Makhluk Bertaring yang Menyelinap dari Atap ke Dada Kita

Makhluk Bertaring yang Menyelinap dari Atap ke Dada Kita post thumbnail image

Kepulan Kabut Pertama

Pada awal malam yang sunyi, kabut tipis merayap menutupi halaman rumah. Bahkan sebelum adzan Isya’ usai, aku sudah merasakan hawa dingin menyusup melalui genting atap. Tiba-tiba, terdengar gesekan halus—seperti kuku menari di atas seng karatan. Lebih dari itu, bisikan pelan bergema di atas kepalaku, memperingatkan: “Aku datang.”

Suara di Langit-langit

Kemudian, tepat ketika detik jam dinding mendekati pukul dua belas, suara itu berubah. Dari gesekan berubah menjadi tapakan ringan, seakan makhluk kecil melompat dari alu ke alu genting. Bahkan lampu kamar berkelip dua kali, menandai kehadirannya. Sementara itu, jantungku berdegup kencang, dan aku menahan napas—tak berani menggerakkan otot sekecil apa pun.

Bayangan yang Menyusup

Selanjutnya, langkah-langkah itu merambat menurun ke dinding—senyap, tetapi pasti. Wajar jika aku menoleh ke sudut ruangan; di sanalah bayangan hitam melintang. Meski remang lampu hanya menciptakan siluet, aku menangkap tonjolan tanduk dan kerutan di pipinya, sebuah pertanda kejamnya “makhluk bertaring.”

Bisikan yang Memanggil

Lebih jauh, bisikan berubah menjadi panggilan: “Datanglah… “ Suaranya bercampur dengung, seolah banyak mulut bersatu. Bahkan saat kupaksakan menutup telinga dengan bantal, teriakan itu menembus lapisan kain, memasuki pikiranku. Naluri paling primitifku memerintahkan melarikan diri, tetapi rasa penasaran mencegahku.

Jejak Dingin di Dada

Kemudian, kabut dingin menyentuh kulit leherku, merembet ke dada. Aku merasakan telapak tangan tak terlihat menekan perlahan ke tulang dada, membuat napasku tercekat. Bahkan darah di nadiku sedetik berbalik dingin, lalu panas surut. Aku tersentak, namun hanya menemukan udara kosong—namun dada ini masih terasa berat, seperti beban tak kasat mata.

Kilasan Wajah Menyeramkan

Setelah itu, sekilas mataku menangkap sosok di sudut cermin kamar. Mata merahnya bersinar tajam, gigi taringnya panjang menonjol, bibirnya terangkat membentuk senyum tak berujung. Saat kuberani menapak maju, sosok itu lenyap, menggantinya udara pekat beraroma anyir. Tanpa sadar, aku meraup napas panjang, berusaha menenangkan diri—namun dada ini masih berdenyut, tercekik rasa takut.

Larik Rangkaian Tanduk

Selanjutnya, ketika aku menyalakan saklar lampu, kilatan cahaya memantul di ratusan tonjolan kecil di atap—tonjolan tanduk makhluk itu. Bersamaan dengan itu, lantai bergetar halus, menandai bahwa makhluk bertaring kini turun lebih dekat. Bahkan plafon di atas kepalaku bergoyang perlahan, seakan siap roboh dan menelanku hidup-hidup.

Pencarian Kekuatan Perlindungan

Lebih dari itu, aku teringat amalan perlindungan nenek: menempelkan garam di setiap sudut kamar. Dengan tangan gemetar, aku menaburkan butir demi butir, membentuk lingkaran di sekeliling tempat tidur. Namun ketika garam menyentuh lantai, bunyi gemeretak keras memenuhi ruang—reaksi makhluk itu yang marah. Bisikan berubah menjadi auman, mengguncang dinding hingga cat rontok.

Konfrontasi di Tengah Malam

Kemudian, aku berdiri di tengah lingkaran garam, jantung berdegup amat cepat. Dari sudut kamar, makhluk bertaring muncul dalam bentuk kasar: tinggi menjulang, kerangka besar tertutup kulit gelap, taringnya menjulur lebar. Suaranya bergemuruh, “Lepaskan aku…” Namun aku mengangkat batang salib kayu, menantangnya untuk mendekat. Sementara itu, makhluk itu mengambil napas panjang, lalu meraung menembus kesunyian.

Pengejaran Tanpa Ampun

Setelah konfrontasi itu, makhluk bertaring mengepung lingkaran garam, melilit kaca jendela dan memecahkan kacanya. Bahkan kepulan asap hitam muncul dari taringnya, memenuhi ruang dengan bau busuk. Aku berlari ke pintu, tetapi engselnya terkunci sendiri. Teriakan panik memenuhi dadaku, menandai pelarianku yang tersudut.

Titik Balik di Lorong Gelap

Selanjutnya, dalam kepanikan, aku merangsek keluar kamar melalui jendela yang pecah. Mendarat dengan sakit di halaman, aku berlari menyusuri lorong menuju gerbang rumah. Namun di sudut rumah, bayangan makhluk itu memantau—dua mata merahnya menyorotku dari kegelapan. Bahkan suara auman terakhirnya terngiang: “Aku akan kembali.”

Kengerian yang Abadi

Akhirnya, selamat di teras, aku meraba dada yang masih berdenyut. Meskipun makhluk bertaring pergi entah ke mana, jejak dinginnya terpatri di tulang rusukku. Setiap malam, aku masih mendengar gesekan kuku di atas genting, dan bisikan memanggil namaku. Dan dada ini tak pernah lepas dari rasa berat yang menandai kehadirannya—janji teror yang tak akan pernah berakhir.

Food & Traveling : Menikmati Kuliner Khas Banyuwangi yang Menggugah Selera

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Post