Misteri Mencekam Taman Kanak Kanak Terbengkalai

Misteri Mencekam Taman Kanak Kanak Terbengkalai post thumbnail image

Misteri mencekam taman kanak kanak terbengkalai ini bermula ketika sekelompok mahasiswa jurusan jurnalisme melakukan ekspedisi malam untuk tugas dokumentasi urban legend. Mereka memilih sebuah TK tua di pinggiran kota yang telah lama tidak beroperasi. Bangunannya terlupakan, jendelanya tertutup debu, dan halaman bermainnya tertelan semak liar. Masyarakat setempat menghindari tempat itu setelah serangkaian kejadian tak masuk akal yang terjadi bertahun-tahun lalu.

TK “Melati Ceria” dulunya tempat belajar anak-anak prasekolah yang kini menjadi pusat bisikan arwah penasaran. Cerita lokal menyebutkan bahwa ada seorang guru bernama Bu Raras yang menghilang secara misterius setelah seorang murid ditemukan tewas di dalam lemari mainan. Sejak itu, tidak ada yang berani menyentuh bangunan tersebut.

Malam itu, empat mahasiswa—Dimas, Fira, Luki, dan Rani—berjalan menyusuri gerbang berkarat. Angin malam menusuk kulit, dan suara decit dari ayunan yang bergerak sendiri menyambut mereka. Kamera mereka merekam setiap langkah, disertai komentar ringan yang menyamarkan kegugupan.

“Ada yang merinding nggak, sih?” tanya Rani sambil menggenggam senter lebih erat.

“Lagian, kita di sini buat tugas. Jangan lebay,” sahut Luki dengan suara dibuat-buat santai.

Mereka memasuki ruang kelas utama. Dindingnya penuh coretan anak-anak, sebagian besar mulai pudar, namun satu tulisan terlihat baru: Mainlah bersamaku.” Tulisannya merah seperti darah, dengan coretan menyerupai tangan kecil di sekelilingnya.

Fira, yang merekam dengan ponsel, bergumam, “Ini nggak mungkin tulisan lama. Siapa yang bikin?”

Luki mencoba menghibur, “Mungkin anak-anak iseng. Padahal ini tempat kosong.”

Namun tiba-tiba, senter Dimas padam. Dalam kegelapan, mereka mendengar suara anak kecil tertawa—lirih tapi jelas.

“Cek senter gue dong! Mati sendiri!” Dimas panik, menepuk-nepuk lampunya.

Saat lampu kembali menyala, sosok anak kecil berdiri di pojok ruangan. Bajunya seragam TK berwarna putih-merah, tapi wajahnya… hitam legam seperti arang terbakar.

Semua membeku.

Sosok itu berbalik dan berlari ke lorong belakang. Tanpa pikir panjang, Rani mengikuti, terhipnotis, seolah dipanggil.

“Rani, jangan!” Fira berteriak, tapi suara itu menghilang ke dalam lorong.

Mereka bertiga menyusul, dan menemukan Rani berdiri mematung di depan ruang kepala sekolah. Matanya kosong, tubuhnya gemetar.

Di dalam ruangan itu, terdapat foto kelas tergantung miring. Gambar seorang guru berdiri di tengah anak-anak, wajahnya dicoret dengan tinta hitam. Di bawahnya, tertulis tanggal: 12 Mei 2005, hari terakhir sekolah itu aktif.

Mereka mencoba membawa Rani keluar, namun pintu masuk tertutup sendiri. Suara pintu berderak, seperti terkunci oleh kekuatan tak kasat mata.

“Gue rasa… kita nggak sendiri di sini,” gumam Dimas.

Langkah kaki kecil terdengar mendekat. Bukan dari satu arah, tapi dari berbagai penjuru ruangan. Suara nyanyian anak-anak TK mulai terdengar samar:

“Pelangi… pelangi… alangkah indahmu…”

Nyanyian itu melengking menjadi jeritan. Ruangan berguncang. Boneka-boneka di rak jatuh satu per satu. Luki berteriak histeris saat tangan mungil menarik kakinya dari bawah meja.

Fira menyenter ke bawah dan melihat mata anak-anak penuh kebencian menatap dari kegelapan. Wajah-wajah mereka dipenuhi luka bakar, sebagian kulit mengelupas, namun mulut mereka menyeringai.

“Lariii!!” Dimas berteriak sambil menarik semua keluar.

Mereka menuju tangga darurat, tapi sosok Bu Raras muncul, berdiri dengan tubuh menggantung, lehernya tergantung pita TK. Matanya mengucurkan darah, dan tangannya menunjuk ke ruang belakang.

“Mereka… belum selesai bermain…” suaranya berat dan serak.

Rani mendadak kesurupan. Ia tertawa, lalu berkata dengan suara anak kecil: “Kami ingin teman bermain… selamanya…”

Dengan sisa tenaga, Fira menyiramkan air suci yang ia bawa (karena saran paranormal kampus mereka) ke arah Rani. Tubuh Rani terhempas, dan jeritan keras terdengar dari seluruh ruangan. Cahaya putih menyilaukan membuat semua menutup mata.

Saat mereka membuka mata, mereka berada di luar TK. Pagi menjelang. Bangunan terlihat seperti baru terbakar. Rani pingsan, tapi hidup. Kamera mereka rusak total—rekaman hilang.

Setelah peristiwa itu, TK Melati Ceria diratakan. Namun desas-desus tentang anak-anak yang tertawa di malam hari masih terdengar dari warga sekitar.

Apakah kamu masih berani menginjakkan kaki di tempat seperti itu?

Sejarah : Peran Indonesia dalam Kancah Politik Internasional

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Post