”
Awal Keresahan di Malam Pertama
Kemudian, setelah semua pelayat pulang dan lampu-lampu pekuburan dipadamkan, keluarga kembali ke rumah peninggalan tua di atas bukit. Namun, saat melangkah memasuki ruang tamu, ayah terkejut melihat jejak telanjang di lantai kayu—padahal burung hantu malam itu berdatangan, bukan manusia. Selanjutnya, ibu pun menggigil ketika aroma anyir tanah basah menyusup ke sela-sela pintu.
Lebih jauh lagi, ponsel kedua kakak tiba-tiba mati total, meski baterainya penuh. Bahkan, meski mereka menyalakan lilin dan doa, cahaya berkelip seolah merespons kehadiran sesuatu yang lain. Kini, setiap kali pintu rumah diketuk angin, terdengar dentuman serupa langkah kaki ragu yang mengetuk kembali dari dalam.
Sosok Tak Kasat Mata yang Menunggu
Selanjutnya, sekitar pukul dua belas malam, lampu ruang depan padam seketika. Meskipun saklar tetap dinaikkan, hanya gelap gulita yang menjawab. Kemudian, terdengar napas berat di balik tirai jendela, mengundang rasa penasaran—apakah itu sekedar hembusan angin atau suara seseorang yang menahan tangis? Oleh karena itu, saudara laki-laki saya memberanikan diri mengintip, dan betapa terkejutnya ia melihat siluet kurus di ambang pintu—seorang nenek berkerudung putih, menatap kosong ke arah dalam.
Bisikan Arwah yang Terjebak
Kemudian pula, ketika ia berusaha memanggil, bibir nenek itu tergerak pelan tanpa suara. Bahkan, cahaya lilin menyorot keriput wajahnya, menampakkan mata yang merah, berair, dan penuh penyesalan. Metafora kesunyian berubah menjadi teror, sebab udara di sekitarnya turun drastis, menimbulkan kabut tipis di lantai kayu. Meskipun pintu terkunci rapat, sosok itu tetap berdiri di sana, seolah menolak pergi.
Jejak Misterius di Pintu Depan
Selanjutnya, pagi harinya, setelah matahari terbit, kami mendapati bekas jejak kaki kecil menuju tiang pintu, tetapi tanah di depan rumah tak menggumpal. Walaupun hujan semalam telah membasuh tanah pekuburan, jejak itu tetap menempel kaku. Bahkan, ibu sempat menangis ketika melihat sekuntum bunga melati layu yang diletakkan di ambang pintu—padahal kami tak pernah menaruhnya di sana.
Suara Terdalam yang Memecah Hening
Kemudian, selama beberapa malam berikutnya, terdengar suara-suara pelan: gemericik kain, derit engsel pintu, dan—yang paling menakutkan—tawa parau seorang wanita tua. Selain itu, televisi di ruang tengah menyala dan mati sendiri, menampilkan layar hitam seakan ada sosok berdiri di dalamnya. Akibatnya, keluarga semakin gelisah, meski upaya membaca doa dan menabur garam di tiap sudut telah dilakukan.
Teror Memuncak di Tengah Malam
Selanjutnya, pada tengah malam ketiga, kakak perempuan saya bermimpi buruk: ia melihat nenek itu terbaring di peti kayu, lalu membuka mata dengan tatapan penuh dendam. Ketika terbangun, ia mendapati diri basah oleh keringat dingin, dan aroma tubuh busuk menyergap kamar. Bahkan, pintu kamar terkunci sendiri, lalu perlahan terbuka dengan sendirinya, menyingkap koridor gelap.
Pengejaran Arwah di Lorong
Kemudian, kami mendengar langkah kaki bergerak cepat di atas karpet koridor. Meskipun saling berpegangan tangan, tak satu pun berani menyalakan senter. Selanjutnya, di ujung lorong, muncul sosok nenek dengan kerudung compang-camping, berjalan mundur sambil menatap kami. Lebih menegangkan lagi, bayangan sosok itu memanjang dan menutup pintu kamar kami, memerangkap kami dalam kegelapan total.
Pencarian Kebenaran tentang Nenek
Setelah siang datang, ayah memeriksa dokumen lama dan menemukan foto nenek buyut yang meninggal puluhan tahun lalu. Ternyata, semasa hidup, ia sering dituduh melakukan ilmu hitam dan dikucilkan. Bahkan, sebelum kematiannya, ia sempat berjanji menuntut balas bagi mereka yang melupakannya. Oleh karena itu, diyakini arwahnya belum tenang, terperangkap antara dunia hidup dan mati.
Upaya Meredam Amarah Arwah
Kemudian, kami memutuskan memanggil seorang dukun tua untuk memediasi. Selanjutnya, di halaman rumah, ia membakar dupa wangi dan membaca mantera secara bergiliran. Meski begitu, suara rengekan nenek terdengar menembus malam, bagaikan ratapan rindu yang berubah menjadi amarah ganas. Bahkan, lantai halaman bergetar hebat seakan meminta sesuatu yang belum terpenuhi.
Titik Balik di Pintu Depan
Selanjutnya, ketika dukun hendak menutup ritual, ia berseru kaget: di ambang pintu depan, terdapat bayangan putih besar—sosok nenek buyut itu—dengan tatapan lebih galak dibanding sebelumnya. Namun, oleh karena itu, dukun merangsek maju, mengangkat tongkatnya, dan memohon agar arwah diizinkan “pulang” dengan damai. Seketika, bayangan itu terseret ke tanah, lalu terangkat tinggi, lalu menghilang dalam uap tipis.
Kesunyian yang Membawa Harapan
Setelah ritual, suasana menjadi hening luar biasa. Meskipun angin malam tetap dingin, tiada lagi bisikan atau tawa seram. Bahkan, pagi hari berikutnya, keluarga menemukan bunga melati segar di ambang pintu—sebuah penanda bahwa permintaan arwah telah terpenuhi. Walaupun begitu, kami masih memasang pagar besi dan menabur garam sebagai berjaga-jaga.
Duka yang Tak Pernah Hilang
Akan tetapi, meski nenek berdiri di pintu itu telah tiada, kenangan kengerian tersebut terus membayang. Setiap kali kabut turun dan pintu rumah berderit, kami mengenang tatapan meratap yang pernah menuntut keadilan. Dengan demikian, kisah ini menjadi peringatan bahwa arwah terluka takkan pernah pergi begitu saja sebelum suatu janji ditepati—bahkan ketika semua sudah dikebumikan.
Kesehatan : Khasiat Bunga Tasbih untuk Kesehatan Tubuh