Peringatan yang Terabaikan
Ketika aku melangkah ke dalam Gerbong Mati, napas pertama membeku oleh dingin mencekam yang tiba‑tiba menerpa. Namun demikian, jantungku berdebar kencang bukan semata takut, melainkan juga rasa penasaran yang membuncah. Tanpa disadari, setiap detik di gerbong usang itu menegaskan bahwa aku sedang berdiri di ambang alam gaib—di mana arwah yang terperangkap menunggu satu kesempatan untuk kembali dan mencengkeram hidup yang tersisa.
Awal Mula: Jejak yang Membeku
Pada sebuah malam tanpa bintang, sekelompok petualang gelap hati datang membawa lilin setengah meleleh. Sementara itu, desah angin menyelinap melalui rel berkarat, seakan mengajak mereka maju ke area terlarang. Karena rasa penasaran berlebih, mereka menginjak bata nisan longsor, memancing balada dendam yang terpendam di bawah tanah lembab.
Kegelapan yang Bersahabat
Pertama, kegelapan terlihat seperti selimut nyaman—namun, ketika langkah pertama diambil, ia berubah menjadi labirin tanpa akhir. Perlahan, kesunyian meradang, tergantikan oleh dengungan samar yang terdengar seperti jeritan jauh. Tanpa peringatan, satu persatu lilin mereka padam secara misterius.
Desahan Malam: Hadirnya Bayangan
Setelah itu, bisikan halus muncul di sudut pandang. “Tinggalkan…” Suara itu bergema, batinnya pecah antara amarah dan ratapan. Seketika, bayangan melintas di ujung lorong: sosok tinggi dengan mata merah menyala yang mengawasi setiap gerak mereka.
Jejak Berdarah
Lebih jauh, lantai kereta dipenuhi jejak darah yang tak kunjung kering. Bahkan, aroma besi hangus menusuk hidung. Mereka mencoba mundur, tetapi pintu keluar seakan lenyap—diganti dengan dinding batu dingin yang menyedot kehangatan tubuh.
Titik Nadiku Membeku
Karena tekanan semakin mencekik, salah satu petualang meronta, berharap melarikan diri. Namun, tanpa disadari, tangan dingin menggapai pergelangan mereka, menarik erat dalam cengkeraman penuh kebencian. Suara detak jantung memenuhi keheningan, sebelum tiba‑tiba terhenti.
Puncak Ketegangan
Ketika kegelapan mencapai intensitas tertinggi, sosok itu mendekat pelan, seolah menanti ketakutan mereka matang. Percikan cahaya terakhir menyorot wajah petualang malang—kulitnya pucat, mata terbelalak, namun bibirnya membeku tanpa suara.
Akhir yang Mengejutkan
Akhirnya, keheningan menguasai Lorong Kuburan Kereta. Aku berdiri sendiri, terengah, dikelilingi lilin padam dan rel sunyi. Namun demikian, suara desah terakhir terdengar di telingaku: “Kau takkan pernah pulang…”
Sejarah dan Politik : Pandeglang dalam Sejarah: Jejak Peradaban dan Budaya Banten