Prolog: Warna Senja Berubah Pekat
Ketika cahaya jingga senja merambat lembut di dinding galeri tua, lukisan yang menangis senja tiba‑tiba tampak bergairah. Namun, begitu malam mendekat, gradasi warna berubah menjadi semburat merah pekat. Sementara itu, bisikan samar terdengar berkelindan di antara kerumunan bingkai—seolah kanvas itu menghela napasnya sendiri. Selain kilau warna yang memudar, ada bau cat minyak yang menyengat kelopak mata. Dengan demikian, setiap pengunjung merasakan getaran dingin di tulang belakang, seakan lukisan itu hendak berbicara langsung kepada jiwa.
Bagian I: Kedatangan Lila di Galeri
Pertama‑tama, Lila, seorang mahasiswi seni rupa, masuk ke galeri sendirian saat senja mulai meredup. Dia terpikat oleh satu karya terbesar: pemandangan langit senja dengan matahari yang hampir tenggelam, namun di balik cahaya hangat itu tampak butiran cairan merah di sudut kanvas—air mata yang memunculkan aura kesedihan. Kemudian, ia melangkah mendekat, memeriksa detail goresan kuas, dan merasakan desah halus yang membuat bulu kuduknya meremang. Selain rasa penasaran, hatinya menegang, karena lukisan yang menangis senja seolah menuntutnya memahami kisah di balik lukisan.
Bagian II: Desahan dalam Diam
Selanjutnya, saat Lila menoleh ke penjaga galeri, ruangan terasa sunyi mencekam. Bahkan denting jam dinding pun terhenti, meninggalkan ruang hampa. Sementara itu, tetesan demi tetesan merah mengalir semakin nyata—tak sekadar cat yang lapuk. Selain itu, udara di sekitar kanvas terasa lembap, seakan ada embun yang menetes ke lantai marmer. Maka, Lila merasakan panggilan halus memanggilnya, berbunyi, “Tolong aku…” Namun suara itu terlalu lembut untuk didengar telinga manusia biasa.
Bagian III: Kenangan yang Terkurung
Kemudian, kilatan ingatan muncul di benak Lila. Dia teringat cerita neneknya tentang seorang pelukis kesepian yang mengabdikan hidupnya pada senja terindah—namun kehilangan cintanya secara tragis. Oleh karena itu, malam itu lukisan tersebut diyakini memuat jiwa pelukis yang terperangkap, dan air mata di kanvas adalah aliran darah kenangan yang merintih. Dengan demikian, lukisan yang menangis senja menjadi pusaran dendam tersembunyi yang ingin dilepaskan. Meski hatinya bergemuruh, Lila tetap terpaku.
Bagian IV: Kilatan Sosok di Cermin
Setelah itu, perlahan Lila berbalik ke cermin besar di ujung galeri. Namun bayangan di kaca tak menampakkan dirinya, melainkan sosok perempuan berkain putih lusuh, wajah penuh luka, menatap lurus dengan mata kosong. Selain terkejut, Lila tertera kaku. Transisi antara galeri nyata dan dunia gaib memudar, sehingga cermin menjadi gerbang. Sementara itu, air mata merah di lukisan berdenyut, seolah menuntun wanita itu keluar dari kanvas.
Bagian V: Tatapan Menghantui
Kemudian perempuan itu melangkah keluar dari bayangan, berjalan tegap meski kaki kanannya menempelkan bekas darah. Sementara Lila menjerit tertahan, lukisan bergetar hebat, dan tetesan air mata semakin membanjiri lantai. Bahkan udara terasa pekat seperti kabut merah. Namun di samping itu, perempuan berkain putih hanya tersenyum getir, menunjuk ke arah lukisan sambil berbisik, “Ini akhir yang sudah tertulis.” Dalam sekejap, Lila terjebak antara takut dan ingin menolong.
Bagian VI: Pencarian Titik Paling Gelap
Selanjutnya, Lila mengumpulkan keberanian. Ia memeriksa bagian belakang kanvas, berharap menemukan catatan tersembunyi yang menjelaskan cara membebaskan sang jiwa. Namun di sana hanya garis paku dan bekas goresan—seolah tangan tak kasat mata menyeret kuas. Sementara itu, bisikan di lorong galeri turut menguat, menambah kepanikan. Selain itu, butiran air mata merah semakin menutupi lantai, memaksa Lila basah hingga lutut. Oleh karenanya, ia terpaksa menahan napas dan memfokuskan pikiran.
Bagian VII: Mantra Terakhir di Senja
Kemudian Lila mengingat kembali bait mantra kuno yang pernah dia pelajari dari nenek:
“Saat rinai darah memanggil senja, buka jiwa pada asa,
Biarkan cinta yang terabaikan menembus tirai dosa.”
Dengan sepenuh hati, ia menyuarakan kata-kata itu di depan lukisan. Transisi resonansi gaib membuat ruangan bergema, menimbulkan kilatan cahaya jingga. Selain itu, air mata di kanvas berhenti menetes, berubah menjadi garis pucat yang memudar. Sementara perempuan berkain putih memeluk perutnya, menahan pilu.
Bagian VIII: Senja yang Berubah Tenang
Akhirnya, tatapan perempuan gaib melunak, lalu ia menghilang dengan senyuman damai. Sementara itu, cahaya senja kembali memancar lembut di permukaan lukisan, dan air mata merah sirna bagai embun pagi. Galeri terselimuti keheningan hangat, serta aroma cat baru yang menenangkan. Meski tubuh Lila basah dan gemetar, hatinya lega; lukisan yang menangis senja kini bebas dari beban duka. Namun, kilatan terakhir di ujung kanvas memperingatkan: “Bantulah yang lain sebelum senja menjerit lagi.”
Kesehatan : tips untuk mengatasi maag tanpa obat secara alami