Legenda di Tiga Warna
Mayat berjubah putih—itulah sebutan warga Ende untuk penampakan mengerikan yang konon muncul di permukaan Danau Kelimutu setiap kali kabut turun tebal di malam hari.
Danau yang terkenal karena tiga warnanya itu, selama ini dianggap sakral. Namun di balik keindahannya, tersimpan cerita gelap yang hanya diceritakan berbisik oleh penduduk tua.
Bagi Ratna, seorang peneliti geologi muda dari Bandung, cerita itu hanya mitos belaka. Ia datang ke Flores untuk meneliti perubahan warna air dan kandungan belerang. Tapi sejak pertama kali menatap danau yang tenang itu, ia merasa seolah sedang dipandangi balik oleh sesuatu yang tak kasatmata.
Malam itu, langit Kelimutu tampak kelam, dan kabut turun lebih pekat dari biasanya.
Jejak Pertama: Kabut dan Bau Busuk
Ratna mendirikan tenda di tepi jalur pendakian, hanya beberapa meter dari pagar pembatas danau. Udara dingin membuat napasnya berembus seperti asap.
Ketika malam semakin larut, ia menyalakan alat pencatat suhu dan kadar gas. Namun sesuatu aneh terdeteksi—sensor mencatat peningkatan kadar sulfur meski tidak ada aktivitas vulkanik.
Saat ia melangkah ke arah tepi danau untuk memeriksa, bau busuk menyeruak begitu tajam, seperti bangkai lama yang direndam air.
Ia menyorotkan senter ke permukaan danau. Di antara kabut, terlihat sesuatu yang mengapung.
Awalnya ia mengira itu hanya batang kayu. Tapi saat kabut bergeser tertiup angin, ia melihatnya jelas: sebuah tubuh manusia berjubah putih, mengambang perlahan, wajahnya menatap langit dengan mata terbuka lebar.
Ratna menjerit dan mundur terhuyung. Namun ketika ia menatap lagi, tubuh itu sudah lenyap, hanya meninggalkan riak kecil di permukaan air.
Cerita dari Penjaga Gunung
Pagi harinya, Ratna menemui penjaga area wisata, seorang pria tua bernama Ama Domi.
Begitu mendengar apa yang Ratna lihat, wajah Ama Domi langsung berubah tegang.
“Kau melihatnya juga?” suaranya serak.
“Itu bukan manusia. Itu arwah dari danau ketiga—Tiwu Ata Polo. Tempat roh-roh jahat disimpan.”
Ama Domi lalu bercerita tentang Nia, gadis desa yang hilang lima tahun lalu setelah mencoba menyeberangi danau pada malam purnama. Tubuhnya tak pernah ditemukan. Tapi sejak saat itu, banyak pendaki yang mengaku melihat mayat berjubah putih mengambang di permukaan air Tiwu Ata Polo setiap malam berkabut.
“Mereka bilang itu Nia,” lanjut Ama Domi.
“Tapi kalau kau tatap wajahnya terlalu lama, arwahnya akan menarikmu ke dalam.”
Ratna mencoba tersenyum, menolak takhayul itu. Tapi dalam hatinya, bayangan wajah pucat di air semalam terus menghantui.
Malam Kedua: Suara dari Dalam Danau
Malam berikutnya, Ratna memutuskan untuk memasang kamera pengintai otomatis di sekitar danau. Ia ingin merekam fenomena gas atau mungkin penjelasan ilmiah di balik “penampakan” itu.
Namun sekitar pukul dua belas malam, kamera mulai merekam sesuatu aneh. Kabut turun lebih cepat dari biasanya, menutupi seluruh area.
Ratna mendengar suara samar dari arah air—suara lirih perempuan yang seolah memanggil namanya.
“…Ratna…”
Ia menoleh cepat, tapi tak ada siapa-siapa. Suara itu datang lagi, kali ini lebih dekat.
“Ratna… dingin di sini…”
Jantungnya berdegup kencang. Ia menyorotkan senter ke arah air, dan kali ini, ia melihatnya jelas: mayat berjubah putih itu muncul kembali.
Namun kini tubuh itu tak hanya mengambang—ia perlahan bergerak ke tepi danau, seolah didorong dari dalam air.
Ratna mundur, tapi kakinya terpeleset. Saat tubuhnya hampir jatuh, sesuatu menyentuh pergelangan kakinya—dingin, basah, dan berbau belerang.
Ia berteriak dan menarik kakinya sekuat tenaga. Tapi sebelum berhasil lari, ia sempat melihat wajah makhluk itu:
Kulitnya putih kelabu, rambutnya panjang menempel di dahi, dan bibirnya tersenyum kaku dengan mata kosong menatap Ratna.
Penemuan di Kamera
Keesokan paginya, Ratna menonton hasil rekaman dari kamera malam itu.
Selama sepuluh menit pertama, hanya kabut dan air tenang. Tapi di menit kesebelas, muncul sosok samar berjalan di atas air, mengenakan jubah putih panjang.
Yang membuat darah Ratna membeku adalah ketika sosok itu menatap ke arah kamera—langsung ke arah lensa, seolah tahu sedang direkam.
Dan di detik terakhir video, wajah sosok itu berubah menjadi Ratna sendiri, dengan mata hitam pekat dan bibir tersenyum lebar.
Ratna menjatuhkan kamera, gemetar. Ia baru sadar bahwa ketika dirinya menatap danau semalam, ia mungkin sudah dipantau balik oleh sesuatu dari dalam air.
Misteri Tiwu Ata Polo
Ratna pergi ke desa terdekat untuk mencari jawaban. Di sana, ia bertemu seorang pendeta adat bernama Mose, yang mengatakan bahwa Tiwu Ata Polo adalah tempat roh-roh gelap berkumpul.
“Banyak orang mati tak tenang karena dosa mereka,” jelasnya.
“Tapi ada satu roh yang paling kuat—seorang gadis yang dibunuh kekasihnya dan dibuang ke danau. Ia memakai jubah putih saat dikorbankan. Sejak itu, air di danau sering berubah warna menjadi merah gelap.”
Ratna teringat hasil pengukuran warna air dua hari lalu yang memang menunjukkan peningkatan zat besi mendadak, membuat air tampak lebih pekat.
Namun ia tak sempat berpikir lama. Saat hendak pergi, pendeta Mose menahannya dan berkata:
“Jika kau sudah melihatnya, jangan datang lagi ke tepi danau malam hari. Ia akan menganggapmu pengganti.”
Malam Ketiga: Panggilan dari Dalam Air
Tapi rasa penasaran Ratna mengalahkan ketakutannya.
Malam itu, ia kembali ke danau, sendirian, membawa alat perekam bawah air. Ia menaruh mikrofon di permukaan, berharap mendengar fenomena gas atau suara geologi.
Namun yang terekam bukan suara alam.
Melainkan nyanyian perempuan. Lembut, sedih, dan penuh duka.
Ratna mendekat ke tepi air, dan tiba-tiba nyanyian itu berhenti. Dalam hening yang mencekam, suara tawa kecil menggema dari arah belakangnya.
Ketika ia menoleh, tak ada siapa-siapa. Tapi di permukaan air, tampak dua tangan pucat muncul perlahan, seperti sedang memegang tepi batu.
Lalu kepala itu muncul—mayat berjubah putih itu kini setengah keluar dari air, tubuhnya meneteskan cairan hitam, dan matanya menatap Ratna tajam.
“Temani aku… di sini…”
Ratna berlari ketakutan. Tapi langkahnya berat, seolah ada yang menarik dari belakang. Ia sempat melihat bayangannya di air, namun pantulan itu tidak mengikuti gerakannya.
Pantulan itu tersenyum, sementara Ratna menatapnya dengan ketakutan.
Keesokan Harinya: Hilangnya Ratna
Pagi datang. Pendaki lain menemukan tenda Ratna kosong.
Di dalamnya hanya ada catatan penelitian dan alat perekam rusak. Pada halaman terakhir buku catatan, tertulis pesan aneh dengan tulisan bergetar:
“Aku dengar suaranya lagi. Aku lihat matanya. Dia memintaku turun ke air. Tapi air itu tampak seperti kaca, dan di bawah sana… aku melihat diriku.”
Pencarian dilakukan selama dua hari. Tak ada tanda-tanda Ratna.
Namun di hari ketiga, warga menemukan jubah putih mengambang di permukaan Danau Kelimutu. Jubah itu basah, berat, dan di bagian dadanya terdapat noda darah berbentuk tangan.
Danau yang Menelan Jiwa
Sejak hilangnya Ratna, pemerintah menutup area sekitar danau untuk penelitian malam hari.
Namun penduduk lokal sering melapor bahwa setiap malam berkabut, terlihat bayangan perempuan berjubah putih berjalan di atas air.
Kadang terdengar suara lirih memanggil nama “Ratna” dari arah danau, disusul bau belerang yang menyengat.
Ama Domi, penjaga gunung, berkata dengan mata sayu:
“Danau itu menelan orang yang menatapnya terlalu lama. Karena setiap pantulan bukan hanya bayangan—tapi dunia lain yang menunggu pengganti.”
Kini, legenda mayat berjubah putih di Danau Kelimutu hidup kembali.
Beberapa wisatawan yang datang mengaku melihat jubah putih mengambang di air biru kehijauan, tapi setiap kali mereka mencoba memotretnya, foto itu berubah… menampilkan wajah perempuan tersenyum dengan mata kosong.
Dan di balik senyum itu, tersimpan suara lembut dari kedalaman air:
“Aku masih di sini…”
Inspirasi & Motivasi : Dari Guru Les ke Digital Marketing Agency Ternama